tirto.id - Grup itu bernama "Bersama Sampai Tua". Isinya tujuh orang yang bertemu di kampus, lalu jadi kawan karib saat bertemu di salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Sekarang semuanya sudah sarjana, dan hidup di kota yang berbeda-beda. Empat orang di Jakarta, dua orang di Medan, satunya di Aceh. Bergabung dalam grup obrolan di ponsel tentu saja salah satu cara mereka tetap bersilaturahmi di era digital ini.
Suatu ketika, salah satunya—yang tinggal di Aceh—memutuskan keluar dari grup obrolan via Whatsapp itu. Kehebohan lalu terjadi di dalam grup. Salah satunya bertanya kenapa, yang lainnya menduga-duga. Ada yang bilang, “Mungkin karena ganti nomor hape.” Yang lain—yang tinggal di Jakarta—bilang, “Mungkin sedih karena jauh dari kita.”
Setelah dikroscek, ternyata alasan ia meninggalkan grup "Bersama Sampai Tua" karena sedih tak bisa bergabung dengan semua rencana kawan-kawannya di Jakarta.
Dalam kejadian lain, seseorang bisa meninggalkan salah satu grup obrolan karena bersitegang gara-gara perbedaan ideologi dalam obrolan di grup. Padahal grup tersebut berisi kawan-kawan karibnya.
Di lain grup, seseorang memutuskan keluar karena muak dengan ribuan notifikasi pesan baru yang setiap hari makin bejibun. Ada yang melakukannya secara terbuka dan terang-terangan. Kadang, seseorang harus mengganti namanya dulu jadi titik (.) untuk mengelabui kawan-kawannya, sebab ia segan jika harus keluar dari grup itu.
Beberapa kasus kejadian di atas adalah contoh perubahan perilaku manusia yang diakibatkan kecanggihan teknologi. Perubahan pertama yang kentara adalah, hampir tak ada orang di dunia ini yang punya ponsel pintar tapi tidak terikat dalam minimal satu grup obrolan. Isinya mulai dari keluarga sendiri, rekan kerja, kawan lama, tetangga komplek, hingga orang-orang yang baru ketemu di sebuah seminar.
S. Llewelyn dan G. Fielding dalam makalah Group Dynamics: Forming, Storming, Norming and Performingmenjelaskan mengapa manusia butuh membentuk kelompok-kelompok kecil dalam hidupnya. Sebagai makhluk sosial yang dinamis, manusia akan secara otomatis dekat dan berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Biasanya, grup-grup tersebut terbentuk atas dasar kesamaan tertentu, mulai dari ikatan darah, kesukaan yang sama, atau lainnya. Dalam dunia digital kini, kelompok-kelompok kecil itu diejawantahkan dengan membuat grup-grup obrolan daring. Kehadiran grup-grup ini tentu saja akhirnya berdampak pada kebiasaan berkomunikasi manusia-manusia hari ini.
Ada etika-etika baru yang terbentuk tentang cara mengobrol di dunia serba-terkoneksi ini. Misalnya, respons yang lama atau lambat dianggap sebagai bentuk baru ketidaksantunan, kasar, atau sesuatu yang wajar memicu kejengkelan dan rasa dongkol.
Dampak turunannya: siapa pun yang melakukannya harus merasa bersalah, ikhlas disindir, kadangkala harus pasrah. Sebab manusia yang baik pastinya tak mau membuat orang lain merasa jengkel atau tidak dihormati.
Timbunan pesan yang jumlahnya bisa sampai ribuan juga berdampak pada psikologi seseorang. Ilana Gordon dari Dose menemui psikoterapis Nicole Amesbury yang menyebut kalau timbunan pesan-pesan itu akhirnya membuat sebagian dari kita benci bergabung dalam sebuah grup obrolan daring. Kebencian itu meningkat jadi gangguan kecemasan yang bisa mengganggu tidur. Sehingga hal ini bisa jadi salah satu alasan seseorang meninggalkan grup obrolan.
Alasan lain adalah jumlah anggota grup. Whatsapp yang bisa menampung hingga 256 orang dalam sebuah grup tentu saja bisa jadi alasan mengapa pesan-pesan dalam grup itu bisa jadi timbunan. Salah satu alasan grup obrolan daring dibikin adalah agar menjaga eksklusivitas kelompok kecil tersebut. Jumlah orang yang terlalu banyak tentu saja akan mengurangi efektivitas diskusi yang ingin dibangun.
Dalam studi berjudul Research on Effectiveness Modeling of the Online Chat Group, para peneliti bahkan menemukan alasan lain seseorang meninggalkan grup obrolan itu karena jumlah topik yang terlalu banyak. Sehingga akan ada satu atau dua orang yang merasa tak nyambung.
Studi Anita Smith dan Kipling Williams bahkan menyebut pengucilan yang terjadi dalam grup obrolan daring cenderung lebih seram dan menyakitkan ketimbang pengucilan di kehidupan nyata. Dan bukan berarti karena semuanya terjadi di grup obrolan daring, maka kehidupan nyatamu tak disinggung. Menurut studi, ihwal tinggal-meninggalkan grup obrolan akan terbawa-bawa ke kehidupan nyata.
Menjadi bagian dari satu grup obrolan barangkali tak semua orang menghendakinya. Namun saat sudah masuk di dalamnya, maka perlu etika saat untuk mengakhirinya. Oleh sebab itu, Alexis Kleinman dari Huffington Post menulis sejumlah hal yang perlu diperhatikan ketika berperilaku dalam grup obrolan. Salah satunya adalah: jangan meninggalkan grup, tanpa mengumumkannya lebih dulu. Apakah Anda salah satu yang memutuskan keluar dari grup obrolan?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra