tirto.id - Salah satu adagium yang sering kali terbukti salah adalah: bigger is better. Ini terjadi pada banyak aspek kehidupan. Apa boleh buat, manusia seringkali terpukau pada sesuatu yang grande, besar. Bahwa yang megah adalah hal baik. Rumah besar dianggap lebih baik ketimbang rumah kecil. Mal besar kerap dianggap sebagai pertanda kemajuan ekonomi.
Tentu saja pendapat ini seringkali didebat, bahkan dalam bidang ekonomi sekalipun. Ekonom Inggris-Jerman, E.F Schumacher, pernah menulis buku penting berjudul Small is Beautiful: A Study of Economics As If People Mattered (1973). Menurut Schumacher, era modern juga membawa dampak negatif dalam bentuk obsesi terhadap apa yang dia sebut sebagai gigantisme. Semua harus besar, barang-barang diproduksi dalam jumlah banyak yang akan berujung pada dehumanisasi. Dengan skala gigantis ini, segala aspek kemanusiaan akan kalah oleh profit dan uang. Teori Schumacher sekarang terasa makin relevan di tengah gegap gempita perusahaan besar, dan memicu perlawanan-perlawanan kecil.
Di sana-sini, terjadi banyak geliat dalam bisnis berskala lebih kecil: ekonomi kerakyatan. Makin banyak pengrajin yang berjejaring dengan pengrajin lain dan membentuk pasar sendiri yang loyal. Roti dan makanan artisanal makin dicari. Toko buku kecil dan berbasis komunitas tumbuh dan berdaya. Usaha-usaha kecil terus lahir dan amat terbantu oleh kemajuan digital.
Hal ini juga terjadi di Indonesia. Menurut laporan Kementerian Koperasi dan UKM RI pada 2018, usaha kecil dan menengah (UKM), memiliki pangsa sekitar 99,9 persen dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia. Jumlahnya ada sekitar 62,9 juta unit usaha. Menurut mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, UKM yang terus bergerak dan berkembang akan berdampak besar.
“Kalau pertumbuhan ekonomi tumbuh hanya karena kelapa sawit, atau batu bara, maka pengentasan ketimpangan sosial tidak akan bergerak. Tapi kalau UKM yang bertumbuh, itu akan mengurangi kemisikan, ujar Kalla di acara penutupan Kongres Ekonomi Umat, 2017 silam.
Apa yang dibilang Kalla benar belaka. Menurut laporan “Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah” (2015) yang dirilis oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dan Bank Indonesia, UKM menyerap 97 persen tenaga kerja dari seluruh tenaga kerja nasional. UKM juga berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 57 persen.
UKM juga terbukti sebagai usaha yang punya pijakan kokoh. Menurut LPPI dan Bank Indonesia, ketika terjadi krisis moneter 1998, juga krisis di 2008 dan 2009, sekitar 96 persen UKM tetap bertahan dari goncangan krisis. Bandingkan dengan usaha-usaha raksasa yang bertumbangan di sana-sini.
UKM membuktikan bahwa usaha kecil juga bisa bertaji.
Berjejaring Untuk Mengatasi Masalah
Namun, UKM di Indonesia juga menghadapi masalah klasik yang kerap menemu jalan buntu: pembiayaan. Dalam laporan LPPI dan Bank Indonesia, pada 2014, dari 56,4 juta UKM di Indonesia, baru 30 persen yang bisa mengakses pembiayaan dari bank, dan sisanya dari skema pembiayaan non-bank.
Upaya-upaya untuk meluaskan cakupan pembiayaan ini terus dilakukan. Termasuk dengan adanya Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 14 yang dikeluarkan pada 21 Desember 2012. PBI ini mengamanatkan pada bank agar mereka memberikan porsi kredit sekurang-kurangnya 5 persen dari total kredit untuk UKM. Pada 2018, rasio kredit ini bahkan ditetapkan paling rendah sebesar 20 persen dari total pembiayaan.
Bukan berarti masalah lantas selesai di sana. UKM juga menghadapi peliknya strategi berdaya saing di era industri yang berkembang pesat, juga bagaimana menyiasati perubahan yang terjadi di era digital ini.
Tak banyak pihak yang mau terjun ke akar rumput dan membina UKM secara langsung. Satu dari yang sedikit itu adalah PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna). Melalui Sampoerna Retail Community (SRC), Sampoerna melakukan pembinaan berkelanjutan kepada toko kelontong. Pembinaan ini telah dilakukan sejak tahun 2008 dan saat ini lebih dari 120.000 toko dari 34 provinsi yang tergabung di komunitas SRC ini.
Baru-baru ini, Paguyuban SRC menginisiasi Festival SRC Indonesia 2019. Festival ini diadakan di 13 kota di seluruh Indonesia dalam rentang waktu dari tanggal 17 November hingga 8 Desember 2019. Festival ini adalah upaya untuk meningkatkan daya saing UKM sektor retail, sekaligus memperkenalkan ekosistem SRC kepada konsumen.
Pada penyelenggaran Festival SRC Indonesia di Jakarta, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menghadi acara yang dihadiri lebih dari 3000 pelaku UKM termasuk pemilik toko SRC. Dalam sambutannya Teten mengapreasiasi inisiasi acara ini sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan UKM di Indonesia.
“Agar (UKM) dapat bersaing dengan retail-retail, maka diperlukan pembinaan yaitu dengan melakukan modernisasi, mulai dari pembinaan kepada pemilik toko agar dapat memberikan pelayanan yang ramah, penataan barang yang rapi, hingga adanya aplikasi yang memungkinkan warung-warung rakyat ini bisa mendapatkan suplai barang dagangan yang sama dengan yang diterima oleh retail modern,” ujar Teten.
Festival ini juga menyerukan gerakan #BerbelanjaDekatRumah (BERKAH). Sesuai namanya, ini adalah ajakan untuk belanja di toko kelontong sekitar tempat tinggal. Ini adalah gerakan penting, mengingat toko kelontong adalah bagian penting dari masyarakat Indonesia sejak dulu.
Di Semarang, Festival SRC Indonesia 2019 dihadiri oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, Walikota Semarang Hendrar Prihadi, dan Kepala Dinas Koperasi & UKM Provinsi Jawa Tengah Ema Rachmawati. Wakil Gubernur Jawa Tengah dalam sambutannya menyatakan sangat menyambut baik kegiatan yang diinisiasi oleh paguyuban SRC ini karena merupakan bentuk komitmen dan dukungan nyata untuk kemajuan UKM Indonesia.
Selain itu, Paguyuban SRC di Jawa Timur juga sudah berkolaborasi dengan Pemprov menuju Jatim sejahtera. Dalam festival yang berlangsung pada 1 Desember 2019 di Surabaya, festival ini turut menampilkan kerja sama berbentuk partisipasi dalam Garda Indag, peluncuran program Jumat Berkah, dan pendampingan UKM Sreseh asal Sampang, Madura. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, Drajat Irawan mewakili Gubernur Jawa Timur mengungkapkan, pihaknya mengapresiasi program pembinaan UKM yang dilakukan oleh Sampoerna melalui SRC.
Menurut Henny Susanto, Kepala Urusan Komersial dan Pengembangan bisnis Sampoerna, Sampoerna melalui SRC memberikan dukungan non moneter yang berupa pelatihan manajemen toko, pengembangan bisnis, industri berbasis digital, hingga perluasan jaringan sosial melalui paguyuban.
“Program pembinaan UKM terintegrasi yang kami jalankan melalui SRC bertujuan untuk meningkatkan daya saing toko kelontong,” ujar Henny.
Untuk pengembangan berbasis digital, SRC telah meluncurkan aplikasi AYO SRC. Aplikasi ini bisa menghubungan seluruh anggota SRC dengan mitra penyalur dan konsumen, sehingga pengelolaan toko jadi lebih sangkil dan mangkus.
SRC juga meluncurkan aplikasi Pojok Bayar yang merupakan sarana untuk memudahan konsumen toko untuk melakukan transaksi produk digital. Di aplikasi itu, konsumen membisa beli pulsa, paket data, juga membayar listrik.
“SRC telah menjadi bagian penting dari masyarakat di Jabodetabek. Melalui Festival SRC Indonesia, kami berharap agar SRC maupun UKM lokal lain semakin dekat dengan masyarakat. Ke depan, Sampoerna ingin merangkul lebih banyak lagi pemangku kepentingan, agar cakupan program pemberdayaan ini bisa makin merata di seluruh Indonesia,” tutur Henny.
Untuk informasi lebih lanjut tentang SRC, sila kunjungi www.src.id.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis