tirto.id -
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberikan dua pilihan kepada angkutan berbasis aplikasi. Pilihan pertama, perusahaan tunduk kepada Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan seperti angkutan konvensional. Pilihan kedua, perusahaan aplikasi bekerjasama dengan operator angkutan umum yang memiliki izin resmi, diantaranya operator taksi maupun angkutan sewa.
“Ini pilihan mereka, bisa menjadi perusahaan angkutan umum atau bekerjasama dengan perusahaan resmi seperti operator taksi atau angkutan sewa,” kata Plt. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Sugihardjo kepada Tirto.id di Kementerian Perhubungan Jakarta, pekan lalu.
Dia menjelaskan, pilihan pertama, kalau perusahaan aplikasi akan menyelenggarakan angkutan umum maka harus berbadan hukum yang memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum seperti taksi konvensional. Syarat lainnya penumpang dilayani dengan kendaraan umum, memakai argometer, tarif ditetapkan pemerintah dan pengemudi harus memiliki surat izin mengemudi (SIM )umum, bukan SIM pribadi.
Pilihan kedua, kata Sugihardjo, perusahaan aplikasi bisa menggunakan angkutan sewa dengan sistem kerjasama. Angkutan sewa tersebut memiliki tanda khusus yang hanya diketahui oleh pihak Kepolisian, misalnya nomor kendaraan pelat hitam, tulisan putih. Langkah ini dilakukan agar pihak keamanan dapat mengendalikan ketika terjadi tindak terorisme yang menggunakan angkutan sewa.
Sugihardjo mencontohkan saat pengeboman di Oklahoma, Amerika Serikat, pihak keamanan langsung mengetahui identitas kendaraan tersebut, baik pemilik angkutan sewa dan siapa yang menyewa dengan waktu cepat yakni dua jam setelah kejadian.
Dia juga menyebutkan bahwa Grabtaxi sudah memenuhi aturan main dan bisa diteruskan. Sedangkan Grabcar belum sesuai aturan karena tidak menggunakan operator resmi. Grabtaxi itu bekerjasama dengan operator taksi resmi, bahkan perusahaan taksi dengan manajemen kecil bisa bekerjasama dengan mereka untuk mendapatkan pelanggan. “Kalau sudah B To B (Business To Business) tidak masalah, mereka bisa masuk,” kata Sugihardjo.
Terkait perusahaan Gojek, menurut Sugihardjo, ada persamaan dan perbedaan dengan Grabcar atau Uber. Persamaannya, sama-sama mengunakan aplikasi untuk menjangkau pelanggan. Sementara perbedaannya adalah kendaraan roda dua (Gojek) dan empat (Grabcar). Kalau melihat lebih jauh, secara aturan Grabcar melanggar undang-undang. Sementara Gojek belum diatur dalam undang-undang tapi melayani masyarakat. “Bobot pelanggarannya berbeda,” katanya.
Sugihardjo menyebut Gojek sebagai sifatnya sebagai komplemen dalam layanan transportasi online roda empat. Jadi melengkapi yang sudah ada. “Logikanya kalau angkutan umum sudah baik maka Gojek akan berkurang dengan sendirinya. Memang ada kekosongan pelayanan angkutan umum yang murah, nyaman dan aman,” ungkap Sugihardjo.
Fenomena saat ini, menurut dia, masyarakat masih butuh Gojek karena angkutan umum di Indonesia belum mampu menjangkau seluruh wilayah. “Kita paling mampu berjalan lima hingga sepuluh menit, lebih dari itu pasti sambung ojek,” katanya.
Meski demikian, Sugihardjo menjelaskan, pihaknya tetap tidak mengakui kendaraan roda dua sebagai angkutan resmi karena dinilai kurang aman terhadap penumpang.
Penulis: Reja Hidayat