tirto.id - Kasus seorang wanita Amerika yang mendorong wisatawan asing ramai-ramai pindah ke Bali di masa pandemi COVID-19 tengah ramai dibicarakan publik.
"Bali" menjadi trending topic di Twitter karena orang-orang dengan ramai memperdebatkan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam permasalahan tersebut pada Senin (18/1/2021) siang.
Dia menjelaskan, setelah menghabiskan sebagian besar waktunya di tahun 2019 tenggelam dalam pekerjaan, dia dan pacarnya memutuskan untuk mencoba hidup di Bali selama enam bulan, di mana dia menjadi seorang desainer grafis wiraswasta dan berhasil tinggal di "rumah pohon" hanya dengan 400 dolar AS (sekira Rp5,6 jutaan), dibandingkan dengan biaya apartemen studio seharga 1.300 dolar AS (sekira Rp18 jutaan) di LA mereka sebelumnya.
Mereka tinggal di Bali sudah setahun, dan dia mengatakan bahwa mereka menjalani "gaya hidup yang lebih baik" dan bahwa Bali adalah "obat yang sempurna" untuk kesehatan fisik dan emosionalnya.
Ia menyebutkan banyak keuntungan hidup di Bali: keamanan, biaya hidup rendah, gaya hidup mewah, ramah queer, dan selanjutnya membagikan pengalaman positifnya sebagai perempuan kulit hitam dengan komunitas kulit hitam di sana.
Kemudian sebagai rujukan, ia menautkan ebook bertajuk "Our Bali Life is Yours" yang membantu orang lain mencapai mimpi yang sama.
Warganet pengguna Twitter Indonesia yang membaca utas tersebut langsung bereaksi, dengan ribuan balasan dan tweet, banyak di antaranya menyoroti dampak yang ditimbulkan oleh para migran Amerika yang relatif kaya terhadap komunitas dan gentrifikasi lokal.
Beberapa orang mengatakan poin-poin yang dijabarkan dalam utas tersebut adalah sentimen antiimigrasi di AS.
Komentarnya soal hidup mewah di Bali juga dianggap tuli, mengingat Indonesia adalah negara terpadat di Asia Tenggara dengan ekonomi terbesarnya namun seperempat penduduknya hidup di ambang garis kemiskinan dan 10 persennya hidup miskin.
Warganet Indonesia juga menyoroti bedanya hidup di negara sebagai warga negara Indonesia dan previlese yang didapat wanita tersebut. Mereka juga menyoroti dampak kerusakan yang mendorong banyak orang Amerika pindah ke Bali.
Sebelum menghapus akunnya, pengguna mengunggah satu tweet terakhir yang sepertinya mengakui serangan balik, dengan mengatakan: "Percakapan yang dilakukan di sini valid. Meskipun itu bukanlah percakapan yang saya lakukan hari ini. Mereka telah terlihat dan didengar. Hanya berbagi cerita saya dengan orang-orang."
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Agung DH