tirto.id - “Produk 100 persen original, herbal, aman bagi ibu hamil, cocok untuk semua jenis kulit, serta bisa dipakai pria dan wanita.”
Keterangan pada unggahan di akun Instagram milik Via Vallen, Nella Kharisma, Nia Ramadhani dan beberapa artis lain mengacu pada promosi sebuah produk kecantikan. Derma Skin Care (DSC) mengklaim produknya berkhasiat menghilangkan flek hitam, memutihkan kulit wajah, dan melindungi dari sinar matahari sehingga tak membuat kulit kemerahan, walau telah berjemur hingga 30 menit lamanya.
Satu paket perawatan berisi krim malam dan krim siang dibanderol dengan harga Rp275 ribu. DSC tak segan menyatakan bahwa kedua krim tersebut mengandung serbuk mutiara dan ginseng yang berguna untuk perawatan kulit. Guna memasarkan produknya, mereka menyewa para artis dan selebgram agar mengiklankan DSC di laman Instagram masing-masing.
“Tarifnya antara Rp7 sampai Rp15 juta untuk berfoto dengan kosmetik ilegal,” ungkap Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans Burung Mangera.
Padahal, kosmetik tersebut diracik secara oplosan dan tanpa izin edar dari BPOM. Artinya, komposisi di dalam produk tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bisa membahayakan konsumen. Pihak Polda Jatim akhirnya menetapkan pemilik DSC sebagai tersangka dan menyita 1.600 produk siap edar.
Fenomena iklan di media sosial seperti Instagram, Youtube, Twitter, dsb oleh para selebgram tengah populer karena memiliki banyak kelebihan. Targetnya lebih mudah menyentuh pasar generasi muda dan tentu saja harga iklannya jauh lebih murah ketimbang harus memasang di platform lain seperti televisi atau koran.
Di sisi lain, pengawasan iklan di ranah tersebut masih minim. Para selebgram seringkali tak menyeleksi produk yang akan dia promosikan. Meskipun cenderung menyesatkan dan menipu konsumen. Fenomena jamak ini pernah menjadi topik pembahasan menarik dalam akun Youtube Deddy Corbuzier.
Selama ini, Deddy hanya bersedia memajang iklan di platform media sosialnya dengan persyaratan khusus. Pertama, ia benar-benar menggunakan produk yang diiklankan, dan kedua, dia telah menjalin kontrak sebagai brand ambassador. Artinya, mantan magician ini sangat selektif menerima iklan yang datang padanya.
"Gua nolak iklan dengan cara ngasih harga yang nggak masuk akal, jadi mereka enggak bisa bayar, Rp200 juta misalnya,” kata Deddy.
Ia kemudian menyindir konsumen yang begitu mudah percaya dengan iklan yang dijajakan idola mereka di Instagram. Padahal, iklan tersebut menurutnya cenderung menipu. Beberapa iklan yang disinggung Deddy dalam video berdurasi 5:34 detik itu adalah produk kosmetik, obat-obatan pelangsing, penggemuk, peninggi badan, pembesar payudara, produk tiruan, dan bisnis online.
“Kalau artisnya bilang pakai produk murah dan beli di sana, kira-kira mereka pakai, enggak? Atau mereka cuma ambil uangnya dan lu semua yang beli?”
Waspada Iklan Bohong
Sudah dua tahun DSC melebarkan sayap distribusinya hingga ke enam kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung, dan Makassar. Per bulannya, penjualan produk oplosan ini bisa mencapai omzet hingga Rp300 juta. Tak heran, sebab DSC berani menggandeng nama-nama besar yang memiliki banyak pengikut di media sosial untuk mempromosikan produknya.
Polda Jatim akhirnya memutuskan memanggil nama-nama tersebut untuk dijadikan saksi. Mereka akan menyelidiki sejauh mana para selebgram itu mengetahui kelegalan produk yang diiklankan.
Terlepas dari promosi produk yang bermasalah tersebut, untuk mendapat gambaran bisnis endorsement, Tirto mencoba menghubungi seorang selebgram bernama Nadila dengan nama Instagram @bebenadila.
Kebanyakan, Nadila membuka iklan untuk hijab dan baju. Adminnya akan mengirimkan syarat dan ketentuan pemasangan iklan. Kemudian setelah masalah pembayaran selesai, ia akan mengunggah iklan produk dan memberikan salinan foto produk kepada klien.
“Aku tegaskan di awal untuk tidak menerima produk seperti makanan, minuman, dan obat-obatan seperti peninggi, pelangsing, masker serta kosmetik tidak ber-BPOM,” katanya. Nadila paham, bahwa selain produk tersebut berbahaya baginya, ia punya tanggung jawab kepada para pengikut media sosialnya.
Fachry Mohamad, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia menegaskan, iklan di berbagai platform memiliki aturan yang sama. Intinya, iklan tetap harus memaparkan informasi jujur dan memiliki izin edar. Jika produk merupakan makanan, minuman, atau obat, maka komposisinya harus dijabarkan.
“Iklan di media sosial juga harus tunduk kode etik periklanan,” ujarnya kepada Tirto.
Iklan yang hiperbola atau manipulatif, lanjutnya, dapat dikategorikan sebagai penipuan dan masuk pada delik hukum. Namun ketika iklan yang ditampilkan telah menampilkan informasi yang benar, namun punya persuasif buruk, maka pelanggaran yang muncul adalah etika.
“Maka, idealnya artis tidak boleh sebebas-bebasnya ambil iklan. Setidaknya harus tahu produsen dan komposisi produk, karena kalau produk bermasalah, mereka juga bisa terseret hukum.”
Editor: Maulida Sri Handayani