Menuju konten utama

Keriangan & Histeria di Antara Bleduk: Kesaksian Cherrypop 2023

Cherrypop adalah festival musik alternatif yang diadakan di Yogyakarta. Gelaran di 2023 ini adalah yang kedua kalinya.

Keriangan & Histeria di Antara Bleduk: Kesaksian Cherrypop 2023
Cherry Pop Swasembada Musik. foto/https://cherrypop.id/penampil/

tirto.id - Segera setelah mengambil gambar, saya mengirim foto band dengan latar belakang bertuliskan Jenny itu ke seorang teman di Makassar.

Namanya Zulkhair “Bobhy” Burhan. Medio 2011-2013 dia kuliah di Yogyakarta. Masa itu begitu menyenangkan. Di sela-sela menulis paper dan diskusi, dia tak lupa wara-wiri mendatangi berbagai gigs. Dari banyak band yang pernah dia tonton, Jenny menempati posisi paling istimewa. Lirik yang ditulis serupa barisan kotbah, musik yang terdengar bengal –campuran estetika kebisingan melodius terbaik dari periode 70-80– hingga kampanye soal kesetaraan, bikin terkesima.

Hari pertama dia menonton Jenny menempel betul di ingatannya: 27 Februari 2011. Sejak itu, dia tak pernah lagi menoleh ke belakang. Pulang kampung ke Kota Angin Mamiri, Bhoby punya inisiatif bikin komunitas literasi yang dia beri nama Kedai Buku Jenny. Hubungannya dengan para personel Jenny, terutama Farid Stevy sang vokalis, menjelma jadi perkawanan hangat.

Ketika anak sulung Bobhy, Mahatma Ali El Gaza, ulang tahun pertama di 2010, Farid menulis “Anak Maha”, yang kemudian masuk dalam buku Maha Tanpa Huruf Kapital (2012) terbitan Kedai Buku Jenny.

Di masa kau terlahir, orang-orang seakan berlari terburu-buru ke arah yang sama,

tapi bertabrak-tabrakan, saling menginjak dan tidak menghiraukan.

Arah yang di lambang mata angin tidak tertera.

Arah yang di warisan-warisan kebajikan tidak tertera.

Arah yang ternyata tidak ada yang tahu itu di mana.

Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha chaos

Tak sampai setahun setelah Bobhy menonton Jenny, kuartet ini ditinggal dua anggota keluarganya. Untuk menghormati mereka yang pergi duluan, dua orang tersisa memutuskan mengganti nama mereka menjadi Festivalist, kemudian jadi FSTVLST. Bait-bait “Anak Maha”, yang di blog Farid ditulis dengan judul “Orang Bone Kecil” ini kemudian beralihrupa jadi “Hal-Hal Ini Terjadi”, satu lagu dalam album perdana FSTVLST, Hits Kitsch (2014).

Di hari album itu dirilis, FSTVLST lahir dan Jenny tertidur lelap.

Kiriman foto untuk Bobhy tentu tak dimaksudkan sebagai aksi schaunfraude. Hanya ingin berbagi kebahagiaan, bahwa band favorit Bhoby, bermain lagi setelah tujuh tahun berselang sejak reuni Jenny pada 2016 silam.

Pada dasarnya, kelambu nama Jenny memang sudah lama ditutup. Cherrypop kemudian membangkitkannya lagi. Di hari terakhir itu, ada ribuan orang yang akhirnya menyaksikan sendiri penampilan Jenny sebagai satu dari beberapa band mitos Yogyakarta. Termasuk saya yang pernah tinggal di Yogyakarta pada akhir 2011 hingga 2014, tapi sama sekali tak pernah menonton Jenny secara langsung.

Karena harapan seringkali menjadi sumber penderitaan dan kekecewaan, maka saya sengaja menaruh harapan ke titik terendah. Saya hanya ingin menikmati Jenny, enggan memotret segala yang ideal dan dongeng-dongeng manis tentang mereka. Mari bayangkan saja ini 2003: mereka baru terbentuk setelah berbagai proses tukar referensi musik, Yeah Yeah Yeahs merilis Fever to Tell, Radiohead hilang arah dan makin ruwet di Hail to the Thief, serta gerakan garage rock dari New York makin membesar dan meluas tiga tahun setelah Is This It.

Malam itu, dada saya sesak dengan euforia. Melihat Roby, Anis, Arjuna, dan Farid naik ke panggung dan disambut gegap gempita, hati bungah. Senyum mekar, itu sudah pasti. Saya melihat wajah-wajah tak asing, baik di pinggir panggung maupun di kerumunan penonton. Saya rasa mereka merasakan euforia serupa. Tak ada mendung di wajah-wajah itu.

“The Only Way” digeber di awal, diikuti “Maha Oke”, dan setelah itu kami semua seperti lupa besok hari Senin. Ini hari Minggu, kami semua menanti "Manifesto", "Mati Muda", agar (tidak) menangisi akhir pekan!

Band Mitos dan Swasembada Musik

Apa sih band mitos itu?

Sejak sekira dua atau tiga tahun terakhir istilah band mitos memang jadi populer. Secara umum, ia dipakai untuk menggambarkan band yang jarang manggung. Sepengetahuan saya, Melancholic Bitch (sekarang Majelis Lidah Berduri) adalah salah satu band yang disemati gelar band mitos. Mereka sibuk, vokalisnya studi di luar negeri dalam waktu lama, dan karenanya memilih hiatus. Ketika mereka akhirnya manggung, wajar kalau banyak penggemar menyambut.

“Jadi band mitos itu kayak orang-orangnya ada, dinantikan oleh banyak orang, tapi gak tau mau nyari atau nonton mereka kapan dan di mana,” kata Kiki Pea, Project Director Cherrypop.

Bagi saya, band mitos tidak hanya band yang jarang manggung. Tapi juga band yang, atas nama takdir yang pahit, jarang saya tonton. Dua hari Cherrypop, 19 dan 20 Agustus 2023, berhasil menuntaskan rasa penasaran saya. Kombinasi band-jarang-manggung dan band-yang-tak pernah-saya-tonton hadir, dan ya Tuhan, saya jadi seperti anak kuliahan yang gemar mengejar gigs hingga mana-mana.

Rabu, jadi band mitos pertama yang saya tonton sore itu. Membuat saya terpaksa meninggalkan set Bangkutaman di lagu kedua, Rabu memberikan suasana wingit yang terasa pas dengan panggung mereka di Yayapa Stage yang dikelilingi pepohonan dan sinar lampu temaram.

Medio 2014, sekira dua bulan sejak meninggalkan Yogyakarta untuk pindah ke Ibu Kota, album Renjana sampai di kantor setelah sebelumnya saya mendengar mereka via Yes No Wave di penghujung 2013. Kemasannya unik: besek. Beberapa teman mengira itu gethuk yang dibeli dari luar kota. Kemudian kaus dengan artwork Nyi Roro Kidul menyusul datang, dan sampai sekarang masih jadi salah satu kaos favorit saya.

Petang itu, satu dekade sejak mendengarkan “Semayam” dan membayangkan lagu ini adalah bagaimana jika kegelapan dan kengerian punya suara, akhirnya saya bisa juga menyaksikan Wednes Mandra bernyanyi. Tampil dengan formasi tiga gitaris, satu bassist, dan satu keyboardist, Rabu menghadirkan aura mistisme yang pekat. Tema-tema lagu soal kematian, klenik, dan hal-hal astral terasa klop dengan musik fidelitas rendah, petikan gitar bernada ganjil, atmosfer laiknya sapuan grain dalam foto kuno, dan suara Wednes yang berat itu.

Di sana dan sini, bulu halus di tengkuk meremang. Tapi pengalaman angker ini sayangnya tak sempurna sebab beberapa kali terjadi gangguan suara. Apalagi ada jeda cukup lama jelang akhir penampilan mereka karena menunggu Adzan selesai berkumandang. Ini bikin memedi tak jadi mampir dan sepertinya memilih putar balik.

Setelah Rabu selesai, The Southern Beach Terror menempati panggung yang sama tapi menghadirkan suasana yang berbeda. Penuh terjangan ombak tinggi pantai selatan dan banjir reverb yang diset mentok. Di tengah set, crowd surfing sudah pasti terjadi. Band yang konon hanya mau tampil lima tahun sekali ini, membawa energi yang penuh angin pantai: gerah, bikin berkeringat.

Pamungkas di hari pertama bagi saya adalah Seek Six Sick, yang juga belum pernah saya tonton. Datang di tengah set setelah menunggu Rumahsakit menyanyikan anthem “Hilang” di panggung Mojok Nanaba Stage, saya menyaksikan lima orang bapak-bapak mengenakan kemeja hitam, dan satu orang penyanyi perempuan.

Ini adalah Seek Six Sick versi 2023. Selain Soni Irawan dan Jimi Mahardhika, band noise rock veteran ini menggandeng Moki di drum, Rudy Atjeh di bass, dan Ahmad Oka pada vokal/spoken words. Sedangkan penyanyi perempuan ini, kalau saya tak salah, adalah Danish, anak perempuan Soni yang juga aktif bermain musik.

Menonton bapak-bapak paruh baya ini memberikan perasaan girang yang sukar dilukiskan. Dibentuk sejak akhir 1990-an yang penuh gejolak itu, Seek Six Sick bertahan nyaris tiga dekade berikutnya –yang jelas tak mulus-mulus saja. Mereka adalah contoh ideal bagaimana jadi manusia paruh baya yang tak mengorbankan semangat bersenang-senang.

Lagu-lagu bising seperti “Awas Neraka”, “You and Me”, dan “Menghabiskan Matahari” sukses membuat penonton berjingkrakan. Secara khusus, saya menghabiskan stok pita suara saya malam itu ketika “Sunshine” dimainkan. Ugh, suara bass Atjeh terdengar pulen dan bulat, menyembur kencang dari ampli Ampeg yang ikonik itu.

Saya kemudian memutuskan undur diri setelah badan terasa lungkrah. Masih ada hari kedua, dan saya ingin menyimpan energi untuk besok. Masih ada Agus Magelangan Electone, Majelis Lidah Berduri, Efek Rumah Kaca, dan tentu saja Jenny.

Jelang “Sophia Latjuba” selesai dikumandangkan, di tengah bleduk yang tak juga berkurang sedari siang tadi, saya memutuskan pulang. Dari sela-sela pepohonan jati yang baru saja tumbuh remaja, terdengar teriakan lirik yang terasa penting dijadikan doa bagi generasi yang sudah akrab dengan Simvastatin.

Hidup sehat

Bahagia

Tidak mati!

Infografik Cherrypop

Infografik Cherrypop. tirto.id/Ecun

Berbagi Pengalaman, Dengar Cerita, Menulis Sejarah Sendiri

Festival musik, pada nyatanya, tak pernah melulu tentang musiknya yang berdiri sendiri. Tentu, deretan penampil adalah motivasi utama penonton datang ke sebuah festival musik. Tapi pertanyaannya: apa yang akan terjadi setelah musik selesai dimainkan dan lampu sorot telah dimatikan?

Before I sink

Into the big sleep

I want to hear

I want to hear

The scream of the butterfly

Di sini, Cherrypop memberi arti penting aktivasi dalam sebuah festival musik. Semacam pengejawantahan –maafkan istilah yang segenerasi dengan swasembada– dari the scream of the butterfly yang menggema sebelum tirai pertunjukan terbuka dan tertutup.

Sebelum pesta diadakan di Asram Edupark, anggota tim Cherrypop berkeliling di tujuh kota. Ini mungkin biasa, jika tak melihat list kota tur. Tujuan mereka seringkali dilewati acara serupa, semisal Klaten maupun Ambarawa.

Yang istimewa adalah gerakan diseminasi pengetahuan dan pengalaman lewat Rekam Skena. Tanpa semangat menggurui, tim Cherrypop dan fasilitator, berkeliling, mengajak para komunitas di berbagai kota untuk membuat film dokumenter tentang kancah musik di kota masing-masing. Semacam gerakan untuk menulis sejarah mereka sendiri. Di sini peran fasilitator untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan pada komunitas lokal, mendengar cerita mereka agar tak terjerumus dalam lubang kacamata kuda, sekaligus membebaskan para peserta menggali cerita mereka sendiri

Tahun ini Rekam Skena menyambangi Banjarnegara, Purwokerto, Purbalingga, dan Cilacap, yang keempatnya masuk dalam wilayah Karesidenan Banyumasan. Cherrypop menggandeng komunitas lokal, yaitu Hellofriends (Purbalingga), Kolektif Pancaroba (Banjarnegara), Kolektif Barokah (Cilacap), dan Heartcorner (Purwokerto).

Hasilnya adalah film-film dokumenter yang begitu kuat menguarkan semangat lokalitas . Tidak Ada Party di Kabupaten Ini dari Kolektif Pancaroba, Dayabara dari Hellofriends, Ruang Kami: Soetedja karya Heartcorner Collective, juga Independensi di Tengah Kota Industri buatan Kolektif Barokah menghadirkan cerita yang dekat, tapi masih memberikan ruang besar bagi keingintahuan dan penasaran. Ini tentu jenis cerita yang mungkin akan terasa “jauh” bagi banyak orang, mengingat kota-kota ini memang nyaris tak punya suara di perbincangan musik kota-kota besar.

Film-film ini lantas diputar di area misbar Cherrypop dan berhasil membuat banyak penonton anteng menyimak. Tak sedikit pula yang terpukau, tak percaya bahwa pembuat empat film ini sama sekali tak punya pengalaman sebelumnya.

“Saking terpukaunya, aku sampai melewatkan band-band yang sebenarnya sejak awal mau kutonton, dan lebih milih nonton film,” kata Wiwid Coreng (43), salah seorang penonton yang datang dari Jember.

Semangat “tulis sejarah kalian sendiri” juga ditularkan ke program baru Cherrypop tahun ini: Pena Skena. Dibandingkan Rekam Skena yang berbasis audiovisual, Pena Skena bisa dibilang lebih konvensional: jurnalisme musik berbasis teks. Tujuan jangka panjangnya sama, para peserta program ini bisa menulis kancah musik mereka sendiri.

Yang mengejutkan, bahkan dari sudut pandang panitia, peminatnya banyak. Ada lebih dari 40 pendaftar dari berbagai kota. Sebagian besar memang masih berpusat di Jawa, meski ada satu yang berasal dari Bali. Namun peserta dari kota-kota seperti Jember, Magelang, Lamongan, juga Kulonprogo, dan juga komposisi lelaki-perempuan yang nyaris seimbang, membuat pengurus program ini yakin bahwa jurnalisme musik berbasis teks belum layak masuk museum.

Ada 15 orang peserta yang terpilih, dan mereka akan dapat akses liputan, sekaligus diberi akses backstage untuk wawancara musisi dan seniman yang terlibat dalam Cherrypop. Menariknya lagi, mereka tak hanya fokus ke band atau musik. Ada yang ingin menulis tentang merchandise dan koleksi fisik, ada yang berencana mengisahkan tentang Rekam Skena dan kolektifnya, ada pula yang mau menceritakan tentang kiprah perempuan dalam kultur musik independen. Semua dari mereka tahu ingin menulis apa dan mewawancara siapa.

Melihat gegap gempita gerakan ini, saya jadi terngiang kata-kata Farid Stevy di atas panggung ketika Jenny tengah membakar massa setelah menyanyikan “Resistance is Futile”. Ia memberikan semangat bagi mereka yang sedang berjuang di jalan mereka sendiri, agar tak menjalani hidup yang layak mati muda.

“Untuk semua yang sedang memulai, apapun itu!”

Gerakan dokumentasi dan pengarsipan yang bersifat lokal, juga gerakan berbagi pengetahuan dan pengalaman ini adalah tonggak penting bagi kultur musik Indonesia. Rekam Skena dan Pena Skena, bahu membahu dengan berbagai gerakan pengarsipan musik yang sudah dimulai duluan oleh berbagai kolektif lain, mulai dari Irama Nusantara sampai Wasted Rocker.

Dalam konteks Cherrypop, dua program mereka memang bertujuan jangka panjang, tak akan terlihat dalam satu dua bulan mendatang. Tapi benih telah ditanam, pupuk telah disebar, air telah disiram.

Cherrypop sedang memulai sesuatu, dan mereka belum akan berhenti. []

Baca juga artikel terkait CHERRYPOP atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Irfan Teguh Pribadi