tirto.id - Rencana pemerintah untuk mewajibkan penggunaan sistem identifikasi otomatis atau Automatic Identification System (AIS) pada seluruh kapal yang berlayar di perairan Indonesia ditolak kalangan nelayan dan asosiasi pelayaran. Sebab, mandatori penggunaan alat pelacak tersebut bakal memberatkan kapal-kapal kecil yang berukuran 35-300 gross ton (GT).
Apalagi, sanksi yang dikenakan kepada kapal yang tak mengenakan AIS cukup berat, mulai dari penundaan surat izin berlayar hingga mencabut sertifikat pengukuhan kapten kapal.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia [PDF].
Sekretaris Umum Indonesia National Shipowners Association (INSA), Budi Halim meminta penerapan Permenhub tersebut ditangguhkan sampai persiapan pemasangan AIS di Indonesia benar-benar matang.
Budi beralasan, regulasi tersebut cacat karena rujukan yang digunakan sudah tidak berlaku atau invalid. Dalam Permenhub 7/2019, pemerintah mencantumkan International Maritime Organization (IMO) Resolution A 1052 sebagai dasar pembuatan kebijakan.
Padahal, menurut Budi, beleid yang dirujuk tersebut sudah diganti menjadi IMO Resolution A 1179 yaitu item 30.
"Isinya saja sudah lain. Karena A119 itu mengenai Tokyo MoU. Itu mengatur Port State Control (PSC). Jadi ini mengenai rujukan. Mohon nanti kalau bisa dikoreksi aturannya," kata Budi, Selasa (6/7/2019).
Jika ketentuan tersebut mengacu kepada konvensi IMO, menurut Budi, pemerintah seharusnya juga memberikan opsi kepada kapal-kapal kecil non-passengger untuk menggunakan alat identifikasi kapal dalam bentuk lain seperti radio manual.
Sebab jika dipaksakan, lanjut dia, maka ekses buruk dari penerapan aturan tersebut adalah penangkapan kapal sewenang-wenang oleh petugas yang ada di wilayah perairan.
Bahkan, sebelum aturan itu resmi diberlakukan, kapal milik Budi pernah ditahan oleh angkatan laut gara-gara alat AIS di kapalnya tak bisa bekerja karena dalam perbaikan. Ia bercerita hal itu terjadi saat kapal miliknya hendak berlayar di perairan Surabaya pada akhir Juli lalu.
"Kami harapkan dalam aturan itu sendiri yang boleh memeriksa AIS atau menentukan sanksi terhadap AIS tolong ditentukan juga. Mungkin KSOP atau Direktur KPLP. Jangan semua institusi laut. Itu sangat merugikan kita dan tidak sesuai," imbuhya.
Menurut Budi, jika kapal tak bisa melaut karena sistem AIS tidak berfungsi, maka kerugian yang diderita justru lebih besar. "Kapal itu kalau berhenti cost-nya itu empat kali lipat. Kami tidak dapat income tapi harus bayar pelabuhan, uang makan dan sebagainya."
Memberatkan Nelayan Tradisional
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati meminta kapal-kapal nelayan tradisional dikecualikan dari aturan yang bakal diberlakukan mulai 20 Agustus mendatang.
Susan beralasan kapal-kapal tersebut memiliki jarak jelajah yang tidak terlalu luas meskipun berkapasitas mesin 35 GT. Jika kewajiban memasang AIS itu tetap diberlakukan, maka nelayan tradisional tak ubahnya seperti kapal ilegal.
Menurut Susan, sebagian besar kapal-kapal nelayan tradisional menggunakan peralatan seadanya, termasuk dalam hal sistem pemancar radio yang berfungsi untuk menyampaikan data terkait informasi kapal. Bahkan untuk AIS tipe-B yang disebut terjangkau pun belum tentu bisa dibeli oleh para nelayan.
"Yang dibutuhkan nelayan sekarang ini apa sih? Memang enggak ada yang lebih penting? Kami sampai sekarang enggak tahu maksud pemerintah ini apa. Apakah supaya ada pengadaan barang? Kalau dibebankan ke nelayan jelas lah, memberatkan," kata Susan saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (6/8/2019).
Harga alat AIS yang dijual di Tokepedia dan Bukalapak, untuk Kelas B berada di kisaran Rp10 juta. Sementara dalam situs marinetraffic.com, AIS jenis Em-Trak CLASS B AIS B350 dijual dengan harga €499.00 atau sekitar Rp7.950.055,25 (1 Euro= Rp15.931), belum termasuk ongkos kirim dan pajak.
Tetap Diberlakukan
Meski mendapat penolakan dari pelbagai pihak, Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Basar Antonius memastikan bahwa kebijakan penggunaan AIS tetap diberlakukan.
Basar mengatakan tak ada alasan bagi kapal-kapal yang berlayar di perairan Indonesia untuk tidak memasang AIS di kapal mereka. Ia mengklaim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah membuat peralatan semacam AIS dengan harga yang lebih terjangkau.
"BPPT sudah membangun peralatan semacam ini yang harganya ekonomis dan sudah uji sertifikasi di BPKP. Sehingga nanti mungkin pabrikan yang akan memproses, memperbanyak hasil dari BPPT," ujar Basar dalam diskusi bertajuk 'Menilik Kesiapan Penerapan AIS' yang digelar Forwahub di Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2019).
Menurut Basar, penggunaan alat pelacak AIS bagi seluruh kapal yang berlayar di perairan Indonesia penting mengingat pelanggaran yang terjadi di lapangan banyak melibatkan kapal-kapal kecil yang tidak termonitor.
Basar mencontohkan pembuangan limbah di Selat Malaka yang berdampak ke perairan Indonesia. Pemerintah, kata dia, juga tak khawatir kewajiban itu akan bertabrakan dengan aturan internasional.
Hal itu lantaran Indonesia tengah mengajukan proposal skema pemisahan alur (TSS) Selat Sunda dan Selat Lombok ke IMO. Basar menilai kendala untuk meloloskan proposal tersebut adalah banyaknya kapal nelayan yang masuk dalam standar kapal non-konvensional (NCVS) di dua Selat tersebut.
Sementara terkait kekhawatiran makin maraknya pembajakan kapal dengan diwajibkannya aktivasi AIS, menurut Basar, kurang beralasan. Sebab, kapal-kapal tersebut nantinya bisa mematikan sistem AIS di sejumlah wilayah yang memang rawan pembajakan.
"Pada titik tertentu pada tempat yang membahayakan kapal, no problem matikan. Jadi di atas 30 GT itu wajib hukumnya menyalakan AIS dan memasang AIS. Bagi kapal-kapal konvensi wajib menyampaikan ini," pungkasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan