Menuju konten utama

Kasus Arief-Evi: Rumit & Politisnya Pemecatan Beruntun Pimpinan KPU

Evi Novida diberhentikan Jokowi dan menggugat ditemani Arief Budiman. Dia menang, lalu diangkat lagi sebagai komisioner KPU. Tapi masalah tak selesai.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kiri) dan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (kanan) memberikan keterangan pers di Kantor KPU, Jakarta, Senin (24/8/2020). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Arief Budiman tak menyangka niat baiknya menemani dan memberikan dukungan moril kepada Evi Novida Ginting Manik, koleganya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), berujung pemecatan. Hari itu, 17 April 2020, ia mendampingi Evi menggugat keputusan Presiden Joko Widodo yang memberhentikannya secara tidak terhormat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Jokowi mencopot Evi sebagai anggota KPU RI sekitar satu bulan sebelumnya, 23 Maret. Landasannya adalah keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 18 Maret. DKPP menganggap Evi melanggar kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) terkait kasus perolehan suara calon legislatif Partai Gerindra dapil Kalimantan Barat VI. Putusan itu bernomor perkara 317-PKE-DKPP/X/2019.

Setelah empat bulan berlalu, pada 23 Juli PTUN memenangkan Evi. Jokowi diminta mencabut surat pemecatan sekaligus merehabilitasi nama baik dan mengembalikan posisi Evi sebagai anggota KPU RI. “Menyatakan batal atau tidak sah keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP.,” kata pengadilan.

Jokowi memutuskan tidak mengajukan banding. Pada 7 Agustus 2020, mantan Wali Kota Solo ini mengaku menghargai putusan PTUN. Keputusan pemecatan Evi dicabut pada 11 Agustus 2020.

Setelahnya, Arief, Ketua KPU sejak 2017, mengangkat kembali Evi lewat Keputusan KPU RI Nomor 665/SDM.13.SD/05/KPU/VIII/2020, tertanggal 18 Agustus 2020.

Keputusan ini yang belakangan justru menjerat Arief.

Merembet ke Ketua KPU

Seseorang bernama Jupri mengadukan Arief ke DKPP. Ia menilai tindakan Arief menemani Evi menggugat dan mengangkatnya kembali menyalahi aturan.

“Sikap tersebut menurut Pengadu sangat disayangkan,” kata Jupri saat sidang pemeriksaan oleh DKPP, 18 November. “Patut diduga bahwa tindakan Ketua KPU RI hanya disebabkan oleh rasa galau dan kekhawatiran saja sehingga mengabaikan asas kepastian hukum dan kepentingan umum.”

Khusus terkait pengangkatan, Jupri menilai tindakan Arief “tidak dapat dibenarkan menurut Undang-Undang Pemilu serta menurut Pengadu diduga Ketua KPU RI telah melanggar Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.”

Arief membela diri. Dalam pemeriksaan hari itu dia bilang hadir saat Evi mendaftar gugatan pada 17 April tak lebih sebagai dukungan moril untuk kolega di KPU RI. “Dan tidak ada sedikit pun maksud dari Teradu untuk menyalahgunakan tugas, jabatan, dan kewenangan,” jelas Arief.

Terkait dalil keputusan KPU tanggal 18 Agustus, Arief menyebut surat tersebut bukan merupakan keputusan untuk mengaktifkan kembali Evi. Evi kembali menjabat adalah berdasarkan Keputusan Presiden pada 11 Agustus.

Tapi DKPP tak terima semua pembelaan itu. Pekan lalu, 13 Januari 2021, Arief dinyatakan melanggar kode etik. DKPP memberhentikannya sebagai Ketua KPU RI.

DKPP menilai Arief seharusnya bisa menempatkan diri pada waktu dan tempat yang tepat di ruang publik dan tidak terjebak dalam tindakan yang bersifat personal dan emosional. DKPP menilai tindakan Arief menemani Evi ke PTUN “terkesan melakukan pembangkangan dan tidak menghormati putusan DKPP yang bersifat final.”

DKPP dalam putusannya pun menyatakan Arief bersalah karena telah mengangkat kembali Evi sebagai anggota KPU. Kendati Arief mengacu kepada keputusan Presiden, DKPP menilai “dalam surat tersebut tidak ada frase atau ketentuan yang memerintahkan Teradu mengangkat dan mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU RI.”

“Tindakan Teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum atau kategori mencampuradukkan kewenangan di luar materi kewenangan,” kata anggota Majelis Hakim, Didik Supriyanto.

Saat itu hanya anggota Majelis Hakim Pramono Ubaid yang berbeda pendapat atau dissenting opinion. Pranomo merupakan anggota DKPP dari unsur KPU RI.

Arief lagi-lagi membela diri. “Satu saja yang ingin saya tegaskan,” katanya, Rabu (13/1/2021). “Bahwa saya tidak pernah melakukan kejahatan pemilu... tidak pernah melakukan pelanggaran dan kejahatan yang mencederai integritas pemilu.”

Posisi Ketua KPU kini dijabat pelaksana tugas Ilham Saputra. Dia dipilih secara aklamasi dalam rapat pleno pimpinan KPU, Jumat (15/1/2021), yang dihadiri Arief Budiman, Hasyim Asy’ari, Pramono Ubaid Tanthowi, Ilham Saputra, Evi Novida Ginting Manik, dan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.

Politis

Peneliti kepemiluan dan tata negara dari Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Ikhsan Maulana mempertanyakan putusan DKPP yang menyebut tindakan Arief saat menemani Evi mengajukan gugatan sebagai bentuk pembangkangan dan harus disanksi pemberhentian.

“Mungkin saja melanggar etik, tetapi selama perbuatannya bukan merupakan tindak pidana, bukan perbuatan tercela, atau menguntungkan peserta pemilu, menurut saya tidak perlu sampai pada proses pemberhentian. Mungkin cukup teguran saja,” kata Ikhsan saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (14/1/2021) sore.

Kemudian terkait keputusan Arief yang mengangkat kembali Evi. Menurutnya Arief hanya menindaklanjuti putusan pengadilan dan keputusan Jokowi sehingga tak bisa dikategorikan sebagai pembangkangan terhadap putusan DKPP.

“Apa yang dilakukan Arief memang sebetulnya serba salah. Jika dia tidak menindaklanjuti putusan PTUN dan Keppres, besar kemungkinan justru bisa dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum. Di sisi lain, jika Arief menindaklanjutinya, maka hasilnya seperti apa yang terjadi hari ini, Arief dinilai tidak patuh pada putusan DKPP,” kata dia.

Secara umum, menurutnya keputusan DKPP terlalu subjektif dan tidak melihat konteks yang lebih luas. “Jika dilihat di beberapa kasus, pendekatan yang dilakukan seperti menggunakan kacamata kuda, dalam artian apa yang mereka nilai tanpa mempertimbangkan lebih jauh,” kata Ikhsan.

Ia menilai DKPP tidak memikirkan efek yang bisa muncul dari keputusan mereka tersebut, misalnya mengganggu marwah KPU. “Putusan itu tidak sebanding [dengan] pelanggaran etik yang dilakukan.”

“Jika model penegakan etik seperti ini terus,” kata dia, “bukan tidak mungkin akan menjadi konflik kepentingan karena DKPP memutus untuk dirinya sendiri.”

Baca juga artikel terkait KOMISIONER KPU atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - News
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
-->