Menuju konten utama
30 Desember 2006

Kematian Saddam Hussein, Tumbangnya Simbol Pan-Arabisme

Lilitan tali
gantungan. Syahadat yang
tak sempat rampung.

Kematian Saddam Hussein, Tumbangnya Simbol Pan-Arabisme
Ilustrasi Saddam Husein. tirto.id/Gery

tirto.id - Pada Senin (4/12) lalu, potongan video yang memperlihatkan mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh dengan luka di kepala dan dikelilingi milisi Houthi menjadi viral. Kabar kematiannya kemudian dikonfirmasi oleh Kongres Rakyat Umum. Ia tewas dalam bentrokan sengit dengan milis Houthi di ibukota Sanaa.

Di hari yang sama ketika tersiar kabar kematiannya, pada Senin pagi Ali Abdullah Saleh memang mengumumkan pembubaran aliansinya dengan milis Houthi. “Saat yang menentukan untuk datang ke medan perang di Sanaa [...] Negara ini harus diselamatkan dari kegilaan kelompok Houthi,” kata Saleh dilansir Al Arabiya.

Kematian Saleh yang kemudian videonya viral bukanlah yang pertama. Terhitung, Saleh adalah pemimpin ketiga di dunia Arab yang mengalami kematian mengerikan, didokumentasikan dan jadi momen bersejarah.

Nasib serupa sebelumnya dialami Presiden Libya Muammar Qaddafi. Di usianya yang ke-69, ia tewas di kampung halamannya, Sirte, pada 20 Oktober 2011 lalu. Video kematiannya tersebar di media sosial. Tampak orang-orang bersenjata menyeret tubuh Qaddafi keluar dari pipa saluran pembuangan tempatnya bersembunyi.

Mundur lagi, tepat sebelas tahun silam, Saddam Hussein menjadi pemimpin Arab pertama yang video eksekusi kematiannya tersebar, bahkan bisa disaksikan sampai detik ini. Dalam potongan video eksekusi itu, ia tampak dikelilingi para pria bertopeng dan berdialog sebelum akhirnya sebuah tali dilingkarkan di lehernya dan eksekusi dimulai tak lama setelah itu.

Sejak Saddam naik ke tampuk kepemimpinan Irak pada 16 Juli 1979 dan menerapkan Pan-Arabisme di tanah Irak sebagai pilar identitas bangsa dan ambisi internasional, konsekuensi penyingkiran berdarah harus dihadapi etnis lain yang bermukim di Irak. Ia disorot tajam oleh dunia internasional karena kebijakannya itu.

Baca juga: Mesir dan Suriah Menjadi Satu dalam Republik Persatuan Arab

Kebangkitan Saddam Hussein

Di desa Al-Awja dekat kota Tikrit, Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti lahir pada 28 April 1937 dalam lingkungan keluarga petani. Desa itu tergolong salah satu daerah termiskin di Irak.

Menurut Jerrold M. Post dalam Leaders and Their Followers in a Dangerous World: The Psychology of Political Behavior (2004),ayah Saddam meninggal saat ia masih dalam kandungan. Kemudian, kakaknya yang berusia 12 tahun juga meninggal dunia. Baik ayah dan kakaknya kemungkinan menderita penyakit kanker.

Ibunya, Sabha, pernah depresi melihat kematian anak dan suaminya ini dan terlintas untuk bunuh diri. Beruntung, ada sebuah keluarga Yahudi menyelamatkan Sabha dan berhasil melahirkan Saddam. Termasuk ketika Sabha berniat menggugurkan kandungan dan berhasil dicegah oleh dermawan Yahudi itu.

Lantaran ibunya mengalami depresi, sang paman, Khayrallah Talfah Msallat, mengambil alih pengasuhan bayi Saddam Hussein. Tiga tahun kemudian, Saddam baru bisa bertemu kembali dengan ibunya.

Tapi, ada sosok asing yang hadir. Ibunya menikah lagi dengan pria bernama Hajj Ibrahim Hasan. Ayah tirinya itu membenci Saddam. Di masa mudanya, Saddam kerap mendapat kekerasan fisik dan psikologis dari Ibrahim. Bisa dibilang, pembentukan karakter Saddam dimulai dari perlakuan ini.

Baca juga: Jangan Ajarkan Disiplin dengan Kekerasan

Suasana politik juga turut membentuk karakter kontroversial Saddam. Saat itu, Kerajaan Irak berseteru dengan Britania Raya. Tuntutan kemerdekaan menjadi agenda yang diusung. Meski pada 1932 Kerajaan Irak mendapat kemerdekaan, proses transisi revolusi nasional yang berdarah terus bergulir sampai penggulingan pemerintahan monarki pada 1958 dan berganti menjadi Republik Irak.

Pamannya adalah veteran perang Anglo-Irak 1941 yang banyak menceritakan soal heroisme dan kepahlawanan. Mimpi-mimpi soal kemuliaan, kemenangan, dan kejayaan mengendap di benak Saddam. Terlebih, gerakan nasionalis Arab atau Pan Arabisme yang mengusung kesatuan budaya dan politik negara-negara Arab sedang mekar-mekarnya.

Disebutkan bahwa Saddam bahkan mengumpamakan dirinya sebagai Raja Nebukadnezar dari Babilonia yang pernah menaklukkan Yerusalem pada 586 SM. Kadang-kadang, ia juga mengidentifikasi diri dengan Saladin yang berhasil merebut Yerusalem dari tangan Tentara Salib pada 1187.

Pan Arabisme sendiri ditandai banyaknya kelahiran negara-negara merdeka. Tidak hanya dari cengkeraman imperialis Barat, tapi juga dari kekuasaan Kekhalifahan Utsmani ketika meletus Revolusi Arab pada 1916. Gerakan ini terus merebak sampai pendirian Liga Arab tahun 1945, dan berlanjut di era tokoh-tokoh nasionalis Arab seperti Saddam, Hafiz al-Assad dari Suriah, dan Muammar Qaddafi dari Libya.

Menurut Encyclopaedia Britannica, Saddam mulai terjun ke dunia politik saat bergabung dengan Partai Ba’ath pada tahun 1957. Ba’ath sendiri adalah kendaraan politik dari cita-cita Pan-Arabisme yang punya cabang di beberapa negara Arab, termasuk Irak.

Pernah suatu ketika pada 1959, ia terlibat dalam usaha para Ba’atis (pendukung Partai Ba'ath) membunuh Wakil Perdana Menteri Irak Abd al-Karim Qasim. Dalam peristiwa itu, Saddam terluka dan melarikan diri ke Suriah kemudian ke Mesir. Partai Ba’ath makin besar pengaruhnya termasuk berperan dalam kudeta 17 Juli 1968.

Singkatnya, Sadam Hussein kemudian naik menjadi presiden Irak pada 16 Juli 1979. Tujuan utamanya menjadi presiden Irak juga karena ingin menggantikan peran Mesir sebagai pemimpin dunia Arab yang menonjol di bawah kepemimpinan Gamal Abel Nasser. Selain itu, Saddam berkeinginan memperluas kekuasaan Irak sampai Teluk Persia. Pan Arabisme mulai menjelma menjadi ajang unjuk dominasi dan kekuatan di antara para tokoh-tokoh penerusnya.

Saddam melancarkan invasi ke sebuah ladang minyak di Iran pada September 1980 sebagai langkah awal untuk mewujudkan ambisinya. Perang ini tak berhasil. Kedua negara memutuskan gencatan senjata di tahun 1988. Sementara itu, Saddam terus membangun sektor militer Irak meski utang luar negeri sudah membengkak.

Berikutnya, giliran Kuwait menjadi incaran. Saddam menginginkan minyak dari Kuwait untuk memperkuat perekonomian negaranya. Pada Agustus 1990, Irak resmi menginvasi Kuwait. Dunia internasional, atas pengaruh Amerika Serikat, kemudian mengembargo perdagangan dengan Irak. Kecaman datang dari berbagai penjuru untuk segera menarik pasukan dari Kuwait.

Baca juga: Ekonomi Irak Saat dan Sesudah Saddam

Langkah Irak ini kemudian memicu Perang Teluk Persia (biasa disebut "Perang Teluk"). Pada 16 Januari 1991, pasukan sekutu yang dipimpin Amerika Serikat melancarkan serangan ke Irak untuk mengakhiri pendudukan Irak atas Kuwait. Seperti dilansir CNN, ada 39 negara yang bergabung dalam aliansi melawan Irak.

Baru pada 27 Februari 1991, Irak menarik pasukannya dari Kuwait. Sebelumnya, Irak digempur serangan darat oleh pasukan sekutu. Sejak itu, kekacaun demi kekacuan lebih sering mewarnai sepak terjang Saddam sebagai pemimpin negara.

Pemberontakan internal dari kalangan orang-orang Kurdi terjadi dan berhasil ditumpas dengan pertumpahan darah. Ribuan orang melarikan diri ke kamp-kamp pengungsi di sepanjang perbatasan utara negeri tersebut. Ribuan orang yang tak terhitung jumlahnya dibunuh, juga dikirim ke penjara.

Lilitan tali gantungan. Syahadat yang tak sempat rampung. #Mozaik

A post shared by tirto.id (@tirtoid) on

Saddam Hussein Dihancurkan

Serangan teror 11 September 2001 di Amerika Serikat membawa babak baru terhadap wajah Irak dan kekuasaan Saddam Hussein. Ia dan negaranya mendapat tuduhan dari pemerintahan George W. Bush telah mendalangi aksi teror ini dengan memberi kelompok teroris senjata kimia.

Saddam sendiri mempersilahkan PBB untuk memeriksa negaranya pada November 2002. Penyidikan PBB tak membuat Amerika Serikat puas dan berujung pengumuman berakhirnya diplomasi, diikuti langkah serupa oleh Inggris.

Tampaknya, ambisi Bush untuk menginvasi Irak sudah di puncak ubun-ubun: dia memaksakan tuduhan kepemilikian senjata pemusnah massal kepada Irak. Seperti dilansir The New York Times, Gedung Putih dan Badan Intelijen Pusat menolak memberikan satu halaman ringkasan intelijen kepada Sekretariat Senat sebelum berperang ke Irak.

Baca juga: Bukan Perang yang Membunuh Anak-Anak, Tapi Kita Orang Dewasa

George W. Bush dengan berani mengeluarkan ultimatum kepada Saddam pada 17 Maret 2003 untuk turun dari jabatan presiden dan meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam. Bila tidak, ia harus siap menghadapi perang dengan AS. Bilapun Saddam meninggalkan Irak, pasukan AS tetap mencari senjata pemusnah massal itu dan memimpin masa transisi.

Tapi, Saddam yang punya pengaruh kuat di Irak jelas menolak didikte Barat. Pasukan AS kemudian benar-benar menginvasi Irak pada 20 Maret 2003.

Sejak awal serangan pembuka, AS sudah menargetkan nyawa Saddam. Serangan udara AS di sebuah komplek bunker tempat Saddam bertemu dengan bawahannya masih gagal untuk membunuh pemimpin Irak itu.

Sementara itu, Saddam mengumumkan kepada warga Irak agar menyerahkan hidupnya untuk berperang mengusir AS dan Inggris yang berkoalisi. Namun, perlawanan jelas tidak seimbang. Pada 9 April 2003, kota Baghdad akhirnya jatuh ke tangan AS dan kekuasaan Saddam ikut rontok.

Sejak itu, Saddam menjadi target utama penangkapan. Setelah serangkaian pelarian Saddam di sudut-sudut kota Irak, pada 13 Desember 2003 ia berhasil ditangkap di Tikrit. Kematiannya sudah makin dekat. Serangkaian tuduhan atas kejahatan perang dan pelanggaran HAM masa lalu dilimpahkan di pengadilan.

Pada 30 Juni 2004, Saddam Hussein, yang selama ini ditahan pasukan AS di pangkalan militer Camp Cropper bersama dengan 11 pemimpin senior Ba’atis lainnya, diserahkan kepada pemerintah Irak untuk diadili atas kejahatan kemanusiaan.

Pengadilan Khusus Irak mendakwa Saddam atas peristiwa pembantaian Dujail yang menyasar komunitas Syiah pada 1982 dan menewaskan lebih dari 140 orang.

Disusul dakwaan lain atas serangan gas ke sebuah desa Kurdi selama operasi Anfal 1986. Human Right Watch memperkirakan antara 50.000 sampai 100.000 orang terbunuh selama operasi Anfal. Sementara pejabat Kurdi menyebut ada 182.000 korban jiwa.

Baca juga: Kurdi, Bangsa tanpa Negara

Infografik Mozaik Runtuhnya saddam husein

Akhir kehidupan Saddam makin dekat. Pada 5 November 2006, ia secara resmi dijatuhi hukuman mati bersama dua terdakwa lainnya. Banding dari Hakim Pengadilan pada 26 Desember 2006 mengatakan bahwa ia harus menjalani eksekusi hukuman gantung dalam kurun waktu 30 hari mendatang.

Tak butuh waktu lama hingga tahun baru. Tanggal 30 Desember 2006, tepat hari ini 11 tahun silam, menjadi hari yang dicatat dalam sejarah ketika Saddam harus berhadapan dengan tali yang menjerat lehernya dan mengakhiri hidupnya. Iraqi TV secara eksklusif menayangkan video detik-detik kematian presiden Irak kelima itu.

Selama masa penahanan Saddam, pengakuan para prajurit yang menjaganya menunjukkan keakraban. Beberapa dari mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengobrol, bermain catur, dan merokok bersama pria tua yang mereka sebut tidak mirip seperti setan diktator itu.

Invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003 telah menelan 10.800 sampai 15.100 korban jiwa, menurut laporan Project on Defense Alternatives. Sebanyak 3.200 sampai 4.300 di antaranya adalah rakyat sipil yang tidak sedang mengangkat senjata.

Baca juga artikel terkait SEJARAH DUNIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Ivan Aulia Ahsan