tirto.id - Saya beberapa kali mengunjungi toko retail modern untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya, saya memilih barang, memasukkannya ke dalam keranjang, lalu membawanya ke kasir. Kemudian kasir tinggal membalikkan kemasan barang lalu mendekatkannya ke pemindai atau scanner. Dalam sekejap, nama dan harga barang langsung muncul di komputer kasir. Dan saya pun membayarnya untuk bisa membawa pulang barang ke rumah.
Seluruh proses di kasir hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Kecepatan dan kemudahan itu terjadi berkat keberadaan kode batang atau barcode. Kehadiran barcode memudahkan pekerjaan kasir, sekaligus mempercepat waktu tunggu pembeli. Kasir tidak lagi perlu memasukkan barang satu per satu ke daftar belanjaan karena informasi barang sudah tertera di barcode. Begitu juga ketika melakukan inventarisasi barang. Petugas toko tidak lagi perlu repot-repot menghitung manual jumlah barang. Semuanya menjadi mudah berkat barcode.
Berawal dari Ketidakpraktisan
Cerita bermula pada tahun 1940-an. Saat itu toko retail, baik minimarket atau supermarket, sudah menjamur di Amerika Serikat. Masyarakat dapat membeli barang dengan mudah di setiap sudut kota. Meski begitu, kemunculan ini menimbulkan masalah bagi pemilik toko dan pembeli.
Pemilik toko kesulitan melakukan invetarisasi ribuan barang yang dijual. Selama bertahun-tahun, mereka harus menghitung satu per satu untuk memastikan ketersediaan barang. Kegiatan ini jelas tidak praktis. Mereka juga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar orang yang mampu menghitung ribuan barang tiap sebulan sekali. Tak jarang, perhitungan pun masih kasar dan tidak akurat. Belum lagi, banyak petugas nakal yang menilap uang belanja dari konsumen tanpa menyetornya ke kas perusahaan. Dampaknya, pemilik toko harus menanggung kerugian atas permasalahan ini setiap bulannya.
Lalu bagi pembeli, mereka harus menyisihkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk berada di kasir. Ini terjadi karena kasir melakukan perhitungan manual terhadap barang yang dibeli. Semakin banyak barang belanjaan, semakin lama pula waktu menghitungnya. Antrian panjang pun mengular di tempat kasir.
Dua keluhan seperti itu dialami oleh seluruh toko retail. Belum ada solusi atas permasalahan tersebut.
Pada tahun 1948, seorang pemilik toko di Philadelphia datang ke Institut Teknologi Drexel. Ia hendak menemui dekan fakultas teknologi. Tujuannya adalah untuk meminta peneliti membuatkan teknologi pencatat informasi produk secara otomatis di kasir. Namun, dekan menolak permintaan itu. Meski begitu, permintaan ini didengar oleh mahasiswa bernama Bernard Silver yang tertarik menciptakannya. Silver kemudian meminta bantuan rekannya, Joseph Woodland, untuk merumuskan teknologi yang dimaksud pemilik toko. Keduanya kemudian sama-sama memikirnya dari nol.
Dari Peneliti ke Peneliti
Pada Januari 1949, Joseph Woodland memutuskan untuk berlibur di tengah kerumitan memikirkan teknologi untuk toko retail tersebut. Ia memilih pergi ke Pantai Miami dan di sanalah ia mendapat pencerahan.
Ketika sedang duduk di kursi pantai, ia teringat tentang kode morse yang pernah dipelajarinya. Kode morse mewakilkan huruf dan angka dengan menggunakan titik dan garis. Dan bagi Woodland, ini adalah jawaban atas kebuntuan pengembangan teknologi tersebut. Dalam bayangannya, dikutip dari Eureka!: How Invention Happens (2015) karya Gavin Weightman, ia kemudian terpikirkan untuk membuat teknologi berbasis kode morse yang berbentuk garis tebal dan garis tipis yang didalamnya berisi informasi suatu produk.
Ia lantas langsung menemui Bernard Silver di Philadelphia untuk merumuskan purwarupanya. Keduanya kemudian berhasil membuat teknologi yang diminta pimpinan toko retail tersebut. Jika berhasil dipindai, bentuknya adalah lingkaran kosentris yang di dalamnya berisi data-data produk.
Meski begitu, penemuan ini mustahil diterapkan di toko-toko. Penemuan tersebut rupanya harus dibarengi dengan kehadiran alat pemindai. Masalahnya saat itu tidak ada alat pemindai yang efektif dan efisien. Alat pemindai yang digunakan dalam uji coba Silver dan Woodland berupa 500 lampu bohlam yang dikumpulkan hingga seukuran meja.
Tentu, jika mengadopsi alat pemindai saat uji coba, biaya yang dikeluarkan pun tidak murah. Apalagi saat itu, tidak ada yang berminat berinvestasi dalam pengembangan toko retail. Masalah ini kemudian membuat temuannya hanya berada dalam daftar paten saja.
Satu dekade kemudian, David J. Collins, mengembangkan teknologi serupa dengan ciptaan Silver dan Woodland. Pada 1960, Collins, atas permintaan perusahaan kereta api, berhasil membuat kode-kode batang yang di dalamnya memuat informasi kereta dengan nama KarTrak.
Kode batang itu ditempelkan di gerbong kereta yang nantinya akan dipindai oleh proyektor yang ditempatkan di pinggir rel. Atas penemuan Collin, perusahaan kereta api melalui komputer berhasil melacak keberadaan gerbong-gerbong kereta di seluruh AS sekaligus menekan angka pencurian gerbong.
Kelahiran Kode Batang
Temuan Collins membuka jalan untuk menerapkan barcode di sektor perdagangan seperti tujuan awal. Apalagi sejak laser, sebagai pemindai, diciptakan pada 1960 dan perkembangan komputer juga sudah maju, segala masalah yang dianggap mustahil pada tahun 1940-an dapat teratasi.
Titik balik pengembangan barcode dimulai oleh grup supermarket di Amerika Utara, yakni Kroger Company. Pada 1966, perusahaan yang memiliki jaringan supermarket terbesar di bagian utara itu mulai menyadari efisiensi dari kehadiran proses pembayaran yang lebih otomatis. Terjadilah kerjasama dengan perusahaan teknologi Sylvania dan Radio Corporation of America (RCA).
Pada awalnya, para peneliti fokus mengembangkan temuan Silver dan Woodland. Namun, seiring berjalannya waktu, temuan keduanya ternyata tidak efektif. Bentuk lingkaran kosentris membuat pemindai susah mengambil data. Alhasil, dirumuskanlah bentuk baru sesuai kesepakatan Komite Simbologi. Yakni, harus kecil dan rapi, persegi panjang, ukurannya 1,5 inci, berbentuk batang, dan terdapat angka 10 digit. Dari sini istilah barcode atau kode batang mulai dikenal. Ukuran tersebut adalah yang paling ideal untuk bisa dipindai oleh alat. Selain itu, kode tersebut juga harus membawa informasi produk, khususnya terkait jenis produk dan produsennya.
Selama masa pengembangan itu dirumuskan pula istilah yang disebut Universal Product Code (UPC). Sesuai namanya, istilah tersebut ditunjukkan untuk merumuskan kode yang dapat diterima secara universal. Ini dilakukan untuk menghindari kerumitan dalam pencatatan di pihak produsen dan pengusaha toko.
Misalkan, produk X dijual di supermarket Y dan Z. Jika tidak ada sistem UPC, maka akan terjadi tumpang tindih pencatatan. Kode barcode di dua supermarket itu akan berbeda, dan menyulitkan produsen dalam proses pencetakan. Dengan adanya UPC, produk X akan memiliki satu kode barcode universal yang dapat digunakan di seluruh supermarket.
Perjalanan panjang manusia merumuskan barcode akhirnya membuahkan hasil. Pada 26 Juni 1974, tepat hari ini 48 tahun lalu, barcode yang sudah tercatat dalam UPC berhasil dipindai untuk pertama kalinya di dunia dan secara resmi digunakan dalam perdagangan.
Sistem yang Mengubah Perdagangan
Pada awalnya, sedikit toko yang meminati barcode. Namun, melansir tulisan Tim Harford di BBC, penggunaan barcode semakin luas ketika Walmart, perusahaan retail yang mendominasi di AS, menerapkan teknologi ini di seluruh gerainya, pada 1980-an. Walmart berani berinvestasi besar dengan membeli komputer dan alat pemindai. Perusahaan itu percaya jika barcode dapat mengubah cara perdagangan dunia.
Akibatnya, produsen tidak ada pilihan lain selain ikut mencetak barcode di tiap kemasan. Dengan lokasi yang tersebar di seluruh dunia, pabrik-pabrik menjadi media penyebaran informasi terkait teknologi baru bernama barcode. Alhasil, mulai banyak produsen dan toko retail lainnya yang menerapkan sistem barcode, tidak hanya di AS tetapi juga di dunia. Kehadiran barcode kemudian menjadi suatu keharusan dalam transaksi perdagangan.
Seiring berjalannya waktu diketahui barcode memiliki banyak kelebihan. Gavin Weightman mencatat bahwa penggunaan barcode bukan hanya perihal percepatan pembayaran, tetapi juga berdampak pada riset pasar. Bagi produsen, barcode menghasilkan bukti statistik yang kuat terkait selera konsumen yang berujung pada laku atau tidaknya suatu produk. Dan ini membuat produsen dapat mudah menentukan status suatu produk, dilanjutkan atau tidak. Sekaligus menentukan variasi suatu produk.
Lalu pengusaha toko retail pun dapat menentukan produk mana saja yang layak dijual. Jadi, mereka tidak lagi menjual seluruh produk yang sebetulnya tidak semuanya laku dan hanya membawa kerugian. Setelahnya muncul toko retail yang khusus menjual satu produk saja, seperti sepatu, baju, makanan, dll.
Dalam riset yang dilakukan Emek Basker dan Timothy S. Simcoe pada 2018, sejak barcode dan sistem UPC diterapkan di AS terbukti terjadi perubahan positif di sektor perdagangan. Toko retail semakin banyak, produsen semakin giat memproduksi barang, ekspor dan lapangan kerja meningkat. Keduanya mencatat terjadi peningkatan lapangan kerja sekitar 10 persen setiap tahunnya.
Lebih dari itu, Alistair Milne dalam “The Rise and Success of the Barcode” (2013) menambahkan, kehadiran barcode dan standar terkait yang digunakan secara luas dalam perdagangan berhasil membuat rantai pasokan barang di tingkat domestik dan global semakin cepat terpenuhi. Sebagai konsekuensinya, kemunculan teknologi ini tidak hanya menghasilkan kecepatan perdagangan, tapi juga berhasil memberikan sumbangsih pada percepatan globalisasi.
Percepatan ini kemudian, seperti yang disampaikan “Percepatan ini tidak hanya mempercepat proses ekonomi, tetapi juga membuka ruang baru di sektor ekonomi. Yang tidak hanya mengubah dunia bisnis tetapi juga lanskap budaya dan fisik yang kita miliki bersama,” ujar Marcus Wohlsen di Wired
Pernyataan Marcus dapat kita lihat sekarang dengan melihat penggunaan barcode yang semakin meluas, bukan hanya untuk keperluan perdagangan semata. Mulai dari sektor kesehatan, pendidikan, sampai transportasi, seluruhnya sudah menggunakan barcode untuk memudahkan pekerjaan.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Nuran Wibisono