Menuju konten utama

Klorokuin dalam Pohon Kina Diprediksi Bisa Obati Corona COVID-19

Sebuah penelitian di Wuhan, Cina menemukan bahwa klorokuin dalam pohon Kina dan antivirus remdesivir sangat efektif dalam menghambat replikasi COVID-19 dalam kultur sel. 

Klorokuin dalam Pohon Kina Diprediksi Bisa Obati Corona COVID-19
Ilustrasi Kina. foto/istockphoto

tirto.id - Sejak kasus pertama virus Corona COVID-19 muncul akhir 2019 lalu, para peneliti sedang mencari obat untuk mengendalikan penyebaran wabah tersebut. Namun kini, dilansir dari Gilmore Health, para ilmuan beralih pada beberapa obat lama termasuk klorokuin yang populer digunakan sebagai obat malaria dan autoimun.

Klorokuin pospat tersebut ternyata terkandung dalam tanaman Kina, tanaman herbal yang dapat ditemukan di Indonesia.

Tanaman ini dikenal sebagai pereda penyakit influenza, disentri, diare, dan sebagai tonik bagi tubuh dilansir dari WebMD.

Di Indonesia sendiri, terdapat 11 jenis pohon kina. Akan tetapi, hanya ada dua jenis yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan jenisnya yang lain yaitu kina succi dan kina ledger.

Pohon-pohon tersebut bermanfaat bagi kesehatan karena kandungan alkaloid pada permukaan kulitnya, seperti kinine dan kinidine.

Dalam penelitian yang dipublikasikan Cell Research, para ilmuwan di Wuhan Institute of Virology, Wuhan, Cina, menulis bahwa klorokuin dan antivirus remdesivir sangat efektif dalam menghambat replikasi COVID-19 dalam kultur sel.

"Akan sangat baik jika jenis percobaan ini diulangi oleh lebih banyak laboratorium untuk melihat apakah hasil yang sama terjadi di seluruh papan,” ungkap John Lednicky, seorang profesor di Emerging Pathogens Institute, Florida, merespons temuan tersebut dikutip dari ASBMB Today.

Selain itu, Lednicky juga mengungkapkan bahwa sepertinya klorokuin dapat digunakan sebagai obat tahap awal virus Corona.

Klorokuin merupakan bentuk sintetis dari quinine, yang terkandung secara alami dalam kulit pohon Kina.

Senyawa quinine digunakan selama berabad-abad untuk mengobati malaria sepanjang paruh kedua abad ke-20.

Namun, setelah parasit malaria Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax mulai menunjukkan resistensi terhadap obat tersebut, masing-masing digantikan oleh senyawa antimalaria dan terapi kombinasi yang serupa pada tahun 1960-an dan 1980-an.

Klorokuin masih banyak digunakan terhadap tiga spesies plasmodium lainnya dan untuk mengobati gangguan autoimun dan beberapa kasus amebiasis, infeksi usus yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica.

Para peneliti di Cina sedang menguji obat antimalaria tersebut pada lebih dari 100 pasien COVID-19 pada 10 rumah sakit.

Menurut para ilmuwan, pasien yang menerima klorokuin menunjukkan lebih banyak peningkatan daripada mereka yang tidak.

Beberapa di antaranya, dilansir dari Gilmore Health, mengalami penurunan demam. Sementara, mereka yang mendapat proporsi yang lebih besar pulih lebih cepat, dibandingkan dengan subyek kontrol.

Pusat Nasional Cina untuk Bioteknologi mengungkapkan bahwa para ahli telah mengusulkan penggunaan obat dalam uji klinis yang lebih luas.

John Lednicky optimis tentang prospek klorokuin dan remdesivir untuk mengobati penyakit akibat COVID-19.

"Yang penting adalah bahwa indeks selektivitas relatif tinggi untuk keduanya," kata Lednicky. "Dengan kata lain, mereka tidak diharapkan memiliki banyak efek samping,”

Pertanyaan terbesar mengenai klorokuin selanjutnya adalah berapa hari infeksi dapat secara efektif diberikan kepada seseorang yang sakit dengan coronavirus baru.

Lednicky mengatakan beberapa obat seperti Tamiflu dapat bekerja dengan baik mencegah virus influenza A ketika seseorang meminumnya lebih awal.

“Dan itulah yang harus kita tentukan dengan klorokuin, apakah itu dapat digunakan ketika seseorang telah sakit selama lebih dari beberapa hari. Tetapi indikasinya sejauh ini, berdasarkan pada penelitian ini dan pekerjaan sebelumnya dengan SARS, adalah bahwa itu mungkin merupakan obat yang bermanfaat,” ungkap Lednicky.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Yandri Daniel Damaledo