tirto.id - Sepanjang November 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penguatan cukup signifikan. Pada 1 November, posisi rupiah berada pada level Rp15.195 per dolar AS, menguat 0,21 persen setara 32 poin dibanding posisi nilai tukar sebelumnya yaitu Rp15.227 per dolar AS.
Nilai tukar rupiah terhadap greenback menguat selama 9 hari berturut-turut sejak 31 Oktober 2018 sampai puncaknya pada 9 November 2018 kemarin. Secara keseluruhan, nilai tukar rupiah menguat sebesar 3,97 persen dari posisi Rp15.237 menjadi Rp14.632 per dolar AS, level tertinggi yang sempat ditembus.
Persentase tertinggi penguatan rupiah terjadi pada 7 November 2018, saat itu nilai tukar versi JISDOR diperdagangkan pada kisaran Rp14.764 per dolar AS. Nilai tukar menguat 0,85 persen setara 127 poin dibanding perdagangan sebelumnya di posisi Rp14.891 per dolar AS.
Jika dihitung sejak awal 2018, nilai tukar rupiah memang masih melemah sebesar 8,04 persen hingga 9 November 2018. Namun, penguatan rupiah pada pekan pertama dan kedua November tentu kabar baik bagi otoritas moneter maupun pemerintah.
Penguatan nilai tukar menurut riset Danareksa Research Institute disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor domestik yang memengaruhi penguatan nilai tukar setidaknya ada tiga sebab.
Pertama, perekonomian Indonesia relatif masih tumbuh positif di tengah-tengah gejolak eksternal. Pertumbuhan Ekonomi RI Triwulan III 2018 Tercatat 5,17 persen, memang melambat dari tiga bulan sebelumnya yang sempat tumbuh 5,27 persen. Selain itu, laju inflasi tetap terjaga, inflasi Oktober 2018 0,28 persen (mtm), secara kumulatif sampai dengan Oktober 2018 tercatat 2,22 persen (ytd) dan secara tahunan sebesar 3,16 persen (yoy).
Kinerja ekonomi yang masih positif ditambah dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang masih relatif baik, mendorong investor asing mulai masuk ke pasar saham dan obligasi.
“Sejak tanggal 25 Oktober 2018, investor asing sudah net-buy untuk saham dan obligasi, meskipun hitungan secara year-to-date masih net-sell,” kata Damhuri Nasution, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute dalam riset dan penjelasannya kepada Tirto.
Faktor lain yang membuat rupiah mampu menguat trehadap dolar AS adalah kebijakan transaksi domestic non-deliverable forward (DNDF). Aturan yang diterbitkan pada 28 September dan mulai berlaku pada awal November, memberikan alternatif bagi perusahaan dalam negeri atau investor yang membutuhkan hedging atau lindung nilai kurs mata uang.
Aturan yang dikeluarkan BI ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan bagi eksportir, importir serta investor dalam melakukan kegiatan ekonomi dan investasi melalui kemudahan transaksi lindung nilai terhadap risiko nilai tukar rupiah di dalam negeri.
“Jadi perusahaan-perusahaan yang tadinya membeli NDF dari luar negeri di mana ada kecenderungan kuotasinya rupiah lemah, mulai berpaling ke domestik NDF. Ini mendorong penguatan rupiah,” jelas Damhuri.
Faktor dalam negeri lain yang membuat rupiah tak melulu merunduk di hadapan dolar adalah sebagian masyarakat yang memegang dolar mulai menukarkannya ke rupiah. Hal itu dilakukan karena adanya khawatir kurs rupiah makin menguat.
Sementara itu, faktor eksternal yang turut memengaruhi perkasanya rupiah adalah adanya keyakinan internasional terhadap rencana hasil pertemuan antara Presiden AS dengan pemimpin Cina, terkait perang dagang kedua negara. Pertemuan antara Trump dan Xi Jinping menghasilkan kesepakatan, tensi perang dagang dapat menurun dan kekhawatiran akan mereda. Pertemuan yang rencananya digelar akhir bulan ini, menjadi agenda yang ditunggu-tunggu dunia internasional.
Faktor kedua pengaruh positif terhadap rupiah terkait sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS kepada Iran. Sebelumnya, Donald Trump meminta seluruh negara di dunia untuk tidak membeli minyak dari Iran. Namun ketika sanksi itu berlaku, AS memberikan keringanan kepada delapan negara untuk tetap bisa membeli minyak dari Iran. China, Jepang, Korsel, India, Taiwan, Turki, Italia, dan Yunani, terbebas dari sanksi tersebut.
Akibatnya, harga minyak jenis brent yang sempat melambung ke level $86 per barel, turun ke posisi $76 per barel. Harga minyak WTI juga mengalami penurunan harga dari $72 per barel menjadi $62 per barel. “Penurunan harga minyak akan bisa menurunkan defisit neraca perdagangan minyak. Sehingga, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) Indonesia bisa lebih baik ke depannya,” imbuh Damhuri.
Selain itu, program B20--mencampur solar dengan minyak sawit 20 persen--masih ada harapan untuk menekan impor minyak yang selama ini banyak menguras dolar, sehingga ada potensi menekan CAD lebih jinak. Menurut Damhuri, hal tersebut juga akan memberikan dampak yang positif bagi rupiah. Posisi CAD Indonesia pada triwulan III-2018 tercatat sebesar $8,8 miliar atau setara 3,37 persen PDB.
Angka itu lebih tinggi dibandingkan defisit pada triwulan sebelumnya yang sebesar $8 miliar atau setara 3,02 persen PDB. Secara akumulatif, CAD Indonesia sampai dengan kuartal III-2018 sebesar 2,86 persen PDB. “Sehingga masih dalam batas aman,” tutur Agusman, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI melalui keterangan resmi tertulis.
Faktor eksternal lain yang juga memengaruhi penguatan rupiah adalah kemenangan Partai Demokrat di AS menguasai HouseofRepresentatives pada pemili paruh waktu awal November lalu juga memberikan sentimen positif. Sebab dengan berkuasanya Partai Demokrat di HouseofRepresentatives, maka beberapa kebijakan fiskal AS seperti pemotongan pajak dan peningkatan belanja militer, akan semakin sulit dilakukan oleh Presiden Trump. Selama ini, menurut penilaian Damhuri, ekspansi fiskal yang dilakukan AS menyebabkan defisit terhadap APBN negara tersebut melebar.
Imbasnya, pemerintah AS harus menerbitkan surat utang negara dengan imbal hasil yang menggiurkan. Dengan begitu, ujungnya utang Negara Paman Sam tersebut membengkak. Nah, jika kebijakan yang dilakukan Donald Trump tersebut ditekan, maka potensi kenaikan tingkat suku bunga acuan (Fed Fund Rate/ FFR) yang agresif juga bisa diredam. Bila FFR bisa diredam, maka efek lanjutan terhadap tekanan pada rupiah bisa dikurangi.
Namun, bila rencana pertemuan Trump dengan Xi Jinping yang digelar pada akhir bulan ini menemui jalan buntu, maka tensi perang dagang kembali memanas. Jika pertemuan tak menghasilkan kesepakatan dan jalan keluar, maka per 1 Desember 2018, AS akan mulai mengenakan tarif bea masuk impor terhadap seluruh produk asal Cina sebesar 10 persen. Menyusul berikutnya pada 1 Januari 2019, tarif impor barang asal negeri Tirai Bambu akan naik menjadi 25 persen.
“Indonesia harus mencermati perkembangan kesepakatan tersebut dan dampaknya terhadap nilai tukar rupiah,” kata Damhuri.
Selain itu, masih ada risiko lain yaitu kelanjutan dari sanksi pengecualian pembelian minyak terhadap delapan negara kepada Iran, menurut Damhuri, juga bisa dicabut sewaktu-waktu. Hal inilah yang bisa menimbulkan ketidakpastian di pasar. Agenda lain yang membayangi pelemahan rupiah adalah rencana bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) menaikkan FFR yang keempat kalinya pada Desember tahun ini.
The Fed memang telah menjadwalkan agenda kenaikan tingkat suku bunga AS yang keempat kalinya pada akhir tahun ini. Rencananya, agenda rapat Federal Open Market Committee (FOMC) akan digelar selama dua hari pada 19-20 Desember mendatang.
“Jadi, tiga faktor ini yang membuat nilai tukar rupiah dapat kembali mengalami tekanan,” jelas Damhuri.
Editor: Suhendra