Riuhnya pesta demokrasi Pemilu 2024 dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Begitu juga Suku Badui di Desa Kanekes, Lebak, Banten, yang ikut merasakan sensasi meriahnya hajatan besar ini.
Berjalan sejauh puluhan kilometer dengan medan pegunungan pun tak menjadi halangan bagi Suku Badui untuk tetap mendistribusikan logistik 135 kotak suara untuk ke 27 tempat pemungutan suara (TPS).
Warga Suku Badui yang kini memiliki KTP elektronik dapat mengikuti pencoblosan dan tercatat sebanyak 6.078 orang terdaftar sebagai pemilih tetap. Meski jumlah tersebut masih kecil dibanding dengan jumlah DPT di Kabupaten Lebak namun antusiasme masyarakat dalam kontestasi pemilu kali ini sangatlah tinggi, bahkan saat pelaksanaan pencoblosan terlihat antrean warga yang menumpuk namun tetap berjalan dengan tertib.
Meski saat pencoblosan, warga Suku Badui masih banyak yang tak mengerti cara melipat surat suara, namun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mayoritas merupakan pemuda asli dari Badui dengan sabar membantu melipat kembali surat suara yang telah dicoblos oleh para pemilih.
Kendala susah sinyal akibat lokasi topografi Badui yang merupakan hutan pun menjadi tantangan bagi KPPS dalam mengirim informasi hasil rekapitulasi suara, sehingga membuat petugas KPPS harus turun ke bawah gunung untuk mendapatkan sinyal.
Begitu juga saat perhitungan suara. Dengan berbekal senter dan lilin tak menyurutkan semangat KPPS untuk melakukan perhitungan surat suara hingga malam hari.
Suku Badui juga memegang teguh prinsip “Lunang” atau milu kanu menang yang berarti ikhlas dalam menerima siapapun calon yang menang, prinsip tersebut sudah dijalani secara turun-temurun, meski ada yang beda pendukung namun pada akhirnya mereka tetap menjaga kerukunan dan berbesar hati dalam menerima keputusan.
“Saat pelaksanaan kampanye, partai politik maupun para calon dilarang untuk berkampanye di wilayah adat Suku Badui untuk menjaga kedamaian serta menghindari konflik dan perpecahan di wilayah tanah ulayat,” ucap Kepala Desa Kanekes, Saija.
Karena pada dasarnya di Badui, mereka hidup secara bergotong royong dan saling memegang teguh kepercayaan lokal serta nilai-nilai tradisi leluhur mereka.
Foto dan teks : ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Berjalan sejauh puluhan kilometer dengan medan pegunungan pun tak menjadi halangan bagi Suku Badui untuk tetap mendistribusikan logistik 135 kotak suara untuk ke 27 tempat pemungutan suara (TPS).
Warga Suku Badui yang kini memiliki KTP elektronik dapat mengikuti pencoblosan dan tercatat sebanyak 6.078 orang terdaftar sebagai pemilih tetap. Meski jumlah tersebut masih kecil dibanding dengan jumlah DPT di Kabupaten Lebak namun antusiasme masyarakat dalam kontestasi pemilu kali ini sangatlah tinggi, bahkan saat pelaksanaan pencoblosan terlihat antrean warga yang menumpuk namun tetap berjalan dengan tertib.
Meski saat pencoblosan, warga Suku Badui masih banyak yang tak mengerti cara melipat surat suara, namun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mayoritas merupakan pemuda asli dari Badui dengan sabar membantu melipat kembali surat suara yang telah dicoblos oleh para pemilih.
Kendala susah sinyal akibat lokasi topografi Badui yang merupakan hutan pun menjadi tantangan bagi KPPS dalam mengirim informasi hasil rekapitulasi suara, sehingga membuat petugas KPPS harus turun ke bawah gunung untuk mendapatkan sinyal.
Begitu juga saat perhitungan suara. Dengan berbekal senter dan lilin tak menyurutkan semangat KPPS untuk melakukan perhitungan surat suara hingga malam hari.
Suku Badui juga memegang teguh prinsip “Lunang” atau milu kanu menang yang berarti ikhlas dalam menerima siapapun calon yang menang, prinsip tersebut sudah dijalani secara turun-temurun, meski ada yang beda pendukung namun pada akhirnya mereka tetap menjaga kerukunan dan berbesar hati dalam menerima keputusan.
“Saat pelaksanaan kampanye, partai politik maupun para calon dilarang untuk berkampanye di wilayah adat Suku Badui untuk menjaga kedamaian serta menghindari konflik dan perpecahan di wilayah tanah ulayat,” ucap Kepala Desa Kanekes, Saija.
Karena pada dasarnya di Badui, mereka hidup secara bergotong royong dan saling memegang teguh kepercayaan lokal serta nilai-nilai tradisi leluhur mereka.
Foto dan teks : ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Baca juga artikel terkait FOTO-TIRTO atau tulisan lainnya dari M. Zaenuddin
tirto.id - Politik
Oleh: M. Zaenuddin