tirto.id - Pengacara I Wayan Sidarta, penasihat hukum Basuki Tjahaja Purnama, mengatakan bahwa kasus dugaan penistaan agama yang dihadapi kliennya adalah catatan buruk bagi dunia peradilan Indonesia.
"Kok bisa peradilan berjalan dalam tekanan... Ke depannya jangan ada lagi kasus ini," kata Wayan dalam konferensi pers di Gedung Proklamasi 53, Jakarta Pusat.
Menurut Wayan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) seharusnya menuntut bebas Ahok dalam sidang kemarin karena kliennya tak terbukti melakukan tindak pidana seperti yang termaktub dalam pasal 156 dan 156a KUHP. JPU dalam pembacaan tuntutannya mengenakan pasal 156 KUHP yang berupa pasal penghinaan, alih-alih menggunakan pasal penodaan agama.
"Ada 10 dari 14 jaksa mengatakan (kasus) ini tidak ada tindak pidana. Tapi karena ada demo terpaksa harus ada tersangka," tegasnya.
Ia karena itu mengatakan bahwa penasihat hukumnya akan melakukan pembelaan melalui pleidoi pada agenda sidang selanjutnya.
"Ini ambigu dan ada keraguan dalam menuntut Bapak Basuki, karena itu penasihat hukum akan melakukan pembelaan melalui pleidoi," kata dia.
Pembacaan pembelaan (pledoi) Ahok akan dilakukan di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, pada Selasa (25/4/2017). Saat ini, menurut Sidarta, Ahok masih mempersiapkan pledoi tersebut didampingi penasihat hukumnya.
"Pak Ahok akan buat sendiri pledoinya karena ini merupakan curahan hati dia. Pledoi ini sudah disiapkan matang. Hari ini sudah sampai draft ketiga dari empat draft."
Pada tanggal 20 April kemarin, Ali Mukartono, Ketua Tim JPU saat membacakan tuntutan terhadap Ahok dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
"Perbuatan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah secara sah, terbukti, dan meyakinkan telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua Pasal 156 KUHP," kata Ali.
Sebelumnya, Ahok dikenai dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156a KUHP disebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Sementara itu, menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal ini yang dipakai JPU untuk menuntut Ahok dalam sidang pembacaan tuntutan, Kamis (21/4/2017).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri