tirto.id - Presiden Filipina Rodrigo Duterte dikenal karena mulutnya yang tidak pernah bisa dijaga. Hiperbola adalah nama tengahnya. Namun, dalam konteks sikapnya memandang hubungan Filipina dan Amerika Serikat, labil adalah padanan pas untuk merujuk dirinya. Semua sepakat bahwa di Asia Tenggara, Filipina adalah sekutu terdekat AS – kedekatan historis yang berlangsung teramat panjang.
Namun, semua itu rusak setelah Duterte datang. Dia sempat menyebut Barrack Obama sebagai anak sundal dan merekomendasikan Obama pergi ke neraka. Dia pun tak tanggung mengancam pisah dari AS dan merapat ke Cina dan Rusia. Dan ancaman itu terealisasi betul pekan lalu, saat dirinya bertemu Perdana Menteri Cina, Xi Jinping di Beijing pekan lalu (18/10/16).
Dia mengumumkan bahwa kunjungannya ke Cina akan menjadi "titik balik kunci" dalam sejarah negaranya. Di hadapan Xi Jinping dan para pengusaha Filipina serta Cina, Duterte berusaha mencari muka. Dia mengatakan sudah waktunya Filipina mengucapkan selamat tinggal pada AS. “Orang Amerika terlalu bising, kadang kasar, kurang ajar. Melakukan kerja sama dengan mereka adalah cara cepat kalian kehilangan uang,” sebutnya.
Secara eksplisit, dia mengatakan akan memutuskan hubungan militer dan perdagangan dengan AS secara sepihak. “Amerika telah kalah sekarang. Saya sudah menyetel diri saya sesuai dengan alur ideologi Anda. Saya juga mungkin akan pergi ke Rusia untuk berbicara dengan Putin untuk mengatakan kepadanya, kita bertiga China, Filipina, dan Rusia akan melawan dunia,” ujar Duterte.
Ucapan ini jadi heboh di Manila. Dengan tegas Duterte mengatakan kepada wartawan pemutusan hubungan dagang dan militer ini tetap akan dilakukan, tetapi pemutusan diplomatik itu musykil terjadi.
“Kami akan masih menjaga hubungan itu. Karena ada banyak warga Filipina di Amerika Serikat. Jadi yang saya ucapkan adalah pemisahan, pemisahan kebijakan luar negeri bukan secara Diplomatik,” jelas Duterte.
Data UN Comtrade memaparkan saat ini Cina adalah partner terbesar Filipina, $19 miliar atau 24 persen nilai ekspor Filipina mengarah ke Cina. Hampir 17 persen impor Filipina pun berasal dari Cina dengan nilai $7,02 miliar.
Sedangkan nilai ekspor Filipina kepada Paman Sam mencapai 12 persen atau $9,37 miliar dan impor berkisar 8,2 persen atau $6,65 miliar. Ketergantungan pada Cina yang lebih besar ketimbang AS jadi alasan logis mengarahkan Cina sebagai partner utama.
Dalam kunjungannya ke Beijing, Duterte bernegosiasi untuk membentuk aliansi dagang baru dengan penambahan nilai perdagangan menjadi $13,5 miliar.
Selain peningkatan nilai impor-ekspor, Duterte pun berharap Filipina mendapat hadiah lainnya yakni investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI). Rata-rata arus masuk tahunan FDI Cina ke Filipina telah berjumlah hanya menyumbang 1,4 persen dari PDB. Sedangkan Jepang dan AS menguasai hampir separuhnya, FDI AS di Filipina berkisar $450 juta.
Sebanyak 1,4 persen FDI dari Cina amatlah begitu kecil jika dibandingkan dengan Kamboja, Thailand, dan Vietnam yang bahkan mencapai 50 persen. Cina diharapkan dapat membantu Duterte mendanai rencananya untuk meningkatkan belanja infrastruktur hingga 7 persen dari PDB - naik dari sekitar 5 persen selama pemerintahan Benigno Aquino Jr.
Pialang saham ternama di Filipina, Papa Securities pada tanggal 29 September lalu merilis penelitian berjudul “Red tide” yang isinya membahas potensi investasi Cina di Filipina. Diprediksikan jika poros Cina ini terjadi maka bisa meningkatkan FDI Cina dari $450 Juta hingga $680 juta.
Dalam laporan itu memprediksikan Cina akan masuk ke Filipina lewat lembaga China-ASEAN Investment Cooperation Fund (CAF).
Melihat sejarah FDI Cina di Filipina dengan mengukur nilai ekuitas dan net pinjaman Papa Securities mencatat bahwa investasi China berbentuk investasi jangka panjang bukan investasi portofolio atau lebih tepat disebut "uang panas", yang dianggap jangka pendek dan tidak stabil.
Rerata FDI Cina di Filipina tiap tahun berkisar $85 juta. Namun, pernah suatu masa mencapai titik tinggi dalam satu dekade terakhir tepatnya 2012, ketika Hong Kong, Cina dan Macau kolektif menginvestasikan $680 juta di Filipina.
Investasi terbesar CAF di Filipina adalah saat membantu perusahaan Negros Navigation Company untuk membeli perusahaan transportasi terbesar di Filipina, Aboitiz Transport Sistem Corporation pada 2012 lalu.
Keterlibatan CAF di sektor transportasi memang sudah tertebak. CAF memang memiliki fokus pada infrastruktur jalan tol, kereta api, pelabuhan kontainer, bandara, telekomunikasi dan pipa-bersama minyak dan gas energi / listrik, dan sumber daya alam seperti industri logam, logam mulia dan barang-barang yang berhubungan dengan perkebunan alami seperti karet.
"Akan menjadi investasi strategis dalam industri ini karena terkait dengan sumber kehidupan negara. Itu sebabnya, dalam konteks hutang dari FDI, Cina kemungkinan akan fokus pada jenis industri ini,” tulis dalam laporan itu.
Selama ini FDI dari negara asing di Filipina memang masih terfokus pada industri pelayanan bukan manufaktur seperti yang dibutuhkan negara-negara berkembang di ASEAN.
FDI Manufaktur di ASEAN memang meningkat hingga 61 persen sejak 2014 lalu, sedang FDI di bidang jasa anjlok hingga 21 persen. Peningkatan ini tidak lepas dari keterlibatan invetasi Cina di Indonesia, Kamboja, Vietnam, Thailand dan Myanmar. Filipina tentu kepincut dengan negara-negara tetangganya ini.
Di sisi lain, ketergantungan pemerintah Filipina terhadap FDI AS pastinya akan dijadikan sebagai alat tawar-menawar untuk bahwa kemitraan dengan Cina harus mengimbangi kerugian akibat menurunnya FDI dari AS. “Jadi dapat dipastikan kemungkinan besar FDI Cina akan lebih dari FDI AS yang mencapai $450 juta per tahun.”
Jika merujuk negara lain seperti Kamboja misalnya, FDI Cina di sana berkisar $550 juta, sedang di Vietnam berkisar $600 juta, Filipina diprediksikan akan lebih besar. Lantas jika melihat rekam jejak pada 2012 yang mencapai $680 juta maka Papa Securities memprediksikan FDI Cina di Filipina pada beberapa tahun ke depan akan berkisar $600 juta hingga $700 juta.
Bagi Filipina ini tentu adalah ketiban durian runtuh. Hal ini tentu sejalan dengan wacana peningkatkan investor asing sampai 70 persen dari investasi saat ini yang hanya 40 persen, hal ini diungkap Sekretaris Perencanaan Sosial Ekonomi, Ernesto Pernia pada CNN Filipina, September lalu.
Filipina saat ini sedang meniru seperti Vietnam yang proaktif membukan ekonominya kepada investor asing. Filipina kini giat mereformasi struktur badan pajak penghasilan serta memungkinkan perusahaan asing untuk menyewa tanah secara jangka panjang, serta rajain membuat perjanjian perdagangan regional.
Namun, sebuah studi yang dilakukan oleh Standard Chartered menunjukkan sekitar 40% dari investor asing di Cina akan memilih Vietnam jika mereka harus pindah. Kamboja ada di urutan kedua dengan 25%. Hanya 3% investor yang mengatakan akan memindahkan bisnis mereka ke Filipina. Bagi Filipina ini tentu masalah, atas dasar itulah mereka tentu saja tidak bisa meninggalkan AS sepenuhnya. Hal ini memang sudah sejalan dengan ucapan Menteri Perdangan, Ramon Lopez.
“Dalam urusan hubungan dagang, kami tak akan menghentikan hal tersebut berikut investasi dengan AS. Presiden menyebut secara khusus keinginannya meningkatkan ikatan dengan Cina dan negara kawasan ASEAN, mitra dagang pemerintah selama berabad-abad,” ujarnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti