tirto.id - Sudah bukan rahasia lagi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) memprioritaskan beasiswa bidang ilmu eksakta ketimbang sosial-humaniora. Penyebabnya beragam, mulai dari pertimbangan Indonesia kekurangan jumlah insinyur dan riset saintek hingga asumsi mengakar bahwa lulusan sosial-humaniora tidak menghasilkan hal konkret.
Di antara berbagai disiplin ilmu sosial-humaniora yang dianaktirikan pemerintah, seni tampaknya menempati posisi paling terpinggirkan. Pada 2017, LPDP memberikan porsi beasiswa paling sedikit bagi bidang seni, itu pun setelah digabung dengan budaya dan bahasa. Padahal, seni adalah bagian dari sektor ekonomi kreatif yang sangat diperhatikan negara. Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf bahkan mengklaim perfilman dan musik adalah bagian dari subsektor ekonomi kreatif yang akan tumbuh paling pesat sepanjang 2019.
LPDP, yang pada 1 Juli 2019 baru saja membuka lagi pendaftaran beasiswa, sebenarnya memiliki peran strategis memajukan seni Indonesia dengan memberi beasiswa bidang seni. Dengan meningkatkan kapasitas akademik dalam bidang seni, kita dapat mendorong lebih banyak riset seni dan benar-benar memahami potensi seni Indonesia, alih-alih hanya mengikuti tren dunia.
Apabila menerapkan kerangka empat langkah strategis dalam Undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yakni pelindungan-pengembangan-pemanfaatan-pembinaan, Bekraf berperan dalam pemanfaatan seni sebagai bagian kebudayaan Indonesia. Tapi, sebelumnya kita perlu melindungi dan mengembangkan seni. Tanpa data memadai tentang produk dan aktivitas seni Indonesia serta kajian mendalam mengenai nilai dan prosesnya, kita akan sulit menemukan perspektif paling tepat untuk memanfaatkannya. Melalui pendidikan tinggi seni, kita memiliki sumber daya manusia lebih cakap untuk menginventarisasi potensi seni sekaligus memberi pemahaman yang lebih holistik.
Manfaat lain beasiswa pendidikan seni ke luar negeri adalah investasi jejaring internasional. Selain memperoleh perspektif baru untuk mengembangkan seni di tanah air, koneksi yang terbentuk juga memungkinkan diplomasi budaya terjadi.
Tentu LPDP bukan satu-satunya opsi penyedia beasiswa bagi pegiat seni. Namun, sebagai beasiswa oleh negara yang paling besar dan mudah diakses, LPDP dapat memberi contoh komitmen memajukan bidang seni di Indonesia bagi penyedia beasiswa lain.
Mari kita tilik program LPDP untuk pegiat seni, yakni Beasiswa Prestasi Seni Internasional Berdasarkan keterangan di laman LPDP, beasiswa ini ditujukan bagi masyarakat yang “memiliki prestasi seni kategori individu di tingkat internasional dengan meraih Juara I atau medali emas; Juara II atau medali perak; atau Juara III atau medali perak.”
LPDP tidak menyebutkan beasiswa ini ditujukan bagi mereka yang bertekad menempuh pendidikan seni. Tampaknya tujuan beasiswa tersebut lebih sebagai apresiasi, seperti juga beasiswa prestasi olahraga. Maka pemain saksofon pemenang kompetisi tingkat dunia bisa saja memilih studi yang tak berhubungan dengan musik. Artinya, beasiswa bisa kontraproduktif karena menyasar orang yang berprestasi luar biasa di bidang seni, namun justru mengarahkannya ke sektor lain. Maka, Beasiswa Prestasi Seni Internasional perlu dijadikan khusus mengakomodasi bidang-bidang yang menopang ekosistem seni.
Masalah berikutnya adalah kriteria “prestasi” sangat sempit karena tidak menggambarkan beragam pencapaian bidang seni. Sekalipun Joey Alexander menang Grammy kategori Best Improvised Jazz Solo dan Best Instrumental Jazz Album, ia tidak memenuhi kualifikasi LPDP karena Grammy tidak menganugerahi Juara I atau Medali Emas. Begitu pula penulis Eka Kurniawan yang dinominasikan untuk penghargaan Man Booker Prize dan memperoleh Prince Claus Award, serta kurator Alia Swastika yang masuk Top 40 Under 40 majalah Apollo sebagai salah satu tokoh seni berpengaruh di Asia Pasifik.
LPDP pun perlu memahami bahwa pencapaian seni tak melulu berupa penghargaan. Misal, terpilihnya kolektif Ruangrupa sebagai direktur artistik pameran seni rupa Documenta di Jerman sebagai perwakilan pertama dari Asia merupakan pencapaian yang tinggi dalam bidangnya. Juga Brian Immanuel alias Rich Brian, penyanyi hip-hop berusia 19 tahun asal Jakarta yang jadi musisi Asia pertama dengan album debut di puncak iTunes Hip Hop Chart. Dampaknya, logika konvensional LPDP mengeksklusi bidang seni yang bekerja dengan cara berbeda.
Terakhir, banyak ragam seni yang bersifat kolektif ketimbang individual. Sementara, ketentuan LPDP secara spesifik mensyaratkan pengaju beasiswa punya prestasi kategori individu. Maka, para anggota kelompok tari dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang membawakan Ratoeh Jaroe dan menang juara umum International Art Festivals and Contest “Magic Bridge of Vienna and Prague" tak bisa mendaftar beasiswa ini.
Meski demikian, apakah masuk nominasi Grammy sama baiknya dengan menjadi Juara I di ajang penghargaan musik lain? Ataukah menang penghargaan film terbaik lebih berarti daripada penghargaan individual seperti sutradara atau penulis naskah terbaik? Mungkin kegamangan ini—serta keharusan untuk menyaring “prestasi luar biasa”—membuat LPDP memukul rata syarat memenangkan kompetisi untuk mendaftar Beasiswa Prestasi Seni.
Untuk mengatasinya, LPDP dapat membentuk komite pemilihan beasiswa yang memahami bidang dan ekosistem seni. Dengan mekanisme ini, pendaftar beasiswa menyerahkan Curriculum Vitae yang berisi rekam jejak, termasuk penghargaan dan kemenangan di kompetisi seni. Dengan komite pemilihan yang cakap, LPDP dapat percaya beasiswa diberikan kepada individu yang berkomitmen dan potensial.
Di masa depan, mekanisme LPDP untuk mengidentifikasi kriteria prestasi seni dapat menjadi panutan bagi penyedia beasiswa lainnya. Apalagi, ada wacana Dana Perwalian Kebudayaan dengan anggaran Rp5 triliun yang dijanjikan Presiden Joko Widodo. Dana ini dapat digunakan untuk mendanai pendidikan tinggi seni. Tapi hingga peraturan Dana Perwalian Kebudayaan ditetapkan, LPDP masih menjadi harapan utama bagi pengejar beasiswa bidang seni.
Menurut Dendy Raditya Atmosuwito saat menyoal kebijakan LPDP memangkas jatah beasiswa untuk disiplin sosial-humaniora, pemberian beasiswa saja tak cukup jika akademisi penerima beasiswa harus berhadapan dengan birokrasi kampus, terbatasnya insentif riset, serta minimnya otonomi keilmuan saat kembali. Namun, seniman tidak hanya berhadapan dengan carut-marut institusi pendidikan seni; mereka juga menemui aparatur sipil negara yang tak cakap mengurusi taman budaya, lembaga negara yang hanya melibatkan seni sebagai pengisi acara, hingga tak meratanya tingkat literasi masyarakat.
Beasiswa memang tidak otomatis menyelesaikan semua permasalahan seni, yang ekosistemnya memang harus diperbaiki secara menyeluruh. Tiap ekosistem bidang seni seperti musik, sastra, film, dan seni rupa memiliki unsur dan cara kerjanya masing-masing yang perlu dipahami. Ini senapas dengan UU Pemajuan Kebudayaan yang juga memiliki pendekatan ekosistemik.
Meski demikian, beasiswa bagi pendidikan tinggi seni adalah salah satu kunci perbaikan ekosistem seni Indonesia, karena kemampuan riset yang baik mutlak dibutuhkan untuk memahami cara kerja ekosistem. Tanpa periset dan pegiat seni yang cakap dalam riset, proses perbaikan seni di Indonesia hanya akan compang-camping.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.