tirto.id - Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Lampung Tengah, Madani mengaku pernah menerima uang dari Taufik Rahman, Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah. Ia menerima uang sebesar Rp100 juta sebagai uang operasional. Namun, uang tersebut sudah dikembalikan ke KPK.
"Saya terima Rp100 juta untuk operasional. Saya terima di rumah, dan sudah saya kembalikan ke KPK," terang Madani saat bersaksi untuk terdakwa Bupati nonaktif Lampung Tengah, Mustafa, Kamis (17/5/2018).
Pada saat itu, Mustafa tidak tahu asal usul uang tersebut. Ia pun tidak dimintai pertanggungjawaban dari penggunaan uang tersebut.
Jaksa mendakwa, Mustafa disebut menyuap sekitar 6 anggota DPRD Bupati Lampung Tengah. Keenam orang yang menerima uang tersebut adalah Achmad Junaidi selaku Ketua DPRD, Natalis selaku Wakil Ketua DPRD, Rusliyanto, Raden Zugiri, Bunyana dan Zainuddin.
Dalam kasus suap ini KPK sudah menetapkan empat orang tersangka yakni Mustafa, J Natalis Sinaga, Rusliyanto, dan Taufik Rahman.
Kronologi Kasus Suap Bupati nonaktif Lampung Tengah
Duduk perkara ini berawal dari Mustafa yang diduga menyuap para anggota DPRD untuk menyetujui rencana pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp300 miliar pada tahun anggaran 2018. Uang itu rencananya dipakai untuk mendanai pembangunan proyek infrastruktur berupa ruas jalan dan jembatan yang akan dikerjakan oleh Dinas PUPR Lampung Tengah. Namun, rencana itu tidak disetujui DPRD Lampung Tengah.
Lantaran itu Mustafa berusaha melobi DPRD dengan menemui Natalis di kediamannya. Natalis akhirnya menyanggupi permintaan tersebut dengan syarat Mustafa menyiapkan uang Rp5 miliar, untuk nantinya diserahkan kepada pimpinan DPRD Lampung Tengah. Mustafa sepakat dan siap dan akan menyerahkan uang tersebut kepada Natalis.
Belakangan, Mustafa mendapat informasi, Natalis meminta uang tambahan Rp3 miliar untuk persetujuan tersebut. Mustafa pun memerintahkan Taufik untuk mencari uang.
Untuk mendapatkan uang, Taufik akhirnya menawarkan proyek kepada dua orang pengusaha yakni Simon Susilo dan Budi Winarto alias Awi dengan catatan harus memberikan komitmen fee awal. Kedua kontraktor tersebut setuju. Simon menyanggupi dan memilih dua paket proyek yang total nilai anggarannya sebesar Rp67 miliar. Ia berjanji memberikan komitmen fee sebesar Rp7,5 miliar. Sementara itu, Budi memilih satu proyek dengan nilai proyek Rp40 miliar. Ia bersedia memberikan komitmen fee Rp5 miliar.
Bagi-bagi Duit ke DPRD Lampung
Setelah terkumpul, Taufik kemudian melaporkan kepada Mustafa. Uang kemudian diberikan kepada DPRD secara bertahap sejak November sampai dengan Desember 2017 dengan total penyerahan uang sebesar Rp8,695 miliar.
Rinciannya, Natalis sebesar Rp2 miliar, Raden Zugiri selaku Ketua Fraksi PDIP secara bertahap melalui Rusmaladi dan Aan Riyanto Rp1,5 miliar. Bunyana alias Atubun anggota DPRD Kabupaten Lamteng melalui Erwon Mursalin selaku Ajudan Mustafa sebesar Rp 2 miliar. Zainuddin selaku Ketua Fraksi Gerindra yang diserahkan kepada Gunadi Ibrahim selaku Ketua Partai Gerindra Provinsi Lampung senilai Rp1,5 miliar.
Kemudian penyerahan tambahan kepada Natalis, Raden dan Zainuddin melalui Andri Kadarisman Rp495 juta, dan penyerahan untuk Achmad Junaidi selaku Ketua DPRD Kabupaten Lamteng melalui Ismail Rizki, Erwin Mursalin dan Ike Gunarto, sebesar Rp1,2 miliar.
Selain itu, Mustafa juga dinilai berusaha memberikan uang tambahan sebesar Rp2,5 miliar kepada DPRD Lampung Tengah untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan Pimpinan DPRD Kabupaten Lampung Tengah untuk dilakukan pemotongan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan/atau Dana Bagi Hasil (DBU) Lampung Tengah dalam hal terjadi gagal bayar.
Akhirnya, Mustafa kembali memerintahkan Taufik untuk mencari dana kepada rekanan lain yakni Miftahullah Maharano Agung. Mustafa memberikan uang Rp900 juta dari Miftahullah dan tambahan kas Dinas Bina Marga senilai Rp100 juta kepada Natalis untuk persetujuan. Akan tetapi, penyerahan uang tersebut berhasil digagalkan KPK lewat operasi tangkap tangan. Jaksa meyakini, seluruh uang suap lebih dari Rp9 miliar.
Atas perbuatanya, Mustafa disangkakan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Agung DH