tirto.id - "Peta mengandung petunjuk mengapa menusia menjadi 'manusia'," tulis Simon Garfield dalam bukunya berjudul On The Map: Why the World Looks the Way it Does (2012). Peta, representasi dua dimensi untuk dunia tiga dimensi, "menghubungkan dan menyelaraskan kembali sejarah kita, merefleksikan yang buruk serta yang baik dari penjelajahan dan keingintahuan manusia."
Suatu waktu, peta pernah menjadi senjata utama Barat untuk menjajah Asia dan Afrika. Kini, melalui application programming interface (API) Google Maps, peta menjadi senjata utama Gojek, Grab, Uber, hingga AirBnB menjangkau masyarakat dengan buruh-buruh mereka--atau "mitra" dalam eufemisme ala startup. Sialnya, selama ratusan tahun, peta tak pernah (dan tak akan pernah) sempurna.
Cobalah buka Google Maps, zoom out ke titik maksimal, lalu arahkan ke Greenland, pulau yang berada di Samudra Arktik dan bertetangga dengan Islandia dan Kanada. Pada Google Maps (dan penyedia peta lain), Greenland nampak sangat besar, memiliki luas setara dengan seluruh penjuru Afrika, hingga membuatnya lebih cocok disebut benua alih-alih pulau. Faktanya, luas Greenland hanya sebesar 2,16 juta kilometer persegi, sementara luas Afrika adalah 30,37 juta kilometer persegi.
Kekeliruan peta tidak hanya soal Greenland. Hampir semua peta dunia yang tersedia saat ini, entah cetak atau digital, ukuran Kanada dan Rusia terlalu luas. Padahal, andai peta Indonesia ditempatkan di koordinat yang ditempati Kanada dan Rusia (Anda dapat berimajinasi dengan mudah memanfaatkan aplikasi bernama The True Size), jarak Sabang-Merauke sama panjangnya dengan Kanada, dan sedikit lebih pendek ketimbang Rusia dari ujung ke ujung. Seandainya peta Indonesia ditaruh di wilayah Greenland, Indonesia akan menjadi jembatan penghubung Amerika Utara dan Eropa.
Ya, meskipun Google Maps, Bing Maps, OpenStreetMaps, atau peta apapun tidak tepat merefleksikan luas Greenland, Kanada, serta Rusia, mereka tak dapat disalahkan. Alasannya sederhana, bumi bulat. Seorang bernama Gerardus Mercator berdamai dengan fakta yang ditentang Paguyuban Bumi Datar ini ketika ia menggambar bumi di atas selembar kertas.
Mercator
"Ratusan tahun sebelum Masehi," tulis Andrew Taylor dalam bukunya berjudul World of Gerard Mercator: The Mapmaker Who Revolutionized Geography (2004), "Utara, Selatan, Barat, dan Timur bukan sebatas petunjuk arah mata angin semata, tetapi juga menunjukkan rasa keingintahuan manusia tentang wilayah yang masih samar."
Kala itu, manusia memperoleh informasi tentang suatu wilayah bersumber dari para pelaut atau penjelajah--yang kebenarannya sukar dibuktikan karena acap kali dilebih-lebihkan. Pada 500 tahun sebelum Masehi, misalnya, sejawaran Yunani bernama Herodotus dikabari seorang nelayan asal Phoenicia yang mengaku pernah menginjakkan kaki di "ujung Afrika", tanpa merinci ujung yang mana (dan tak jelas apa benar ia merujuk pada Afrika sesungguhnya). Seratus tahun kemudian, penjelajah Yunani bernama Pythaes mengaku berlayar "jauh ke bagian Selatan lautan hingga sampai ke negara Thule, negeri di mana Matahari terlelap. Dan jika terus berlayar ke Utara, kita akan sampai di tempat di mana tanah, laut, air, dan udara menyatu."
Sialnya, di masa-masa itu, penjelajahan dunia tengah gencar-gencarnya dilakukan sampai-sampai muncul banyak kisah heroik nan puitis tentang suatu tempat--dan nadanya tentu saja berlebihan. "Para penjelajah kembali dengan isi kapal yang mengasyikan," tutur Taylor, "tetapi kisah-kisah yang mereka katakan (tentang wilayah baru) sangat membingungkan. Tidak ada ketetapan pasti bagaimana bentuk bumi kala itu karena segalanya memungkinkan." Maka, di tengah rasa penasaran yang tinggi tentang dunia, kisah-kisah lebay itu menyadarkan betapa manusia membutuhkan satu pusat informasi akurat tentang bumi.
Peta jawabannya.
Tatkala pertama kali muncul ke dunia, peta lebih menyerupai karya seni alih-alih sumber informasi kewilayahan. Mappa di Mundi tercatat sebagai peta pertama di dunia, yang dibuat empat ribu tahun lalu dan berisi gambar wilayah bernama Lembah Valcamonica di Italia. Garis-garis di dalamnya tak beraturan, lengkap dengan gambar binatang, belati, dan matahari. Konon, Mappa di Mundi dibuat untuk ritual, bukan menjadi petunjuk lokasi.
Baru seabad kemudian, peta akhirnya bertransformasi menjadi bentuk yang lebih menjanjikan, yakni dengan lahirnya peta T-O. Dalam peta T-O, bumi digambarkan hanya diisi tiga benua, yakni Asia yang berada di Utara (ujung huruf T), Eropa di sebelah Barat, dan Afrika di bagian Timur. Samudera mengelilingi tiga benua itu.
Masalahnya, karena peta-peta yang lahir pada masa itu dibuat dengan merujuk kisah perjalanan para penjelajah, keakuratan adalah nomorn sekian. Ptolomeus berusaha membuat peta seakurat, meskipun ia tak pernah membuat satu pun peta. Ptolomeus, yang hidup seratus tahun usai kelahiran Yesus, memperbaiki peta dengan caranya sendiri, yakni mengumpulkan koordinat berbagai tempat di dunia.
Tentu, koordinat ala Ptolemeus bukan merujuk pada titik-titik imajiner GPS, melainkan terbangun dengan merujuk pantulan refleksi matahari dan objek langit lainnya dengan bumi. Ia mengaku menentukan "koordinat suatu tempat dengan mengukur sudut dan ketinggian dari surga". Kembali merujuk buku yang ditulis Taylor, kerja mencatat koordinat berbagai tempat di bumi oleh Ptolemeus bisa dilakukan berkat kejeniusannya di bidang matematika--apalagi ia sangat yakin bahwa bumi berbentuk bulat. Didukung dengan statusnya sebagai pustakawan perpustakaan Alexandria yang agung itu, Ptolemeus memperoleh banyak informasi dari para penjelajah dan cendekiawan.
Buku Ptolomeus, Geographia, berhasil merangkum delapan ribu nama tempat--termasuk sungai, pegunungan, hingga semenanjung--lengkap dengan koordinatnya. Namun, meskipun dianggap sebagai catatan terakurat pada zamannya, terdapat pula kesalahan fakta geografis. Ptolomeus, misalnya, memasukkan "benua besar di sebelah Utara" agar bumi terlihat seimbang terhadap porosnya.
Usai Geographia terbit di sekitar abad ke-2 masehi, para kartografer (pembuat peta) menjadikannya sebagai patokan menciptakan, termasuk sebagai rujukan utama pada peta yang dibawa Columbus menemukan "India."
Karena bumi bulat, rujukan seakurat Geographia tak mudah ditranslasikan dalam bentuk kertas dua dimensi oleh para kartografer. Mereka terpaksa harus 'maklum' membuat peta sebuah wilayah yang di satu sisi melebar dan mengkerut di sisi lainnya (kini, konsep peta ini disebut Plate Carree projection). Di Cina, misalnya, pejabat pemerintah bernama Phei Hsui membuat peta untuk Kekaisaran Chin hanya dengan merepresentasikan bumi yang bulat dengan kotak persegi panjang. Ia mengerjakannya seperti, tulis Taylor, "menebarkan jaring di atas bumi". Pada abad ke-8, cendekiawan Muslim di Arab memanfaatkan Geographia untuk membuat peta diplomatik yang menghubungkan dunia Arab dengan Cina. Absurdnya, peta tersebut dibumbui lokasi-lokasi dalam kisah Sinbad.
Namun, dunia Islam kala itu memperbarui peta dengan lebih baik, merepresentasikan wilayah di sekitaran Teluk Arab, Laut Merah, dan Mediterania dengan Gunung Sinai sebagai pusatnya. Peta Arab terbaik yang pernah dibuat dunia Islam saat itu adalah karya Ibnu Haukal, yang ia rilis dalam bukunya berjudul Kitab Jalanan dan Kerajaan (1068). Sementara itu, peta dunia terbaik dari kalangan Muslim dibuat oleh Muhammed al-Idrisi, cendekiawan asal Cordoba yang sukses memetakan dengan apik wilayah dari Afrika hingga Eropa.
"Peta buatan al-Idrisi merupakan peta paling akurat dari peta apapun yang ada di Eropa kala itu," tulis Taylor.
Dengan rujukan yang sama, kalangan kartografer di bawah kekuasaan Sri Paus di Roma menciptakan Mappaemundi, peta dunia dengan Jerusalem sebagai pusatnya.
Peta yang akurat baru muncul pada abad pertengahan. Pada waktu yang sama, Guttenberg berhasil menciptakan mesin cetak hingga membuat permintaan pasar atas peta meningkat drastis. Tak ketinggalan, peta yang akurat pun muncul karena peta-peta (merujuk Ptolemeus) yang digunakan pelaut/penjelajah kala itu sudah dianggap tidak berguna untuk navigasi jarak jauh. Untuk berlayar, selain membawa peta, pelaut/penjelajah harus membawa bagan "portolon" yang mendeskripsikan ciri pesisir yang dituju. Jika mereka hanya merujuk peta, kompas menjadi tidak berguna. Garis lurus di peta tak tepat menggambarkan lengkungan bumi. Tanpa portolon, pelaut/penjelajah mudah tersesat.
Ialah Gerardus Mercator yang berhasil menghadirkan peta akurat kepada dunia. Pada 1538, Marcator merilis peta dunia, yang selain memanfaatkan sebagian data milik Ptolemy, juga menghadirkan teknik baru merefleksikan bumi bulat dalam kertas datar. Teknik ini kemudian dikenal dengan sebutan "Marcator projection".
Karen Vezie, dalam studinya berjudul "Mercator’s Projection: A Comparative Analysis of Rhumb Lines and Great Circles" (2016), menyebut bahwa proyeksi Mercator merupakan proyeksi silinder, dengan asumsi bahwa bumi bulat. Dengan asumsi tersebut, Mercator membuat peta dengan tiga kondisi, yakni arah Utara-Selatan adalah arah vertikal (garis lintang), arah Timur-Barat adalah arah horizontal di mana panjang ekuator wajib dipertahankan (garis bujur), dan semua garis lurus pada peta merupakan garis-garis yang memiliki bantalan konstan. Dengan asumsi ini, bumi yang diproyeksikan silinder akhirnya menghasilkan keadaan di mana semakin ke Utara atau ke Selatan, jarak antar garis lintang meningkat.
Mercator sendiri tidak pernah mengungkap resep di balik keakuratan petanya. Namun, sebagaimana ditulis Marc Vis dalam studi berjudul "History of the Mercator Projection" (2018), ada andil Pedro Nunes di balik keberhasilan Mercator. Nunes, pada 1537, memperkenalkan rhumb line atau loksodrom, yakni jalur antara dua titik di sebuah permukaan bola yang jika ditelusuri arahnya tidak pernah berubah. Jika seseorang terus mengikuti arah kompas secara konstan, ia akan menemukan bahwa garis-garis ini berputar mengelilingi bola dunia menuju kutub. Umumnya, meskipun sesungguhnya tak sama, loksodrom sering dianggap sebagai great circle. (Untuk memahami apa itu great circle, simaklah video Youtube ini. Jika bingung tentang proyeksi Mercator dan ingin lebih bingung, silakan kunjungi link Wolfram Alpha ini).
Dengan menggunakan rumus spherical trigonometry (trigonometri bola), Nunes merangkum tabel loksodrom berbagai titik di dunia. Dengan memanfaatkan tabel ini dandata dari Ptolemeus, Mercator sukses membuat peta yang akurat.
Tentu, maksud akurat di sini lebih merupakan "deal" antara bumi bulat dan kertas persegi panjang datar. Ini yang menjadikan Greenland terasa sangat besar di peta, atau kutub Utara dan Selatan seakan-akan memiliki luas tanpa batas karena Mercator memaklumkan garis lintang meningkat semakin ke arah kutub. Yang perlu diingat, proyeksi Mercator bukan satu-satunya usaha membuat peta seakurat mungkin. Pada 1921, misalnya, lahir proyeksi Winkel-Tripel (yang kelak digunakan National Geographic).
Lalu, ada pula proyeksi Gall-Peters pada 1973. Pada 1999, lahir proyeksi AuthaGraph oleh seorang Jepang bernama Hajime Narukawa. Terakhir, pada 2021 ini, J. Richard Gott, astrofisikawan dari Princeton University, menyarankan peta "double-sided circle," alias peta yang dibuat dua bagian, yang satu merepresentasikan Belahan Bumi Utara dan satunya lagi merepresentasikan Belahan Bumi Selatan.
Editor: Windu Jusuf