tirto.id - Panitia Acara Munajat 212 menyesalkan peristiwa kekerasan terhadap wartawan di acara Munajat 212 pada Kamis (21/2/2019) malam.
Ketua Panitia Munajat 212 Idrus Alhabsyi menilai ada upaya sistematis untuk melakukan labeling dan framing oleh gerakan anti-Islam yang ditujukan untuk mengalihkan dan membelokkan acara munajat yang erat dengan kekerasan.
"Labeling dan framing yang dilakukan terhadap kegiatan doa dan munajat adalah merupakan kejahatan terhadap akal sehat dan intelektualisme," ujar Idrus, dalam siaran pers yang diterima Tirto, Sabtu (23/2/2019).
Selain itu, Idrus mengatakan ada upaya membesar-besarkan masalah dan mengalihkan isu, yaitu dari keberhasilan acara munajat 212 yang khusuk menjadi persolaan kekerasan dan dijadikan spin issue untuk mem-framing kegiatan munajat dan FPI sebagai suatu peristiwa yang negatif.
Idrus mengaku bahwa selama acara Munajat 212 tidak ada laporan dari personel panitia kepada dirinya selaku Ketua Panitia tentang peristiwa kekerasan tersebut.
"Dalam SOP panitia maupun LPI yang merupakan tim pengamanan yang ditunjuk oleh panitia, tidak ada perintah atau anjuran untuk bersikap tegas apalagi kasar terhadap rekan jurnalis," jelasnya.
Kronologi peristiwa kekerasan tersebut, menurut Idrus, berdasarkan hasil investigasi dari tim panitia setelah ramai adanya pemberitaan tersebut, peristiwa tersebut adalah bermula dari adanya seorang pencopet yang mencoba melakukan aksinya terhadap peserta munajat 212.
Oleh karena itu, tim pengamanan yakni LPI (Laskar Pembela Islam), bertindak untuk mengamankan pencopet dan justru membuat kegaduhan sebagai pengalih perhatian massa. Idrus mengatakan di tengah kegaduhan itu, sebagian jurnalis mungkin bersinggungan dan suasana massa yang emosional tidak sengaja melakukan kekerasan
Ketua Media Center Persaudaraan Alumni 212 Novel Bakmumin juga menyatakan hal yang sama.
Novel mengatakan, kejadian ribut-ribut berlangsung di belakang panggung. Menurut dia, saat itu, panitia tengah mengamankan seorang copet yang beraksi dalam acara Munajat 212.
Di tengah kericuhan itu, panitia sekaligus bertugas mengamankan acara, tanpa sengaja menangkap satu orang yang ternyata adalah wartawan.
Pengakuan Novel bertolak belakang dengan fakta di lapangan. LBH Pers merilis sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan dan intimidasi massa yang menggunakan atribut Front Pembela Islam (FPI) saat kegiatan Munajat 212 di Monas, Jakarta pada Kamis (21/2/2019).
Salah satunya yang dialami wartawan Detik.com, Satria. Saat sedang merekam, ia mengalami kekerasan dari seseorang yang ingin menghapus gambar videonya. Namun, dia tak mau menyerahkan ponselnya.
Massa kemudian menggiring wartawan Detik.com ke dalam tenda VIP sendirian. Meski telah mengaku sebagai wartawan, mereka tetap tak peduli. Di sana, dia juga dipukul dan dicakar, selain dipaksa jongkok di tengah kepungan belasan orang.
Namun, akhirnya ponsel wartawan tersebut diambil paksa. Semua foto dan video di ponsel tersebut dihapus. Bahkan aplikasi WhatsApp pun dihapus, diduga agar pemilik tak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Usai kejadian itu, korban langsung melapor ke Polres Jakarta Pusat dan melakukan visum.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri