tirto.id - “Virus corona tidak muncul duluan di negara kaya," tulis jurnalis senior Michael Hobbes dalam laporannya di Huffington Post, "tetapi kemudian merontokkan negara kaya.”
Di akhir 2019, SARS-CoV-2, virus di balik COVID-19, muncul pertama kali di Cina.
Jika Cina bertindak cepat, COVID-19 mungkin tak terlalu meluluhlantakan dunia. Sedihnya, Beijing bertindak sebaliknya. Lihatlah, sebelum corona membesar, di akhir tahun itu, Dr. Li Wenliang, dokter yang bekerja Rumah Sakit Pusat Wuhan, melalui WeChat, telah memperingatkan kemungkinan adanya wabah baru pada kolega-koleganya. Sayangnya, beberapa hari selepas Dr. Li mengirim chat memperingatkan kolega-koleganya, penguasa Wuhan bertindak di luar dugaan. Sebagaimana dipaparkan dalam seri dokumenter garapan Vox Coronavirus, Explained, aparat kepolisian Wuhan memaksa Dr. Li menandatangani surat permintaan maaf bahwa ia telah menyebarkan kabar bohong dan hoaks. Ia diancam akan memperoleh "hukuman keras jika mempertahankan pendapatnya.”
Selain itu, sebagaimana diceritakan Joby Warrick untuk Washington Post, selama bertahun-tahun sebelum COVID-19 muncul, tim ilmuwan dari Wuhan, Cina, telah menjelajahi Asia Selatan untuk mencari kelelawar--reservoir parasit patogenik berbagai penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia). Salah satu hasil pencarian tim ilmuwan itu ialah virus RaTG13, virus yang memiliki urutan genom identik dengan SARS-CoV-2, sebesar 96 persen.
Dua peringatan/petunjuk di atas nampak sudah sangat cukup dimanfaatkan membendung penyebaran corona. Tapi, semuanya terlambat. Menurut data yang dikumpulkan Johns Hopkins University, hingga 11 Juni 2020, lebih dari 7,4 juta penduduk dunia terkonfirmasi terinfeksi Corona.
Kembali ke Hobbes, dari besarnya jumlah penduduk di seluruh dunia yang terinfeksi Corona, negara-negara kaya, atau sebut saja negara-negara global north, adalah yang paling menderita. Artikel Hobbes mengutip laporan Bank Dunia berjudul “COVID-19 Mortality in Rich and Poor Countries A Tale of Two Pandemics?”. Dalam laporan itu disebutkan bagaimana negara-negara berkembang, atau negara-negara global south, merupakan tempat hidup bagi 85 persen total populasi dunia. Namun, global south rupanya hanya menyumbang 21 persen dari total kematian akibat Corona. Jauh sedikit dibandingkan yang disumbang tetangga-tetangga dari utara.
Mengapa?
Global South Relatif Lebih Baik Menanggulangi Corona?
Umumnya, negara-negara di belahan bumi utara yang disebut sebagai global north relatif lebih makmur, maju--dan menilik sejarah--merupakan negara-negara bekas penjajah. Tak heran mereka punya keunggulan, misalnya, soal urusan visa atau izin masuk negara.
Para pemegang paspor dari negara-negara global north dapat singgah ke banyak negara tanpa memerlukan visa. Hanley & Partners menyebut pemegang paspor AS dapat terbang ke 184 negara tanpa memerlukan visa. Sementara itu, para pemegang paspor dari global south harus memakai visa untuk bertandang ke negara-negara global north.Hari ini, para pemegang paspor Bangladesh, misalnya, hanya bisa singgah ke 41 negara tanpa memerlukan visa.
Mengapa terdapat muncul pembedaan tersebut? Ada kekhawatiran jika orang-orang dari belahan bumi selatan--yang relatif lebih miskin--dibebaskan dari visa, mereka akan memanfaatkannya untuk mencari pekerjaan, suaka, atau melakukan tindak kriminal di negara-negara kaya.
Global north boleh unggul soal catatan sejarah, ekonomi, dan paspor. Soal urusan menanggulangi COVID-19, tapi global south tampaknya lebih unggul. Merujuk catatan Johns Hopkins University, dari 10 negara korban terbanyak terinfeksi Corona, tujuh berasal dari global north, yakni AS, dengan lebih dari 2 juta jiwa terinfeksi Corona, Rusia (501 ribu jiwa), Inggris (292 ribu jiwa), Spanyol (242 ribu jiwa), Italia (234 ribu jiwa), Perancis (192 ribu jiwa), dan Jerman (186 ribu jiwa). Di sisi lain, perwakilan global south yang terbanyak terinfeksi Corona ialah Brazil (772 ribu jiwa), India (286 ribu jiwa), dan Peru (208 ribu jiwa).
Hobbes menegaskan bahwa banyaknya korban dari negara-negara global north tidak menunjukkan bahwa negara-negara global north lebih terkoneksi atau lebih banyak melakukan tes/pengujian. Alasannya, Cina termasuk negara global south, demikian pula negara-negara global south lain yang secara geografis bersebelahan dengan Cina, misalnya Vietnam atau Mongolia. Artinya, tegas Hobbes, “negara-negara global south mengalami pandemi Corona sama parahnya dengan rekannya yang lebih kaya, global north.”
Yang membuat korban Corona di global south lebih sedikit dibandingkan global north bisa dijelaskan secara sederhana: negara-negara global south relatif lebih baik menangani Corona. Di bulan Januari, misalnya, ketika Presiden Donald Trump meyakinkan rakyat AS bahwa jumlah infeksi Corona akan menuju titik nol, Senegal menutup perbatasannya. Di penjuru global south lain, pemerintah Vietnam resmi mengumumkan “perang” terhadap virus Corona kendati belum banyak kasus positif dilaporkan. Tak lama setelahnya, pada 1 Februari, atau sehari setelah dua kasus pertama ditemukan, Vietnam langsung menutuo penerbangan dari dan menuju Cina. Untuk membendung penyebaran lebih lanjut, Vietnam mengkarantina 10 ribu penduduk di Son Loi, sebuah distrik sekitar 40 kilometer dari Hanoi, selama tiga minggu setelah mengetahui ada pasien positif dari daerah tersebut.
Pada Februari, ketika para pemimpin Eropa Barat membiarkan virus menyebar pada pertemuan-pertemuan massal, Mongolia membatalkan perayaan tahun baru Imlek dan membentuk satuan tugas dengan lebih dari 800 anggota.
Kuba, secara ekonomi memang lemah--dan hanya mampu mengimpor produk senilai $2,6 miliar. Tetapi, untuk urusan menanggulangi Corona, Kuba termasuk yang paling siap. Indikatornya, Kuba memiliki banyak dokter. Beberapa tahun setelah revolusi pada 1959, Fidel Castro merombak dunia kedokteran Kuba. Kesehatan dan pendidikan menjadi hak warga negara. Untuk menjadi seorang dokter di Kuba, hampir tidak ada biaya yang diperlukan. Sertifikat dari lembaga pendidikan dokter Kuba juga bisa diterima di mana-mana, termasuk di Amerika Serikat.
Laporan Time 2018 lalu menyatakan Kuba sebagai salah satu negara paling berpendidikan di dunia. Jumlah dokternya pun banyak, tiga kali lipat jumlah dokter per kapita yang dimiliki AS. Dengan jumlah dokter yang melimpah itu, Kuba mengirim dokter-dokternya ke berbagai belahan dunia yang membutuhkan. Hingga kini, tercatat ada sekitar 50.000 dokter asal Kuba yang bekerja sebagai tenaga medis di 67 negara.
Karena lebih sigap dan siap serta mengikuti anjuran ilmuwan dan dokter global south lebih kuat menghadapi corona.
Editor: Windu Jusuf