tirto.id - Joko Widodo dan Prabowo Subianto bagai Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo dalam dunia sepak bola. Keduanya selalu dianggap yang paling hebat. Bedanya, jika sampai sekarang tak juga ada kata sepakat soal siapa yang paling mumpuni mengolah si kulit bundar, pada kompetisi satunya lagi sang pemenang sudah jelas. Dua kali. Berturut-turut pula.
Tapi sebentar lagi Jokowi “pensiun”. Jalan Prabowo menjadi presiden untuk pertama kali pun terbuka lebar setelah berusaha sepanjang sekian banyak purnama.
Tidak ada yang tahu siapa itu Jokowi di era Soeharto kecuali teman dan keluarga dan rekan bisnisnya. Tapi hampir semua orang di republik ini kenal siapa itu Prabowo. Prabowo pernah menjadi menantu Soeharto. Beberapa kalangan bahkan menilai Prabowo adalah pengganti Soeharto kelak.
Salah satu kedekatan Soeharto dan Prabowo diungkap Prabowo sendiri dalam bukunya Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI jilid II (2022).
Pada satu kesempatan, Prabowo yang masih berpangkat mayor mau berangkat ke medan perang. Dia dipanggil oleh Soeharto ke Cendana. Prabowo muda mengira dia mau diberi uang saku karena penghasilan TNI cenderung kecil. Namun Soeharto ternyata hanya memberi pesan: “Bowo, berangkat tugas ke medan perang merupakan sebuah kehormatan. Ingat, ojo lali, ojo dumeh, dan ojo ngoyo. Selamat bertugas.”
Pesan itu sangat diingat Prabowo dan ia meneruskannya ke para bawahan. Prabowo percaya bahwa “karena nasihat beliau-lah batalion yang saya pimpin berhasil menjadi batalion terbaik di medan perang.”
Prabowo bahkan ingat betul pesan jangan memaksakan kehendak atau ojo ngoyo. “Maksud dari Presiden Soeharto adalah kita sebagai manusia, sebagai prajurit, harus tahu kemampuan dan dalam menghadapi tantangan harus selalu membawa perbekalan yang cukup.”
Agaknya tidak ada yang meragukan pengalaman Prabowo di bidang militer. Dan itu terlihat dari bagaimana kariernya terus menanjak. jabatan terakhir yang dia emban sebelum pensiun adalah Danjen Kopassus (Desember 1995-Maret 1998) dan Panglima Kostrad (Maret 1998-Mei 1998). Hanya tinggal dua langkah lagi untuk menjadi pucuk pimpinan TNI: KSAD kemudian Panglima TNI.
Namun kasus penculikan aktivis menggagalkan kariernya. Prabowo disorot dan dianggap bertanggung jawab dalam kasus tersebut.
Setelah pensiun ia pergi ke Amman, Yordania. Menurut catatan mantan jurnalis Bloomberg Femi Adi Soempeno dalam Prabowo Titisan Soeharto (2008), salah satu surat kabar luar negeri menyebut Prabowo mendapatkan gelar warga kehormatan dari kerajaan tersebut. Ia juga disebut-sebut pergi untuk menghindari tanggung jawab.
Hashim Djojohadikusumo, adiknya, mengklarifikasi semua kabar itu. “Prabowo takkan melepas status tersebut (warga negara Indonesia) dan juga tidak ada keinginan untuk eksodus atau melarikan diri ke luar negeri untuk mencari suaka. Kalau ada rumor bahwa Prabowo dan keluarga Sumitro hengkang semua fitnah dan bohong belaka,” kata Hashim seperti dicatat Femi.
Salah satu sumber menyatakan Prabowo pulang ke Indonesia pada 2003, sumber lain mengatakan pada awal 2000/2001. Terlepas dari kapan persisnya, mengutip peneliti Australia Edwards Aspinall dan Marcus Mietzner dalam Democracy’s Close Call (2014), saat pulang “Prabowo menetapkan satu tujuan: menjadi presiden Indonesia.”
Kegagalan pertama Prabowo menduduki jabatan RI-1 dimulai pada pemilihan presiden 2004. Ketika itu ia bahkan sudah kalah sebelum bertarung karena gagal dalam konvensi calon presiden yang diselenggarakan Partai Golkar.
Pemenang konvensi Partai Golkar saat itu adalah senior Prabowo di Angkatan Darat, Wiranto. Selain Prabowo, Wiranto juga mengalahkan kandidat lain yaitu Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh.
Lima tahun berikutnya, Prabowo selangkah lebih maju. Prabowo yang sudah punya partai sendiri, Partai Gerindra, berkoalisi dengan PDIP. Namun saat itu koalisi sepakat mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Prabowo hanya pendamping. Itu pun lagi-lagi kalah.
Tentunya kesepakatan politik ini bersyarat. Mereka membuat perjanjian lain yang dikenal dengan Perjanjian Batu Tulis yang menyatakan bahwa pada pemilu berikutnya, pemilu 2014, PDIP akan mendukung Prabowo secara penuh menjadi capres.
Kita semua tahu itu tak terjadi. Di tengah jalan PDIP punya calon sendiri, Jokowi. Orang ini yang ironisnya mengalahkan Prabowo dua kali.
Jumat pekan lalu, di hadapan para kader Partai Gerindra, Prabowo menyatakan bakal mencalonkan diri lagi sebagai calon presiden untuk kali ketiga.
“Dengan ini saya menyatakan bahwa dengan penuh rasa tanggung jawab, saya menerima permohonan saudara untuk dicalonkan sebagai calon Presiden Republik Indonesia 2024,” katanya.
Gagal berkali-kali dalam pemilihan presiden sebenarnya bukan hanya milik Prabowo--tentu dengan konteks yang berbeda. Hal tersebut terjadi pada beberapa politikus Amerika Serikat.
Ronald Reagan juga pernah gagal dua kali, tepatnya pada pilpres 1968 dan 1976. Reagan, yang saat itu menjabat Gubernur California, kalah dalam konvensi Partai Republik untuk pilpres 1968. Ia berada di tempat ketiga di bawah Richard Nixon dan Nelson Rockefeller. Ia menjajal lagi keberuntungan pada 1976 dan kali itu kalah dari petahana Gerald Ford sebagai calon presiden dari Republik.
Pada percobaan ketigalah ia akhirnya menang dan menjadi Presiden ke-40 AS.
Begitu pula dengan Joe Biden, Presiden AS saat ini. Dia gagal dua kali, pada pilpres 1988 dan pilpres 2008. Pada pilpres 1988 Biden tersandung kasus plagiat pidato. Pada pilpres 20 tahun kemudian, dia gagal diusung Partai Demokrat. Demokrat memajukan Barack Obama--yang akhirnya menang.
Pilpres 2024 bisa jadi pertaruhan terakhir Prabowo untuk membuktikan kemampuannya, apakah akan menjadi Reagan dan Biden dari Indonesia yang akhirnya menang, atau ia memang tidak pernah ditakdirkan memimpin negara ini.
Editor: Rio Apinino