Menuju konten utama

Kasus Bongkar Kuburan & Janji Pendidikan Politik yang Tak Ditepati

Kasus bongkar kuburan di Gorontalo menambah panjang daftar konflik karena beda pilihan politik. Lalu bagaimana ini bisa terjadi?

Kasus Bongkar Kuburan & Janji Pendidikan Politik yang Tak Ditepati
Ilustrasi makam. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Perbedaan pilihan politik kini menjadi fenomena yang sensitif buat masyarakat Indonesia. Tak jarang, perbedaan ini memicu konflik sosial yang sebelumnya tak pernah terjadi.

Salah satunya kasus pemindahan dua kuburan di Desa Toto Selatan, Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Pemindahan makam ini dilatari perbedaan pilihan calon legislatif DPRD Gorontalo antara keluarga jenazah dan pemilik tanah.

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade menilai masalah seperti ini muncul karena fanatisme berlebih di masyarakat. Akibatnya, perbedaan pilihan menjadi satu hal yang dirasa ganjil.

Namun, Andre merasa, keganjilan itu tak akan membesar jika tidak ada provokator. Andre menyebut, banyak politikus yang malah memprovokasi masyarakat untuk berkonflik.

“Karena masyarakat itu, kan, melihat politikus yang didukung,” ucap Andre kepada reporter Tirto, Selasa (15/1/2019).

Berbeda dengan Andre, Wakil Direktur Tim Kampanye Nasional (TKN) Lukman Edy menganggap perpecahan yang terjadi di masyarakat bukan karena pertentangan antara elite. Ia menyebut, elite politik tetap menjaga komunikasi meski kerap berseberangan.

Sehingga menurutnya, masyarakat salah menafsirkan jika pertentangan antara kandidat pemilu, baik capres-cawapres maupun caleg dapat mengakibatkan timbulnya perpecahan.

“Di atas [elite Politik] baik-baik saja, fun-fun saja. Kenapa masyarakat malah ribut," ujar Lukman kepada reporter Tirto.

Antisipasi BPN dan TKN

Biar kasus serupa tak berulang, Lukman Edy meminta masyarakat bersikap biasa saja terhadap perbedaan pandangan politik ini. Ia meminta masyarakat lebih mengedepankan akal sehat dibanding emosi sesaat.

“Sebaiknya masyarakat menyikapinya dengan akal sehat saja agar tidak lagi terjadi keributan karena pemilu,” kata Lukman.

Pada sisi lain, politikus PKB ini menyebut, perlunya masyarakat mendapat pendidikan politik dengan didukung data yang benar. Sehingga, kata dia, masyarakat bisa berpikir secara jernih.

“Tidak dengan fanatisme. Kami mengembangkan narasi positif yang akan disampaikan ke masyarakat agar mereka tak fanatis,” kata Lukman.

Cara serupa juga hendak dilakukan BPN Prabowo-Sandiaga. Menurut Andre Rosiade, pendidikan politik menjadi hal penting buat meredam konflik karena perbedaan pandangan politik.

Tak hanya itu, Andre menyebut, BPN akan meminta kepada politikus pendukung Prabowo-Sandiaga untuk menjaga sikap dengan tidak mengeluarkan pendapat yang bisa menimbulkan kegaduhan.

“Sehingga masyarakat di bawah tidak terprovokasi dan terpolarisasi,” ucap Andre.

Infografik CI Adu sindir kandidat Pilpres 2

Infografik CI Adu sindir kandidat Pilpres 2

Janji Pendidikan Politik Tapi Tak Ditepati

Apa yang disampaikan Lukman dan Andre diafirmasi pengamat politik sekaligus pengajar Ilmu Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno. Adi menyebut perpecahan ini dampak kurang dewasanya masyarakat dalam menyikapi perbedaan pendapat.

Situasi ini didukung minimnya pendidikan politik yang dilakukan partai dan elite politik terhadap masyarakat. Selama ini, kata Adi, pendidikan politik seperti yang disampaikan Lukman Edy dan Andre Rosiade, nyatanya tak pernah dilakukan. Akibatnya, masyarakat tak punya rujukan dan cenderung brutal dalam menyikapi perbedaan politik.

“Jarang masyarakat diberikan pendidikan politik oleh elite dan parpol bahwa perbedaan adalah suatu hal yang biasa” kata Adi kepada reporter Tirto, Rabu (16/1/2019).

Adi merujuk kasus pembunuhan terhadap Subaidi (40), pendukung Prabowo-Subianto, yang dilakukan Idris (30), seorang pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin di Madura, Jawa Timur, dan kasus penolakan salat jenazah saat Pilkada DKI 2017.

Dua kasus di atas, bagi Adi menjadi bukti ketidakmampuan elite politik dan partai dalam membina para pendukungnya lantaran pendukung hanya disapa menjelang pemilu dan tidak pernah diberi pemahaman tentang perbedaan pandangan.

“Akibatnya rakyat brutal karena tidak ngerti apa-apa soal politik. Masyarakat hanya dijadikan komoditas. Tidak tahu hakikat politik yang sesungguhnya,” kata Adi.

Sementara peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo mengatakan perpecahan di antara masyarakat ini dipicu tidak terjadinya rekonsiliasi antara elite politik pasca-pemilu. Sehingga opini dan posisi masyarakat tetap terbelah.

Pada sisi lain, Wasisto menilai masyarakat Indonesia kontemporer kurang berinteraksi langsung dan hanya berinteraksi di media sosial serta terlalu mudah diprovokasi isu politik identitas. Ini disebut Wasisto, jadi pemicu mudahnya masyarakat jadi tegang.

“Di level elite pun kontestasinya tidak seperti ini, masih bisa dijembatani dengan salaman. Masyarakat kita terlalu berlebihan,” ucap Wasisto kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Mufti Sholih