tirto.id - Melvina Prabawati sebenarnya masih bersedia untuk mengantre ke arah kasir usai memenuhi keranjang belanjaannya, meski antreannya panjang sekalipun. Namun, lain halnya jika ada tukang serobot yang memotong barisan. Emosinya naik beberapa kali lipat. Kadang ia sampai ikut memarahi si pelaku. Sayangnya, di tempat tinggalnya di Purbalingga, Jawa Tengah, para penyerobot itu ada di banyak tempat: ATM, kantor instansi negara, tempat hiburan, dan di area publik lain.
“Bayangin udah capek belanja sampai kaki pegel, ngantrenya juga lama, eh ada yang main serobot aja. Kan enggak adil. Padahal itu di peraturan udah jelas tertulis. Kalaupun enggak ada, yang namanya orang masa enggak dididik buat antre,” ujar ibu dua anak itu kepada Tirto.
Orang Inggris sangat amat mengerti atas apa yang dirasakan Melvina. Mereka dikenal sebagai salah satu masyarakat dengan budaya antre terbaik dan telah memulainya sejak era Perang Dunia. George Orwell, pengarang terkenal yang penulis buku Nineteen Eighty-Four, pernah merekam kemarahan orang-orang Inggris di tahun 1940-an akibat kaum minoritas dan imigran kala itu tak melaksanakan antre. Para pelakunya di koran-koran lokal sampai dijuluki “tukang serobot antrean”.
Jika Anda menonton film Experimenter (2015), Anda akan berkenalan dengan seorang psikolog sosial legendaris bernama Stanley Milgram yang terkenal karena melakukan riset tentang kepatuhan dan kontrol (yang cukup kontroversial) pada 1960an. Pada tahun 1980an, penelitiannya sudah tak terlalu ekstrem. Bersama para mahasiswanya ia melaksanakan sebuah riset tentang para penyerobot antrean dengan bersubjek penelitian para penduduk Kota New York.
Orang-orang Kota Apel, dalam penelitian Milgram, menunjukkan reaksi universal yang akan terjadi pada masyarakat yang mengenal budaya antre di berbagai negara jika muncul si penyerobot antrean: marah-marah. Dalam 15 persen kasusnya, mereka hanya menunjukkan ekspresi muka sebal, 20 persen lain tak ragu untuk mengeluarkan protesnya secara verbal sambil mengingatkan si pelaku. Sementara 10 persen lainnya bertindak lebih jauh dengan melakukan kontak fisik dengan agak agresif.
Para penyerobot dalam penelitian Milgram adalah mahasiswa-mahasiswanya sendiri. Milgram menemukan hal menarik lain, yakni betapa gugupnya mereka sebelum menyerobot antrean. Mereka bukanlah pelaku alamiah yang tak tahu adat mengantre. Saat beraksi, muka mereka pucat dan merasa mual. Milgram secara kasar melihat bahwa ketidaknyamanan yang mahasiswanya rasakan menandakan orang New York juga sama marahnya dengan warga Inggris jika muncul penyerobot antrean.
Milgram memandang antrean sebagai contoh klasik dari sikap alamiah manusia membentuk aturan sosial dan keluar dari ketidakaturan (chaos). Orang menyukai segala sesuatu yang teratur dan stabil, terutama jika berkenaan dengan pemenuhan kebutuhannya dan kepentingannya. Namun, sebagaimana aturan sosial jenis lain, antrean selalu memiliki potensi pengacau. Layaknya negara yang stabil dan sejahtera lalu muncul pemberontak yang ingin mengambil alih kekuasaan, rakyatnya tentu marah.
Profesor University of Houston Dave Fagundas pernah menulis sebuah artikel ilmiah untuk Jurnal Law and Social Inquiry pada Februari 2015 silam tentang budaya antri yang memiliki ciri khasnya di tiap negara. Ia memandang bahwa untuk masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat memiliki budaya mengantre yang cukup baik dan meresap di kalangan warganya. Namun bukan berarti juga bahwa mengantre adalah budaya “barat” yang orisinil dan bisa disombongkan.
Fagundas mencontohkan sebuah kisah di Nigeria pada 1970-an. Saat itu persediaan minyak negara menipis dan orang-orang di seluruh penjuru negara mengalami krisis, padahal kebutuhan untuk dipenuhi dengan syarat minyak olahan sudah menumpuk. Nyatanya, orang-orang tetap mau mengantre di penjualan minyak terdekat maupun pom bensin, terlepas dari kondisi bahwa sumber daya utama warga kala itu sedang tipis-tipisnya.
“Hal ini menunjukkan bahwa antrean yang teratur bukan monopoli dari masyarakat Anglo-American saja,” tulis Fagundas.
Fagundas memandang antrean adalah ilustrasi yang baik untuk teori “strong reciprocity” atau timbal balik yang kuat.
Menurut gagasan ini, manusia kebanyakan bersifat altruistik dengan insting yang kuat untuk bekerja sama dengan orang lain—asal dalam sistem yang adil. Keadilan menjadi kata kunci mengapa antrean bisa bertahan dengan sedemikian rupa hingga semua orang terlayani. Orang-orang sesungguhnya tak benci mengantre. Siapa lebih cepat datang maka berhak dapat lebih dahulu.
Menurut teori tersebut kita akan menghukum orang lain yang menjadi penyerobot karena menyimpang dari sistem. Kita membela keadilan. Namun di sisi lain sikap tersebut juga bermakna positif demi kepentingan kita sendiri—yang akan menunggu lebih lama karena terpotong orang. Di dalam altruisme terselip juga dorongan atas ego masing-masing orang, karena jika benar-benar altruistik, maka orang-orang tak akan bermasalah dengan si penyerobot.
Fagusndes melihat antrean sebagai ciri orang modern: bahagia jika semua orang bertindak sesuai aturan. Ciri dari modernitas adalah strukturalisme itu sendiri, segalanya perlu diatur agar tak kacau. Menariknya, Fagundes menerangkan bahwa di banyak tempat mengantre sebenarnya tak memiliki dasar tertulis yang kuat. Pelakunya tak akan disebut sebagai kriminal meski akan dicap buruk oleh para pengantre lain. Antrean mirip norma sosial tak tertulis tapi sangat disarankan demi kemaslahatan bersama.
Antrean secara fisik juga bekerja lebih efektif daripada memakai nomor antrean. Fagundes menerangkan ini sebab antrean fisik memiliki kelebihan alamiahnya sendiri. Menyaksikan puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan orang berbaris teratur dan sabar akan memantik esensi kemanusiaan kita tentang kooperasi serta prinsip timbal balik.
Luke Treglown dari Universty College London berkata pada BBC Internasional bahwa ia sepakat dengan betapa sensitifnya orang-orang pada penegakan prinsip keadilan dalam mengantre. Hal lain yang menarik baginya adalah bahwa konsep altruistik itu justru subur di masyarakat yang individualistik seperti Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Sikap individualistik baginya bukanlah ironi, melainkan pendorong utama sebab tiap individu sangat sadar akan haknya untuk diperlakukan setara di depan kasir sekalipun.
India memiliki masalah yang masih akut soal antrean sebab masih tingginya budaya memamerkan kasta—meski generasi kekinian telah sedikit demi sedikit memperbaikinya. Kondisi lebih parah lagi terjadi di Cina dimana orang-orangnya terkenal beringas untuk mendapatkan makanan di buffet hotel atau tempat lain. Kondisi ini bukan lah penguat stereotip, melainkan pertanda bahwa kemajuan modernisasi di sebuah negara tak menjamin perilaku tertib juga akan mengiringi.
Lain kali Anda berada di antrean, ingatlah pesan akademisi marketing dan ahli perilaku konsumen, Profesor Carmon dan Khmenan, kepada New York Timesbahwa fokusnya bukan di panjang antrean tetapi seberapa cepat ia bergerak. Daripada memilih antrean pendek namun lama, Anda disarankan untuk memilih yang lebih panjang tapi cepat bergerak.
Anda juga perlu kritis kepada kasir atau siapapun yang menangani antrean agar lebih peka dalam mengatur barisan, sebab faktanya satu baris antrean yang mengarah ke tiga kasir tiga kali lebih cepat daripada satu baris untuk tiap kasirnya. Perkirakan sendiri atau tanya kepada yang berwenang berapa lama kira-kira Anda akan terlayani, sebab jika tak tahu, orang akan melebih-lebihkan waktu tunggu mereka hingga 23 persen.
Jangan lupa untuk tegas kepada para penyerobot. Meski tak ada aturan yang tertulis, kasir ataupun penanggung jawab antrean yang baik akan tegas pada pelanggar aturan. Jika hal ini tak dilaksanakan, sebagaimana kata Fegundas, segala struktur yang stabil akan mudah terpecah menjadi “chaos” sebab apa yang dilakukan si pengacau akan menular kepada orang-orang tertib lainnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti