tirto.id - Kelompok Kampungan adalah nama kelompok musisi yang nyaris serupa mitos. Nama mereka terus terdengar, dituturkan dari generasi ke generasi, tapi tak banyak yang pernah melihat mereka bermain, terutama generasi pasca 80-an. Musik dan lirik mereka banyak diperbincangkan. Apalagi dandanan yang nyeleneh, kerap memakai sarung yang diselempangkan begitu saja. Dandanan orang kampung, kata mereka.
“Kampungan lahir dari orang kota yang mengartikan kampungan sebagai ungkapan dari ketidaksiapan, lugu, bodoh, kurang ajar, disharmonis, dan masih banyak lagi,” tulis Bram Makahekum.
Bram pula yang masih setia mengibarkan panji Kelompok Kampungan. Melihat penuturannya dalam menjabarkan apa itu kampungan, rasanya menarik melihat pengertian itu kembali banyak diperbincangkan setelah ramai-ramai kasus kata "ndeso". Bagi Bram yang berasal dari Flores ini, musik yang mereka mainkan berjiwa kampungan.
"Artinya kami siap dalam ketidaksiapan, memanfaatkan peralatan yang bisa dijangkau. Lirik kami tidak manis-manis, tinggi-tinggi, seadanya saja."
Tak banyak sumber yang mengisahkan tentang grup ini. Salah satu yang paling komplit datang dari cerita Denny Sakrie yang ditulis di blognya, juga di majalah Rolling Stone. Suatu hari, Denny dihubungi oleh Jason Connoy, pendiri label Strawberry Rain asal Kanada. Jason meminta Denny menghubungkan dirinya dengan Bram. Keperluannya tak lain tak bukan adalah untuk merilis ulang album Mencari Tuhan (1980), satu-satunya album yang pernah dirilis oleh Kelompok Kampungan.
Mencari Bram adalah perjuangan sendiri. Denny menyebut Bram, pada 2011, "Masih hidup dalam aura kesenimanan yang kuat. Dia bahkan tak tersentuh teknologi. Bayangkan, alamat email dan rekening bank saja dia tak punya." Setelah akhirnya mendapat kontak Bram, telepon tak pernah diangkat. Hingga akhirnya suatu hari Bram-lah yang menghubungi Denny. Setelah diberitahu maksud Denny, Bram malah kaget.
"Hah? Album kayak gitu kok ada yang mau rilis. Bule lagi," begitu kata Bram, seperti ditirukan oleh Denny.
Strawberry Rain merilis ulang Mencari Tuhan pada 2013. Ia dicetak terbatas, dalam versi piringan hitam hanya 700 keping, dan versi CD hanya 1.000 keping. Menengok ke belakang, banyak musisi beken yang berkarya di kelompok itu. Seperti Inisisri dan Areng Widodo, yang lantas lebih dikenal sebagai partner Ian Antono dan Achmad Albar dalam menggarap album Indonesian Art Rock.
Musik Kelompok Kampungan sebenarnya susah untuk didefinisikan. Ia bisa digolongkan sebagai musik rakyat. Sebagian menyebutnya sebagai folk. Ada kehadiran puisi yang dibaca dengan gaya deklamasi, seperti yang ada di lagu "Mencari Tuhan".
"Tuhan aku ini milikmu, dan mengabdi pada kehendakmu.
Semua tindakanku, aku serahkan ke dalam tanganMu. Melewati alam dan kehidupan."
Lirik lagu "Mencari Tuhan" amat melampaui zaman. Ia sudah berbicara tentang religiusitas dan pencarian akan keesaan. Mereka menulis tentang pengkotakan kebudayaan yang, "menjadi beban kehidupan ini."
Di lagu "Bung Karno", Kelompok Kampungan menghadirkan pidato sang Bung besar di awal lagu. Budi Warsito, pengelola perpustakaan swasta Kineruku, pernah menulis tentang pidato Bung Karno yang muncul di lagu berjudul sama itu.
Suatu hari, tulis Budi, Bram membaca surat pembaca di majalah Tempo pertengahan 1979. Sang mahasiswa mengaku membutuhkan uang untuk kuliah dan ujian. Dia meminta tolong pada pembaca, kalau ada yang mengirim uang sejumlah Rp1.500, maka akan mendapat kaset pidato Bung Karno. Bram mengirim uang itu, dan mendapatkan pidato sang Bung. Bagian pidato Bung dari acara peringatan Maulid Nabi Muhammad di Istana Negara tahun 1964 akhirnya muncul di awal lagu sepanjang 10 menit itu.
Lagu itu pula yang membuat Kelompok Kampungan dicekal oleh Orde Baru. Mereka bubar setelah membuat 1 album saja. Piringan hitamnya banyak diburu oleh para kolektor. Mencari Tuhan dianggap sebagai album langka, salah satu album terbaik dari kancah musik Indonesia. Pada saat Strawberry Rain merilis ulang album itu, ada kesulitan mendapatkan sound paling bagus. Ini karena master rekaman itu sudah ikut terbakar saat kerusuhan tahun 1998.
Saya beruntung pernah menyaksikan kelompok ini tampil langsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 2 tahun silam. Sebelum konser dimulai, ada orasi budaya dari Radhar Panca Dahana. Menurut Radhar, musik seperti Kelompok Kampungan ini lahir di era Orde Baru. Generasi yang tumbuh di Orde Baru ini tumbuh dengan ketakutan. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi generasi yang tumpul imajinasi.
"Sebab segala imajinasi atau pikiran yang nyeleneh tidak bisa berkembang," kata Radhar.
Di era seperti itulah banyak musisi-musisi lahir dan tumbuh dengan semangat perlawanan. Mereka memberontak melalui musik. Ada yang liriknya frontal, ada pula yang menyamarkan. Hadir kelompok Kampungan. INPRES. Hingga Iwan Fals. Musik yang mereka mainkan seperti membawa semangat ala Woody Guthrie, hingga Iwan Fals. Lagu yang mereka mainkan banyak berkisah tentang kehidupan di sekitar, tentang orang-orang kalah.
Di lagu “Catatan Perjalanan”, misalkan. Bram, Joko Haryono, dan Dodo menuliskan kisah yang nyaris serupa dengan “Sarjana Muda” milik Iwan. Hanya saja, Kelompok Kampungan memilih jalan yang lebih tragis. Seorang anak SMA yang tak tahu apa-apa, ikut demonstrasi, dan berakhir dengan sebutir peluru yang merobek jidat.
Konser itu sebenarnya berjalan biasa saja, bahkan di beberapa bagian terasa kosong dan membosankan. Tentu kita tak bisa mengharapkan kenyentrikan mereka seperti dulu. Mereka tak lagi tampil bertelanjang dada. Innisisri juga sudah tak ada. Tapi bagaimanapun, konser itu amat penting. Terutama bagi anak-anak muda yang tak pernah melihat mereka tampil langsung. Setelah konser itu, rasanya Kelompok Kampungan belum pernah mengadakan konser lagi. Entah kapan mereka akan mengadakan konser lagi.
Hingga sekarang, Kelompok Kampungan masih serupa mitos. Beberapa kawan mendengar lagunya via Youtube, tapi belum pernah berkesempatan menyaksikan mereka tampil. Satu album yang menjadi penanda kehadiran mereka, amat sulit didapat di Indonesia. Kalau mau, para penggemar itu bisa membeli album Mencari Tuhan via lapak dunia maya. Harganya beragam. Mulai Rp300 ribu, hingga Rp678 ribu.
Bagi yang punya kesempatan membeli album ini, belilah. Supaya kamu bisa mendengar musik yang disebut Jason sebagai "salah satu album terbaik dan terunik yang pernah hadir dari Indonesia."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti