Menuju konten utama

Kisah Lebaran Masa Kecil dari 3 Generasi

Lebaran senantiasa dirayakan dengan cara yang berbeda untuk setiap generasi.

Kisah Lebaran Masa Kecil dari 3 Generasi
Ilustrasi Lebaran Si Kecil. Foto/rockingmama

tirto.id - Sigit Sugito kecil sudah tak sabar mengenakan baju baru lebarannya. Ibunya sudah membeli kain tetron sebagai bahan baju lebarannya sejak pertengahan bulan puasa. Bahan itu sudah diserahkan ke penjahit untuk dibuat baju lebaran.

Bagi Sigit, mengenakan pakaian dengan bahan tetron adalah sebuah kebanggaan. Sebab hanya pada hari lebaran saja biasanya dia bisa mendapatkan baju dengan kain yang cukup spesial itu. Pakaian sehari-harinya untuk sekolah hanya terbuat dari kain blaco, sejenis kain mori tipis yang diwarnai. Bila sudah mengenakan baju berbahan tetron, maka Sigit akan tampil bergaya.

Ingatan lebaran di masa kecil itu membuat Sigit terkekeh. Budayawan asal Yogyakarta itu jadi teringat betapa bahagianya ia semasa kecil ketika menjelang lebaran. “Saya jadi ingat, ternyata sudah tua banget,” kata Sigit terkekeh, “Jebul (ternyata) sudah 58 tahun.”

Sigit lahir pada tahun 1959 di desa Jotawang, Bangunharjo, Bantul. Masa kecilnya pun dihabiskan di sana. Saat itu situasi ekonomi negara memang belum stabil. Karena itu orang-orang tidak banyak yang membeli baju, sebagian besar mereka membuatnya. Sebab uang yang dikeluarkan lebih sedikit.

Tidak hanya baju lebaran saja, makan daging ayam dan piknik ke kebun binatang pun jadi hal yang ditunggu Sigit menjelang lebaran. Sebab hanya setahun sekali, yakni pada lebaran, keluarganya akan potong ayam untuk dimasak. Pada lebaran ketiga, biasanya Sigit sekeluarga akan bertamasya ke kebun binatang Gembira Loka. Mereka sekeluarga naik andong dari rumahnya di Bantul. Perjalanan naik andong itu yang paling dinantikan.

“Sudah makan ayam, naik andong. Dulu itu naik andong itu sudah wah banget. Biasanya padahal cuma jalan kaki kalau ke mana-mana,” ujar Sigit.

Pada lebaran pertama, rumah Sigit tidak pernah sepi. Ayahnya merupakan anak paling tua, sehingga semua kerabatnya pasti akan berkumpul di rumahnya. Kalau sudah begitu, keramaian bersama keluarga makin asik sambil menikmati jajanan tape ketan, kue Jan Hagel, kacang bawang dan teh manis.

“Kalau kue itu ya Jan Hagel, bentuknya nggak jelas sebenarnya tapi enak. Dulu sudah ada sirup, tapi di keluarga kami biasanya hanya menyuguhkan teh manis,” tutur Sigit.

Tradisi angpao pun belum ada saat itu. Anak-anak biasanya ketika keliling ke tetangga sekitar hanya dipersilakan mengambil kue kesukaan untuk bekal. Pemberian angpao, kata Sigit, biasanya hanya untuk kerabat dekat, itu pun jarang. “Angpao itu ya jarang banget,” kenang Sigit.

Angpao yang jarang pada masa kecil Sigit itu merupakan yang dinanti-nanti oleh Rizal Nugroho, seorang jurnalis asal Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada masa kecil Rizal di awal tahun 1990an, angpao dari saudara dan tetangga adalah hal paling membahagiakan. “Uangnya bisa dipakai buat beli mainan, beli sandal gunung, dulu lagi tren,” kata Rizal yang akan segera mengakhiri masa lajangnya tahun ini.

Baju baru pun tidak dianggap penting oleh Rizal, sebab membeli baju tidak hanya dilakukan setahun sekali saja. Angpao menurutnya lebih penting. Saat duduk di bangku SD, anak-anak seusia Rizal jarang sekali memiliki uang jajan berlebih. Hanya saat lebaran saja mereka bisa mendapat banyak dan menggunakannya semau mereka.

Pada malam takbiran, Rizal dan teman-teman sebayanya sudah menyiapkan petasan untuk dinyalakan di jalanan. “Ada kepercayaan di kampung, kalau pas lebaran jalan kampung itu harus kotor. Kotornya pakai bekas petasan, jadi orang yang mudik bisa tahu, kalau di kampung itu hidupnya enak sejahtera, bukan orang susahlah,” kata Rizal.

Urusan petasan bukan hal sepele. Masa itu sudah ada geng antar kampung di desa Pangisari tempatnya tinggal. Dua genk yang berseteru adalah Larwega (Lare-lare wetan gang/bocah-bocah timur gang) dengan Kuga (kulon gang/barat gang). Pada malam takbiran, perangkat long bumbung dan petasan berbagai merk serta ukuran sudah disiapkan di jalan. Mereka akan beradu kekuatan suara ledakan.

“Saya dulu kebagian bawa mercon. Ada pimpinan masing-masing geng-nya, mereka yang mengarahkan mercon mana yang harus dinyalakan dulu,” ujar Rizal.

Pertarungan itu pun tidak selesai hanya pada malam takbiran. Usai salat ied, pertempuran besar baru sesungguhnya baru digelar. Orang-orang dewasa biasanya membuat mercon sendiri dengan ukuran besar. Ada yang menggunakan kaleng susu hingga kaleng bekas cat. Ukuran itu sudah cukup membuat kuping berdenging jika berada di dekatnya. “Itu sampai orang-orang jual ayam biar bisa beli bahan untuk bikin mercon, pokoknya enggak boleh kalah dan jalanan harus kotor,” tandas Rizal.

Untuk soal hidangan lebaran, keluarga besar Rizal biasanya pesta ikan. Ikan itu di dapat dari kolam kakek Rizal. Banyaknya jenisnya, mulai dari gurame hingga tawes. Pada malam takbiran, keluarga besar berkumpul untuk masak bersama di rumah kakek Rizal.

Lebaran makin terasa lengkap saat hidangan wajik, lapis dan limun sudah tersedia di ruang tamu. Jalanan itu merupakan favorit Rizal saat itu. “Limun itu yang diproduksi di Purbalingga, saya lupa mereknya. Dulu kan masih jarang yang menyuguhkan sprite dan lainnya. Limun tetap yang paling banyak,” tutur Rizal.

Pada lebaran ketiga, biasanya Rizal keluarga piknik ke kebun binatang. Bagian ini Rizal tidak terlalu menikmati. “Saya sebenarnya lebih suka menyendiri di rumah sambil membuat puisi, biar kayak Soe Hok Gie,” kata Rizal terkekeh.

Infografik Kenangan Lebaran

Rittah Riani Rombin punya cerita sendiri perihal lebaran di masa kecilnya. Ittah, begitu panggilan akrabnya, merupakan gadis kelahiran Tangerang 12 Agustus 1995. Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh Ittah saat lebaran adalah ayam bakar utuh untuk dirinya seorang.

Keluarga Ittah memiliki tradisi yang unik, barang siapa yang berhasil puasa selama satu bulan penuh, maka akan diberi hadiah satu ayam bakar utuh untuk sendiri. Reward itu hanya berlaku untuk anak-anak saat masih kecil.

Ittah salah satu yang sejak usia TK sudah berhasil puasa satu bulan penuh. Ia pun yang sering mendapatkan ayam bakar itu. “Kita memang dibiasakan sejak TK, ya itu ada hadiahnya ayam bakar,” ujar Ittah lalu tertawa.

Ayam bakar utuh untuk sendiri itu sebenarnya hanyalah trik belaka, sebab pada praktiknya, Ittah tidak pernah bisa menghabiskannya sendiri. Ia pun berbagi dengan saudara dan ayah ibunya. “Tapi tetap ya, rasanya puasa sekali. Ayam bakar satu begitu, anak kecil itu ya sudah bahagia dapat begitu,” ujar Ittah.

Selain janji ayam bakar itu, momen paling diingat Ittah adalah membuat kue bersama neneknya. Hampir setiap lebaran semasa kecil ia selalu melakukannya. Salah satu kue bikinan nenek yang dia sukai adalah kue cincin. Kue itu bentuknya seperti donat, namun ukurannya lebih kecil, rasanya manis.

Kegembiraan lebaran tentu tidak lengkap tanpa baju baru. Sebelum lebaran Ittah sudah dibelikan baju lebaran, kerudung dan macam pernak-pernik pakaian lainnya. Berkumpul bersama keluarga pun sudah menjadi tradisi yang tidak pernah terlewatkan. Dulu rumahnya selalu ramai dikunjungi keluarga besarnya. Mereka pun lantas piknik bersama.

Salah satu piknik yang Ittah ingat adalah piknik ke puncak. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas 1 SD. Keluarganya menyewa sebuah villa dan menginap beberapa hari di sana. Sayangnya setelah dewasa hal tersebut tidak bisa leluasa dilakukan. Kegiatan ayahnya yang membuka klinik untuk rehabilitasi Napza, tidak bisa ditinggalkan begitu saja untuk liburan.

“Sebenarnya masa kecil itu karena masih keluarga belum fokus yayasan panti rehabilitasi, jadi masih bisa. Mulai saya SD sudah fokus ke sana, jadi lebaran beda, nggak bisa jalan bareng lagi,” ujar Ittah.

Baca juga artikel terkait IDUL FITRI atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti