Menuju konten utama

Kegagalan MU dan Arsenal di Liga Inggris Patut Dirayakan

Manchester United dan Arsenal kalah dari tim semenjana pada pekan 37 EPL, namun di balik kegagalan tersebut ada sesuatu yang patut dirayakan: semangat tim-tim kecil.

Kegagalan MU dan Arsenal di Liga Inggris Patut Dirayakan
Manajer Manchester United Ole Gunnar Solskjaer bertepuk tangan saat merayakan kemenangannya melawan Cardiff City setelah pertandingan Liga Premier Inggris antara Cardiff City dan Manchester United di Stadion Cardiff City di Cardiff, Wales, Sabtu 22 Desember 2018. AP PHOTO / Jon Super

tirto.id - Arsenal dan Manchester United gagal finis di zona Liga Champions lantaran sama-sama bermain imbang pada laga pekan ke-37 Liga Inggris, Minggu (5/5/2019) malam waktu Indonesia. MU yang bermain lebih awal menyudahi pertandingan kontra Huddersfield Town dengan skor 1-1, begitu pula Arsenal yang menjamu Brighton di Stadion Emirates.

Tambahan satu poin bikin Arsenal tak beranjak dari peringkat lima. Mengoleksi 67 poin, Meriam London nyaris mustahil menyalip klub urutan empat, Tottenham Hotspur. Sedangkan MU yang berada di posisi keenam hanya mengemas 66 poin. Dengan asumsi satu laga sisa, Setan Merah dipastikan finis di bawah Spurs.

Arsenal bernasib sedikit lebih baik ketimbang MU. Meski gagal finis empat besar, mereka masih mungkin tampil di Liga Champions musim depan andai mampu menjuarai Liga Eropa. Namun, tugas itu jelas tidak akan mudah.

“Kami tahu akan sulit, tapi fokus kami saat ini harus di Liga Eropa. Kami punya peluang melakukan hal penting di kompetisi itu dan akan terus mengusahakannya,” kata pelatih Arsenal, Unai Emery, setelah pertandingan.

Sementara manajer Setan Merah, Ole Gunnar Solskjaer, memilih mengutarakan secara terbuka kekecewaannya kepada para pemain. Pria kelahiran Norwegia itu bahkan berkata sudah 'mengantongi' nama-nama yang bakal dicoret pada bursa transfer musim panas.

“Saat ini saya tak bisa berbicara per individu, tapi jelas kemungkinan ada beberapa pemain yang akan Anda lihat untuk terakhir kalinya,” tutur Ole, mengutip The Times.

Yang kemudian bikin geleng-geleng kepala, kegagalan MU serta Arsenal tidak lantas bikin kesebelasan di atas mereka layak disebut lebih baik. Faktanya, tim penghuni urutan empat, Tottenham Hotspur, juga menderita kekalahan memalukan. Sabtu (4/5/2019) lalu The Lilywhites takluk 1-0 dari tim kelas bulu Bournemouth.

Disebut memalukan karena secara peringkat dan tren level Bournemouth jelas berada di bawah Spurs. Nathan Aké dan kawan-kawan merupakan tim papan tengah yang tak banyak beranjak dari peringkat 10 hingga 13.

Merayakan Perjuangan Tim Kecil

Hasil yang didapat MU, Arsenal, bahkan Spurs di pekan-pekan akhir jelas jadi pukulan telak bagi suporter masing-masing. Kendati demikian, pengamat sepakbola asal Inggris, Gary Lineker, mengatakan kalau di balik kejadian tersebut ada hal yang patut diapresiasi dan dirayakan.

Menurut Lineker, orang terlalu sibuk menyoroti kiprah klub-klub papan atas, padahal di samping itu ada usaha keras dari tim-tim kecil--yang layak mendulang pujian.

“Ini adalah bukti tekad klub-klub macam Bournemouth, Huddersfield, atau Brighton tidak padam meski mereka tak punya ambisi besar dan kompetisi hampir berakhir. Mereka menampilkan pertandingan yang kompetitif. Permainan yang bagus,” ungkap Lineker.

Sebagai catatan, Brighton, klub yang menahan imbang Arsenal, merupakan penghuni peringkat 17 klasemen sementara EPL. Kendati bukan merupakan penghuni zona degradasi, performa klub yang bermarkas di Stadion Falmer tersebut jelas melampaui ekspektasi.

Lewis Dunk, bek Brighton yang tampil brilian sepanjang laga kontra Arsenal, mengatakan timnya sejak awal ingin memberikan yang terbaik meski laga semalam tidak lagi berpengaruh terhadap posisi mereka.

“Manchester City barangkali masih punya motivasi tampil untuk merengkuh gelar, tapi kami hanya bermain demi kebahagiaan kami sendiri. Kami ingin mendapat poin sebanyak mungkin dan menunjukkan pada pelatih potensi apa yang bisa kami hadirkan musim depan,” ujar Dunk di laman resmi klub.

Sementara Manajer Huddersfield, Jan Siewert, tetap bangga dengan semangat juang yang ditunjukkan para pemainnya. Semangat itu, menurut Siewert, diekspresikan dengan baik oleh para pemain pada pertandingan kandang terakhir kontra MU.

Tim ini cuma mengemas 15 angka hingga pekan 37. Mereka dipastikan menjadi tim terbawah di klasemen akhir EPL.

“Setelah musim yang mengecewakan, kami ingin memberikan sesuatu untuk suporter. Di ruang ganti saya berkata agar para pemain menampilkan usaha 100 persen, bagaimana pun situasinya. Para suporter yang tak lelah mendukung kami sepanjang tahun layak mendapatkan kebahagiaan,” ujarnya di laman resmi klub.

Kompetitif dengan Caranya Sendiri

Hasil antiklimaks yang didapat MU dan Arsenal juga seperti jadi alarm bahwa EPL masih punya daya tarik. Belakangan, tingkat kompetisi yang terjadi di EPL menimbulkan perdebatan. Meski kerap dipuji karena persaingan di papan atas berjalan ketat, secara angka EPL justru terlihat tidak begitu kompetitif dibanding liga-liga lain.

Argumen tersebut muncul, misalnya setelah para pengamat sepakbola membandingkan torehan poin klub teratas dengan yang paling bawah. Di klasemen sementara EPL saat ini, klub teratas (Liverpool) mengemas 94 poin, sementara Huddersfield yang jadi juru kunci cuma punya catatan 15 angka.

Artinya, kesenjangan (jarak) antara kedua klub itu menyentuh 79 poin.

Kesenjangan ini jauh jika dibandingkan, misalnya, dengan Liga Spanyol (La Liga). Di La Liga saat ini jarak antara Barcelona selaku klub teratas dengan klub terbawah, Huesca, jauh lebih dekat, yakni 53 poin (Barca 83 poin, sementara Huesca 30 poin).

“Jarak antara tim teratas dengan sisa yang lain bahkan terlihat semakin jelas jika dikomparasikan dengan liga top Eropa lain. La Liga yang kerap dikritik karena minim persaingan faktanya lebih baik, para penontonnya di Spanyol juga terlihat terhibur,” ungkap pengamat sepakbola The Guardian, Martin Lawrence.

Bahkan Serie A yang kerap dicap sebagai ‘liga petani’ punya kesenjangan lebih pendek dibanding EPL. Jarak antara klub teratas, Juventus dengan yang paling bawah, Chievo berkisar 74 poin (Juve mengemas 89 poin, sementara Chievo 15).

Namun menampik hitung-hitungan di atas, sebagian pelatih klub EPL menolak mentah-mentah argumen yang menyebut divisi teratas Inggris kalah kompetitif dibanding liga lain. Salah satu yang menentang adalah Pep Guardiola, pelatih City yang pernah berkiprah di La Liga maupun Liga Jerman (Bundesliga).

Menurut Pep, hitung-hitungan statistik tidak bisa sepenuhnya dijadikan patokan. Dia merasa EPL merupakan liga paling kompetitif. Bagi Guardiola, kompetitifnya EPL bukan semata karena faktor angka, tapi juga lantaran tidak pernah ada jaminan sebuah tim mampu mengalahkan lawan tertentu.

“Dari kualitas rival, tak bisa diragukan jika [EPL] adalah yang paling sulit. Maka dari itu, berada di atas selalu jadi pencapaian luar biasa,” ujarnya kepada BBC Sport.

Bahkan hingga saat ini, Guardiola mengaku tetap memiliki adrenalin tinggi. Dini hari nanti timnya akan menghadapi Leicester City di kandang. Kemenangan akan mengantarkan The Cityzens merebut puncak klasemen. Masalahnya, Guardiola meyakini laga tersebut lebih sulit dari perkiraan.

“Pada akhirnya hanya satu tim yang akan menang dan tim lain cuma bisa pulang ke rumah […] Jujur saja, ini tidak mudah,” kata Guardiola.

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino