tirto.id - Pada Minggu (7/10/2018) kemarin, dalam pertandingan UFC 229, Khabib Nurmagomedov berhasil mengandaskan perlawanan Conor McGregor dengan kuncian ke leher pada ronde keempat. Hasil ini sedikit banyak sudah bisa diprediksi, mengingat Conor sudah dua tahun tak naik ring dan Khabib adalah juara dunia UFC kelas ringan yang belum pernah terkalahkan.
Namun, yang tak bisa diprediksi adalah reaksi Khabib usai menang. Dengan wajah berang, dia mendatangi ujung oktagon sembari menuding Dillon Danis, pendamping sekaligus rekan latihan Conor. Segera setelah melemparkan pelindung mulut, Khabib memanjat oktagon, dan menerjang Dillon. Suasana ricuh seketika. Apalagi ketika Abubakar Nurmagomedov, sepupu Khabib, yang ikut memanjat oktagon, dipukul oleh Conor.
Dalam wawancara usai pertandingan, Khabib meminta maaf atas perilakunya itu. Dia mengaku tak tahan dengan hinaan berbau rasial dan menyinggung agama Khabib. Conor memang beberapa kali menghina Khabib dan orang-orang dekatnya. Mulai dengan menyebut manajernya sebagai teroris, mengejek Khabib yang tak mau minum alkohol, hingga yang terakhir sebelum bertarung, Conor mengunggah foto dirinya di Twitter dengan diberi cuitan: “Bersantai di [neraka] Jahannam. Sampai jumpa.”
"Aku minta maaf, ini bukan sisi terbaikku. Aku heran kenapa orang-orang bicara soal aku yang melompat keluar oktagon, sementara orang-orang melupakan Conor yang bicara buruk tentang agamaku, negaraku, tentang ayahku, juga dia yang melempar kursi di bus yang kami naiki," kata Khabib.
Khabib memang selama ini nyaris selalu diam menghadapi ejekan Conor. Sayang, sang petarung dari Irlandia yang memang dikenal bermulut besar itu kerap lupa bahwa kesabaran itu ada batasnya. Ketika Conor sudah menyinggung agama, juga keluarga Khabib, tak perlu heran kalau Khabib muntab.
Kejadian seperti itu bukan yang pertama dalam dunia olahraga.
9 Juli 2006, final Piala Dunia, Perancis versus Italia.
Menit 110, dalam babak perpanjangan waktu, Marco Materazzi tampak terkapar kesakitan memegangi perutnya. Stadion bergemuruh. Dari kejauhan, Gianluigi Buffon berlari menghampiri asisten wasit di sisi lapangan sambil berteriak-teriak: ada sesuatu yang gawat yang telah terjadi.
Wasit Horacio Elizondo segera menghentikan pertandingan untuk mencari tahu musababnya. "Saya melihat Materazzi tergeletak di tanah, sekitar tiga atau empatpuluh meter, lalu saya menghentikan permainan. Melalui interkom, saya bertanya kepada asisten apa yang telah terjadi. Aneh, keduanya menjawab, 'kami tidak melihat apa-apa," ungkap Elizondo.
Dalam situasi linglung tersebut, asistennya yang keempat muncul dari luar lapangan dan menjelaskan semuanya. Namanya Luis Medina Cantalejo. Dengan berapi-api, ia mengatakan kepada Elizono: "Mengerikan, tandukan kepala Zidane ke Materazzi sangat mengerikan. Anjing! Zidane menanduk Materazzi. Anda tidak akan percaya jika tidak melihat rekamannya.”
Sejak diberitahu Cantalejo, wasit Elizono sudah tahu apa yang harus dilakukan: “Saya akan memberikan kartu merah untuk Zidane.”
Usai dikeluarkannya Zidane, laga otomatis sudah tidak menarik lagi. Orang-orang lebih penasaran: kenapa Zidane melakukan tindakan konyol tersebut? Barulah belakangan diketahui bahwa Materazzi menghina keluarga Zidane, sebagaimana yang pernah ia akui:
“Saya membalas omongan Zidane dengan mengatakan lebih memilih kakak perempuannya. Itu benar. Bahwa saya melibatkan kakaknya saat itu, tentu itu bukan hal baik.”
Namun versi lain menyebutkan bahwa yang dikatakan Materazzi lebih dari itu. Ia juga menghina ibu Zidane dengan sebutan “teroris pelacur!”
Bertahun-tahun usai momen legendaris tersebut, Zidane masih tetap pada pendiriannya: (bacot) Materazzi perlu diberi pelajaran. Bahkan, ia lebih memilih mati ketimbang harus meminta maaf kepada bekas bek Inter Milan tersebut.
“Minta maaf kepadanya? Tidak. Jika orang itu adalah Kaka, pria biasa dan orang baik-baik, tentu saya akan meminta maaf. Tapi tidak untuk orang satu ini. Jika saya meminta maaf kepadanya, saya tidak menghargai diri sendiri. Tidak, tidak akan pernah. Saya lebih baik mati.”
Atlet yang Taat dalam Beragama
Dalam dunia olahraga, ada banyak kisah atlet yang tetap memprioritaskan ajaran agamanya. Beberapa menjalani ibadah berbarengan dengan kewajiban profesi. Pesepakbola seperti Mohamed Salah maupun Paul Pogba tetap berpuasa kala latihan. Banyak pelatih juga toleran terhadap ibadah puasa, memahami bahwa pemain yang berpuasa mungkin tidak dalam kondisi terbaiknya.
Jose Mourinho, misalkan. Saat masih menjabat sebagai pelatih Inter Milan pada 2009 silam, dia pernah mengganti Sulley Muntari dalam laga Nerazzuri kontra Bari. Mourinho menganggap anak buahnya tersebut tidak cukup fit akibat tengah berpuasa.
“Muntari memiliki beberapa kendala terkait Ramadhan. Mungkin dengan cuaca sepanas sekarang tidak baik baginya untuk berpuasa. Ramadhan datang pada saat yang tidak tepat bagi pesepakbola untuk bertanding,” demikian yang dikatakan pelatih asal Portugal tersebut.
Keteguhan berpuasa itu dipegang oleh pebasket legendaris Hakeem Olajuwon. Dia tetap bermain penuh untuk Houston Rockets meski tengah berpuasa Ramadan, bahkan membawa timnya meraih gelar juara dua kali berturut-turut: 1994 dan 1995. Ketika pihak tim ingin membuatkan patung dirinya, Olajuwon menolak karena hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Sedangkan di dunia rugby, ada nama Michael Jones yang merupakan salah satu penggawa dari skuat All Blacks (julukan bagi tim nasional rugby Selandia Baru). Sepanjang kariernya, ia selalu menolak jika harus bermain pada hari Minggu karena harus ke beribadah ke gereja. Ia bahkan melewatkan tiga pertandingan selama Piala Dunia 1991, lalu perempat final dan semifinal 1995 yang semuanya digelar pada hari Minggu.
Dengan keteguhan iman yang persis, Eric Liddell, atlet lari asal Skotlandia, juga pernah menolak untuk turun di lomba sprint nomor 100m dalam Olimpiade 1924 di Paris karena lomba itu dilangsungkan pada hari Minggu dan ia mesti ke gereja. Namun, Liddell tetap turun di nomor 400m dan mendapatkan medali emas. Usai menjadi atlet, ia hijrah ke Cina dan menetap di sana sebagai misionaris. Bentuk keyakinan Liddel sempat diabadikan dalam film berjudul Chariots of Fireyang sukses meraih empat penghargaan Oscar.
Sementara itu juga dari dunia rugby, Chris Guider, mantan pemain liga rugby Australia, pada tahun 1986 pernah memutuskan gantung sepatu kendati usianya baru 24 demi memperdalam keyakinannya terhadap Scientology. Namun, pada 2011, Guider menyesali keputusan tersebut dan menuduh kepala Gereja Scientology, David Miscavige, yang telah membujuknya melakukan hal tersebut.
Sandy Koufax, pemain berposisi pelempar untuk tim baseball LA Dodgers, pernah membuat kontroversi usai menolak bermain di partai pembuka World Series menghadapi Minnesota Twins, 1965 silam. Koufax, penganut Yudaisme, menempuh pilihan tersebut karena pertandingannya bertepatan dengan perayaan Yom Kippur (Hari Penebusan), hari paling suci dalam agamanya.
Terakhir ada nama Jonathan Edwards, mantan atlet lompat jauh asal Inggris. Namun kisahnya berbeda sendiri dibanding contoh-contoh di atas. Dahulu, ketika masih menjadi seorang Kristiani yang taat, Edwards pernah menolak mengikuti kejuaraan dunia atletik tahun 1991 karena dilaksanakan pada hari Minggu. Namun sejak tahun 1993, ia mulai mengalami kegalauan terkait imannya usai mendalami makna Hari Sabat. Lalu 14 tahun berselang, Edwards yang taat sudah digantikan oleh Edwards yang atheis. Apa yang ia rasakan sekarang?
"Saya senang. Saya tidak merindukan iman saya, semua baik-baik saja. Dalam banyak hal saya merasa lebih tenang dan bahagia tanpa itu semua,” ujar Edwards.
Editor: Nuran Wibisono