Menuju konten utama

Kemenkeu Undang Online Travel Agent Asing yang Tak Bayar Pajak

Online Travel Agent asing seharusnya tetap menghormati kedaulatan Indonesia dengan mengikuti aturan perpajakan, yaitu dengan membayar 20 persen.

Kemenkeu Undang Online Travel Agent Asing yang Tak Bayar Pajak
Petugas agen perjalanan melayani pemesanan tiket pesawat. ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) minggu ini akan mengundang pihak Online Travel Agent (OTA) asing dan penyedia sewa kamar secara global yang tidak membayar pajak. Kondisi itu sebelumnya menciptakan persaingan usaha tidak sehat seperti yang diadukan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).

"Nanti kita dengan Bu Menteri [Sri Mulyani Indrawati] akan matangkan setelah itu kita undang pihak-pihak terkait," ucap Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di Depok pada Kamis (30/11/2017).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani menyatakan bahwa OTA asing seharusnya tetap menghormati kedaulatan Indonesia dengan mengikuti aturan perpajakan, yaitu dengan membayar 20 persen sesuai dengan aturan pajak penghasilan (PPh) pasal 26.

"Teman-teman DJP [Direktorat Jenderal Pajak] ini nagih PPh 26 ke kita, kepada hotel. Kita kan enggak bisa motong karena OTA asing ini kan by sistem dan mesin kita enggak tahu juga orangnya itu siapa," ujar Haryadi di Jakarta Convention Center (JCC) pada Kamis (23/11/2017).

Di samping pajak, pihak perhotelan juga ditagih komisi oleh pihak OTA asing 15-30 persen, yang menurutnya tak wajar. Komisi normal menurutnya cukup 15 persen. Menurutnya, di sini tercipta persaingan usaha tidak sehat.

"OTA itu enggak perkara blokirnya, tapi kita minta sama-sama ikuti aturan perpajakan Indonesia dengan gitu kita lebih sehat dalam persaingan. Jangan sampai ada satu bayar pajak satu enggak. Dengan gitu kita bisa evaluasi komisinya dia. Komisinya ini gila-gilaan," ungkapnya.

Pembisnis perhotelan juga terancam terkait sharing ekonomi karena tidak tahu pasti terkait supply dan demand. Lantaran praktik yang dilakukan Airbnb, yang dapat menyewakan kamar banyak unit seperti perhotelan, tapi tanpa aturan.

"Saya tidak hanya bicara Airbnb, tapi kita juga bicara yang lainnya. Kalau dia mesti kena ya kita undang, kalau enggak, enggak kita undang. Tapi, istilahnya kita maping dulu, permasalahannya apa lalu pihak-pihak mana yang kita kerja sama," jelasnya.

Oleh karenanya, Kemenkeu sedang mengkaji penertiban pajak untuk bisnis digital (fintech) secara komprehensif, untuk menciptakan iklim usaha yang adil dan netral, agar tidak ada kesenjangan antara pelaku usaha online dan offline.

"Jadi, yang namanya e-commerce, digital ekonomi itu saya ingin sampaikan merupakan suatu konsep yang sangat luas komperehensif. Sehingga, kita harus men-capture-nya harus hati-hati, tapi harus keseluruhan," katanya.

Regulasi digital ini digodog Kementerian Keuangan melibatkan Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, serta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk menangani aturan lalu lintas digital, dan Bank Indonesia untuk gerbang lalu lintas finansialnya.

Aturannya nanti, antara pajak dan bea cukai akan digabung disebut perpajakan e-commerce. "Kita akan matangkan dulu, karena kita ingin jadi satu. Jangan bea cukai sendiri, pajak sendiri. Nanti istilahnya perpajakan untuk e-commerce, bukan pajak tapi perpajakan. Jadi, pajak dengan bea cukai," terangnya.

Kewajiban untuk membayar pajak penghasilan (PPN) dan penambahan nilai (PPh) untuk e-commerce nantinya, ia tekankan akan dibuat bukan untuk mempersulit bisnis digital. "Harus betul-betul komperehensi jangan sampai mereka lari karena manuvernya cukup banyak," ucapnya.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari