tirto.id - Awalnya Lazuardi Pratama bukan penggemar sepakbola. Faktor fisik jadi utama. Laz—sapaannya—adalah bocah kecil bila dibandingkan kawan lain. Kadang main 15 menit di lapangan dia sudah tepar. Bahkan sekadar mantengin layar televisi yang menyiarkan bola hampir-hampir tak pernah. Dari kecil dia memang pelor alias nempel dikit langsung molor.
Tapi sekira 10 atau 11 tahun lalu, ada ulasan ringkas kemenangan Liverpool di Istanbul yang dibacanya di Majalah Bobo. Tiga gol oleh Milan dibalas tiga gol oleh Liverpool lewat perjuangan ciamik, lalu Si Merah—sebutan bagi tim Steven Gerrard dkk—merebut Piala Liga Champions lewat adu penalti. Sang bintang adalah Si Kapten Gerrard.
Seketika itu Laz melekatkan Gerrard dalam benaknya sebagai simbol loyalitas, kepemimpinan, kerja keras, kedewasaan, dan kesialan. Sebab, kata Laz, bila ada titik dalam hidup seseorang yang “waktu masih kanak-kanak akan teringat sampai hari tuanya,” maka momen terpikat pada Liverpool dan Gerrard-lah penjungkitnya.
Sejak itu mahasiswa sekaligus pewarta salah satu majalah gaya hidup di Medan ini jadi penggemar berat sepakbola. Bagi Laz, sepakbola adalah metafora paling tepat menggambarkan hidup.
Ia mengklaim diri sebagai fans Gerrard dan Liverpudlian. Ia tak melewatkan rekam jejak tim favoritnya selama sepuluh tahun terakhir, yang belakangan malah kering prestasi. Meski puasa gelar sejak 2005, tahun ketika ia mulai jatuh cinta, tetapi tim favoritnya tak pernah gonta-ganti. Liverpool adalah identitas Laz.
Sebagaimana penggila bola lain ia merasa sakit bila skuat kesayangannya takluk. Dan, sebagaimana para penggila bola di seluruh dunia, ia tetap mencintai tim favoritnya meski sudah lama puasa gelar.
Pada pertandingan Liverpool melawan Bournemouth, 4 Desember lalu, misalnya. Laz mengekspresikan kekalahan dramatis lewat rutukan. Dua twit dia adalah makian binatang.
Laz melanjutkan kicauan: “Pulang nobar rasanya pengin ngegas motor sampe nyemplung sawah-sawah kampung susuk.”
Masih belum puas, ia tambah lagi: “Mudah-mudahan Emyu menang lawan Everton agar supaya paripurna sudah duka dan nestapa akhir pekan ini.”
Laz memang jadi gampang murung di akhir pekan pada perkara menang-kalah yang bagi sebagian orang mungkin sepele. Tetapi hatinya mantap, tak ingin pindah ke lain klub.
“Perjuangan tim begitu yang aku suka,” katanya. “Ada gregetnya.”
Kalah Bikin Kompak
Sering kalah, bukan menang, yang bikin loyalitasmu diuji pada klub yang kau dukung. Sebagaimana menang bikin kau terlena, kalah meningkatkan emosimu.
Rasa sakit sama fungsinya dengan euforia kemenangan. Keduanya mampu mengikat perasaan bersama, impersonal, antar jutaan fans sekalipun tak kau kenal, dan membuat emosimu yang luber-luber itu kau tumpahkan pada klub kesayangan.
Perasaan ganjil ini tak cuma dialami Laz. Sekitar 150 fans sepakbola yang mencintai klub berbeda di Inggris menunjukkan gejala serupa.
Martha Newson, kepala penelitian dari Universitas Oxford, menyamakan fenomena di atas dengan istilah ‘Peleburan Identitas’. Fans yang menganggap tim favoritnya sebagai identitas, macam Laz, akan semakin mudah terikat karena perasaan putus asa dan berbunga-bunga yang muncul dari performa klub yang merepresentasikan diri sendiri. Pengalaman-pengalaman buruk yang bikin kau terpuruk, seperti dipermalukan dalam pertandingan di kandang sendiri, rupanya bisa memperkuat dukungan pada tim kamu yang kalah.
Menggunakan tujuh poin skala respons, para penggemar mengukur seberapa kuat mereka mengidentifikasi loyalitas pada tim favorit. Mereka juga ditanya setuju atau tidak setuju tentang pernyataan macam: “Aku dan klubku adalah satu” atau “Aku takkan pernah bisa berhenti jadi penggemar timku”.
Profesor Harvey Whitehouse, rekan Newson, berkata bahwa memori menyedihkan yang dibagi bersama dapat lebih menguatkan alih-alih memecah-belah. Ini pula yang mereka temukan pada tentara di barak militer atau korban yang trauma akibat serangan teroris, atau sekelompok orang yang mengalami aksi kekerasan.
Kelewat Cinta Bikin Sengsara
Namun, yang tak diketahui Laz dan para pencinta klub olahraga yang sering kalah adalah dampak kesehatan.
Rupanya, memuja tim langganan kalah bikin buruk bagi kesehatan.
Perubahan suasana hati yang dirasakan Laz ketika timnya nyungsep dapat dijelaskan secara ilmiah. Ilmuwan dari National Center for Biotechnology Information Amerika Serikat menemukan kaitan antara kemenangan dan kekalahan tim favorit seseorang dalam olahraga tertentu dengan hormon testosteronnya. Hormon ini akan naik dan menerbitkan suasana sumringah saat tim favorit menang. Dan akan turun dan membuat suasana hati memburuk saat tim favorit kapiran.
Untuk beberapa kasus, memburuknya suasana hati bisa jadi lebih dari sekadar kicauan di Twitter seperti Laz. Beberapa penggemar yang memang sudah mengikat kuat identitas dirinya pada satu tim tertentu bisa jadi benar-benar depresi saat timnya kalah.
Kekalahan sebuah tim sepakbola tak hanya menguras emosi pada diri fans, melainkan mendorong perilaku ceroboh fans saat mengemudi, serangan jantung, dan kekerasan rumah tangga.
Selain mengganggu kesehatan jiwa, setia pada tim yang doyan kalah rupanya juga dapat merusak raga.
Situsweb Association for Psychological Science menyebutkan, selepas laga besar sepakbola, penggemar yang timnya kalah akan makan 16 persen lemak jenuh dan gula lebih banyak ketimbang penggemar tim yang menang, yang mengonsumsi 9 persen.
Tentu lemak jenuh dan gula berlebihan adalah pintu masuk bagi kolesterol dan diabetes masuk ke tubuh kita. Dan kolesterol serta diabetes adalah jalur pintas memangkas umur.
Menghadapinya bagaimana?
Panduan Biar Enggak Gampang Baper
Thrive Works punya beberapa cara mengantisipasi depresi. Anthony Centore, penulis artikel, menyarankan agar penggemar yang depresi mencoba ganti perspektif. Kebanyakan jaringan televisi atau pun sponsor sepakbola mencitrakan pertandingan sebagai laga paling penting dalam sejarah umat manusia. Jarang ada yang mengingatkan: “Ini cuma permainan biasa.”
Untuk itu, mengganti perspektif adalah cara yang ampuh. “Coba mundur selangkah, dan pikirkan hal lain apa yang membuatmu bahagia,” tulis Centore.
Menjaga baik kehidupan sosial adalah cara ampuh selanjutnya. Centore bilang, “Orang yang depresi dan murung punya tendensi untuk mengisolasi diri mereka sendiri.” Sebab menghindari kontak sosial hanya bakal memperparah keadaan.
Bagi mereka yang terlampau garis keras, masa pra-musim pertandingan akan jadi masa menderita cukup lama. Untuk itu, kuncinya, cari kesibukan lain.
Cara lain biar enggak gampang baperan dari kekalahan tim favorit adalah membicarakannya. Patah hati karena kekalahan akan lebih mudah diatasi jika dibagi teman sesama penggemar garis keras. Bisa jadi pembicaraan itu berlanjut ke arah lebih baik, misalnya, memompa semangat diri untuk laga berikutnya.
Terakhir: diamkan saja. Gejala depresi lantaran tim kesayangan kalah biasanya cuma beberapa hari. Paling lama dua minggu. Tapi apabila terus berlanjut dan menyebabkan hal-hal konyol macam sulit tidur, mengganggu pekerjaan dan hubungan cinta, maka bicara pada psikolog, misalnya, barangkali jalan terbaik.
Problemnya, bagaimana jika tim kita terus-menerus bosok dan minim prestasi?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam