tirto.id - Britney Spears kembali jadi sorotan media. Bukan karena mengeluarkan album, bukan pula karena drama. Di tengah wabah COVID-19, Spears terlahir kembali sebagai “kamerad”. Setidaknya demikianlah julukan barunya yang disematkan oleh media-media sayap kiri berbahasa Inggris mulai dari The Nation, The Guardian, hingga Jacobin.
Pada 24 Maret 2020, akun Instagram @Britneyspears mengunggah kutipan seniman kiri asal Australia bernama Mimi Zhu:
Dari frasa “redistribute wealth” (redistribusi kekayaan) dan “strike” (mogok) itulah berkembang panggilan “Kamerad Britney”. Tak hanya itu, caption unggahan Spears juga dibubuhi tiga emoji mawar merah, sebuah simbol sosialisme demokratik yang kini sering dipakai oleh pendukung Bernie Sanders di media sosial.
Jacobin, majalah sosialis terkemuka Amerika Serikat, menulis “Spears dengan jelas mengakui besarnya masalah yang dihadapi planet ini, dan bahwa kekuatan terbesar kita bertumpu pada penarikan buruh [dari tempat kerja di tengah pandemi] … Mengirimkannya kartu anggota Democratic Socialists of America mungkin adalah langkah masuk akal berikutnya.”
Guardiannampak terkejut dengan perubahan sikap politik Spears. Sebelumnya, Spears dikenal sebagai simpatisan Presiden George W. Bush dan terdaftar sebagai anggota Partai Republikan cabang negara bagian Louisiana. Pada September 2003, ketika barisan protes menolak invasi AS ke Iraq tumpah di jalan, Spears mengeluarkan penyataan kontroversial bahwa ia mendukung keputusan apapun yang diambil oleh Bush.
Majalah The Nation menurunkan satu artikel bertajuk “Free Comrade Britney” seolah biduanita yang melejit dengan nomor “Hit Me Baby One More Time” itu adalah tahanan politik. Tapi bukan pernyataan Spears yang menjadi fokus The Nation.
Sara Luterman, sang penulis, menyoroti fakta bahwa Britney sudah lama menjadi subjek perwalian (conservatorship) akibat kondisi mental yang tidak stabil. Sebagai subjek perwalian, Britney tidak berhak mengatur keuangannya sendiri.
Dengan kata lain: ia dijauhkan dari upah dan hasil kerja yang telah ia lakoni selama bertahun-tahun. Orangtua Britney—yang menjadi wali—bahkan disebut-sebut telah mengeksploitasi anaknya demi kepentingan pribadi.
Tampaknya perubahan sikap politik Spears memang mulai terjadi di bawah perwalian itu.
Serambi Moskow Amerikana?
Tak hanya di Indonesia, di banyak belahan dunia hari ini, pesohor berperan sebagai penghimpun dukungan massa kala pemilu. Tapi, ada kalanya komitmen politik mereka melampaui pemilu. Di Perancis sebelum pendudukan Jerman pada 1940, misalnya, aktor dan pekerja film menjadi pemain kunci dalam menjalankan tugas-tugas propaganda sosialis pemerintahan Front populaire yang dikepalai Leon Blum.
Pasca-Perang Dunia II, Partai Komunis Perancis (PCF) dielu-elukan sebagai parti des 75,000 fusilles (“partai 75 ribu martir”) karena ribuan kadernya gugur melawan serdadu-serdadu fasis. Tak heran, di tengah ketegangan Perang Dingin, pasangan aktor dan aktris Yves Montand dan Simone Signoret tergerak menjadi simpatisan PCF.
Dunia selebritas Amerika pun tidak pernah lepas dari politik, meski sampai beberapa tahun belakangan ini dukungan para pesohor umumnya tertuju pada dua partai yang itu-itu saja: Republikan atau Demokrat.
Aktor Vince Vaughn dikenal sebagai penentang kontrol senjata api. Ia mencoblos calon-calon republikan dalam tiap pemilihan. Arnold Schwazenegger, bekas atlet binaraga dan pemeran Terminator, adalah mantan Gubernur negara Bagian California (2003-2011) mewakili Republikan. Clint Eastwood boleh saja membenci kebijakan-kebijakan Trump, namun ia tidak pernah membuang kartu anggota anggota partai Republikan.
Dukungan untuk kubu Demokrat juga diisi sederet selebritas. Beyonce, Bruce Springsteen, Katy Perry, dan Merryl Streep adalah pendukung capres Demokrat 2016 Hillary Clinton. Sean Penn, Tim Robbins, dan George Clooney telah dikenal lama sebagai loyalis Demokrat.
Tapi, peta politik Hollywood mulai berubah beberapa tahun terakhir. Masyarakat AS menyaksikan pergeseran nilai sepanjang dekade 2010-an. Pada 2011, anak-anak muda turun ke jalan dengan bendera Occupy Wall Street, memprotes ketamakan korporasi dan menelurkan slogan “Kamilah 99%”. Pada 2012, perkawinan sesama jenis dilegalkan. #MeToo sukses menyeret Harvey Weinstein ke penjara. Terakhir, dalam pemilu 2016, politikus sosialis Bernie Sanders hampir mengalahkan Hillary Clinton untuk bersaing dengan Trump.
Kini, seiring populernya gerakan-gerakan di sekitar kampanye Sanders, muncul pula kubu kiri yang berusaha melampaui liberalisme lapuk ala Oprah Winfrey. Danny Glover, John Cusack, Susan Sarandon Chloe Sevigny adalah beberapa nama yang ikut serta dalam barisan tersebut. Belum lagi musisi alternatif seperti Vampire Weekend, Ani DiFranco, Against Me, Bon Iver, dan seterusnya.
Beberapa dari nama tersebut telah dikenal sebagai aktivis. Danny Glover adalah aktivis hak-hak sipil era 1960-an, menuding Bush sebagai “rasis”, mengkritik kebijakan luar negeri AS, dan berteman dekat dengan presiden Venezuela, almarhum Hugo Chavez. Demikian pula Cusack—pendukung Palestina dan aksi-aksi Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) terhadap Israel, dan aktif mempromosikan sosialisme demokratik.
Liberalisme Hollywood tampaknya sedang bergerak ke kiri mengikuti politik akar rumput arus utama belakangan ini. Fenomena ini bukan sesuatu yang baru—setidaknya dalam kurun waktu seratus tahun. Amerika Serikat, jantung kapitalis dunia dan benteng anti-komunis era Perang Dingin, pernah menjadi rumah bagi aktivis kiri, sosialis, komunis, dan anarkis.
Hari Buruh Sedunia dirayakan pada 1 Mei untuk mengenang perjuangan menuntut delapan jam kerja yang berakhir dengan Kerusuhan Haymarket 1886. Jauh sebelum itu, dalam Perang Sipil AS (1861-1865), gerakan buruh radikal dan kalangan émigré Jerman menjadi aktor penting dalam perjuangan penghapusan perbudakan.
Dunia musik Amerika mengenal Woody Guthrie, penyanyi folk yang identik dengan stiker “This Machine Kills Fascists” di gitarnya. Lagu-lagu Guthrie mencerca orang-orang kaya, merayakan kaum tani dan heroisme martir gerakan buruh seperti Nicola Sacco dan Bartolomeo Vanzetti. Berkarya di era Depresi Besar, lagu-lagu Woody Guthrie mempopulerkan radikalisme pekerja, mendorong solidaritas kaum kere, dan mengajak buruh untuk percaya pada kekuatan kolektifnya.
Seni, tulis Guthrie dalam Pastures of Plenty (1992), "mestinya tidak pasifis atau bersifat mistis, alih-alih mendorong rakyat ke medan tempur dengan pengetahuan terang-benderang tentang siapa musuh yang sebenarnya.”
Nama Guthrie kembali disebut-sebut sejak Donald Trump tinggal di Gedung Putih. Pasalnya, Guthrie sempat tinggal di apartemen milik Fred Trump, bapak daripada troll-in-chief berambut oranye itu. Sebagaimana dicatat Will Kaufman untuk The Conversation, Guthrie mengutuk Fred sebagai “rasis” dalam lagu “Old Man Trump” karena tak mengizinkan orang-orang kulit hitam menempati apartemen miliknya.
Paul Robeson, aktor dan penyanyi kulit hitam legendaris, adalah simpatisan Partai Komunis Amerika Serikat (CPUSA). Ia dikenal sebagai aktivis anti-fasis dan pembela Uni Soviet di Amerika Serikat yang beberapa kali diundang ke Negeri Beruang Merah. Kariernya nyaris tamat akibat diburu oleh House Committee on Un-American Activities (HUAC) terkait dukungannya terhadap Uni Soviet. Dimotori senator sayap kanan Joseph McCarthy, HUAC membersihkan Hollywood—dan seluruh birokrasi AS—dari orang-orang yang dianggap kiri.
Bukan cuma Robeson yang jadi korban kebijakan anti-komunis AS. Melejitnya Joseph McCarthy adalah puncak dari red scare (paranoia terhadap komunis) di negeri Paman Sam sejak revolusi Rusia 1917. Banyak aktor, sutradara, dan penulis skenario yang tidak bisa lagi bekerja di Hollywood lantaran diadili oleh McCarthy—salah satu yang paling terkenal dan diangkat ke layar lebar adalah Dalton Trumbo, anggota Partai Komunis AS, dan penulis naskah Spartacus (1950), Roman Holiday (1953), dan Exodus (1960).
Meski demikian, Hollywood sebetulnya tak pernah menjadi sarang komunis. Memang benar Hollywood pernah mengelu-elukan Uni Soviet. Namun, tulis sejarawan Hollywood Bernard F. Dick dalam The Screen Is Red: Hollywood, Communism, and the Cold War (2016), itu terjadi ketika AS beraliansi dengan Soviet selama Perang Dunia II. Teori konspirasi bahwa banyak pesohor Hollywood adalah pendukung komunisme baru muncul setelah Perdana Menteri Inggris mengutuk Soviet dalam pidato "Tirai Besi" pada 1946.
Pada awal 1960-an, beberapa tahun setelah Joseph McCarthy meninggal dan aktivitas HUAC ditentang habis oleh publik, buruh, kaum kulit berwarna, dan perempuan mulai kembali turun ke jalan. Partai Komunis AS adalah cerita masa lalu. Episode radikalisme 1960-an di AS dibuka dengan Maklumat Port Huron pada 1962 yang merumuskan visi besar demokrasi radikal untuk masyarakat AS. Lalu lahirlah Students for Democratic Society dan gerakan Kiri Baru. Mereka merayakan revolusi Kuba. Mereka memuja Ho Chi Minh. Mereka menyimpan Kutipan dari Ketua Mao Zedong di saku.
Akhirnya, petualangan Washington di Vietnam memperuncing segala kontradiksi sosial itu. Konservatisme ala 1950-an dibuang ke tong sampah. Konsep keluarga batih dipertanyakan. Kaum buruh menginjak-injak dan membakar kartu wajib militer. Jurnalis Tom Wolfe menelurkan istilah “radical chic” untuk mengacu pada para pesohor yang bersimpati pada gerakan kiri—salah satunya Leonard Bernstein, komposer dan konduktor yang beberapa kali mengadakan penggalanan dana untuk Partai Black Panthers, sebuah kelompok politik kulit hitam berhaluan Marxis-Leninis yang sangat berpengaruh pada zamannya.
Dalam suasana itu pula lahir “Hanoi Jane”, sebutan untuk aktris cum aktivis Jane Fonda, salah seorang ikon anti-perang dari Hollywood. Sebagaimana diberitakan Time (15/10/2019), julukan itu bermula dengan kecaman Fonda atas kebrutalan pasukan AS di sebuah siaran radio saat ia melawat ke Vietnam pada 1972.
Sutradara radikal asal Perancis Jean-Luc Godard dan Jean-Pierre Gorin membuat film-esai yang berangkat dari foto pemain film Barefoot In the Park (1967) dan Barbarella (1968) itu saat melancong ke Vietnam. Satu film lagi, masih dari tahun 1972, ia buat bersama Jane Fonda. Berkisah tentang pemogokan buruh pabrik sosis, film itu berjudul Tout va bien. Setahun kemudian, Fonda menikah dengan Tom Hayden, perumus utama Maklumat Port Huron. Pasangan itu mendirikan Campaign for Economic Democracy, sebuah organisasi penyokong kandidat-kandidat progresif. Fonda menyumbangkan keuntungan dari video-video aerobik yang dia buat untuk organisasi ini.
Desember 2019 silam, Fonda kembali turun ke jalan dan ditahan dalam protes perubahan iklim.
Lama setelah gelombang red scare, hancur-leburnya gerakan buruh di bawah Reagan sejak 1981, dan menghebatnya agitasi-agitasi neo-fasis, popularitas sosialisme memang sedang naik di AS, khususnya untuk kelompok usia milenial dan generasi z, sebagaimana ditunjukkan oleh poling YouGov 2019 silam.
Dua generasi ini berbeda dari orangtua mereka yang mengalami masa muda ketika AS sedang di puncak kemakmuran. Dua generasi ini tak punya mimpi bisa membeli rumah ketika mereka dibebani oleh utang kuliah (student loan). Dua generasi ini tumbuh di tengah politik ketakutan pasca-teror 9/11, Perang Irak, dan krisis ekonomi 2008. Dua generasi ini mencari makan dalam rezim kerja fleksibel yang tak menjamin kelayakan hidup dan tak kunjung menaikkan upah minimum selama bertahun-tahun.
Yang juga tak kalah penting, mereka besar, belajar, dan mulai bekerja ketika Barack Obama sukses mengeluarkan AS dari krisis ekonomi 2008 namun gagal menghentikan laju ketimpangan sosial.
Makna sosialisme di AS hari ini bisa sangat plastis, mengingat distorsi sengaja yang dilakukan pemerintah dan kelompok-kelompok sayap kanan selama bertahun-tahun. Namun, konotasinya lebih positif dari yang selama ini didefinisikan kaum kanan.
Sebagian mengamini sosialisme sebagai perebutan dan kolektivisasi alat-alat produksi kapitalis. Sebagian lagi memahaminya sebagai paket kebijakan populis seperti jaminan kesehatan, pendidikan gratis, dan perlindungan bagi buruh. Namun secara umum, mereka yang menyambut sosialisme bertumpu pada satu pokok: kapitalisme dalam bentuknya hari ini bukanlah sistem yang adil dan berkelanjutan bagi manusia dan alam. Sosialisme adalah tatanan masyarakat paling realistis jika Anda ingin kehidupan di planet Bumi bertahan.
Lebih dari 100 tahun silam Werner Sombart menerbitkan buku berjudul Why There Is No Socialism in the United States?. Partai Sosialis dan gerakan buruh di AS, demikian argumen utama sosiolog cum ekonom Jerman ini, gagal memperbesar pengaruh karena buruh-buruh AS lebih makmur dibanding rekan-rekannya di Eropa. Buruh tak terpesona dengan utopia sosialis dan bahkan cenderung konservatif.
Bertahun-tahun kemudian, buku ini menjadi kitab suci bagi para pandit yang meyakini “eksepsionalisme” AS—seolah kapitalisme Paman Sam memiliki kualitas supranatural yang bisa membuatnya terus lolos dari revolusi sosialis.
Tapi, Why There Is No Socialism in the United States? diterbitkan pada 1906. Saat itu tak seorang pun membayangkan pecahnya Perang Dunia I yang akhirnya memicu pergolakan sosial di di seluruh dunia. Revolusi proletar adalah prospek yang jauh, bahkan bagi gerakan sosialis yang paling militan pun di Eropa. Sombart juga tidak mengantisipasi Depresi Besar yang merontokkan ekonomi AS.
Tentu ada masanya Amerika menjadi sangat makmur, khususnya di bawah konsensus negara kesejaherataan (welfare state) yang dirintis Franklin D. Roosevelt. Tapi, New Deal Roosevelt pun akan gagal jika tidak didukung oleh gerakan buruh yang terbakar militansinya sejak Depresi Besar.
Bagi kaum kiri Amerika hari ini, popularitas sosialisme pasca-pencalonan Sanders pada 2016 dan krisis kapitalisme di tengah wabah COVID-19 telah membuka jalan bagi penguatan kesadaran kelas pekerja.
Setidaknya, seorang tokoh publik telah menyuarakan beberapa pokok politik sosialis. Tak hanya itu, ia menggaungkan solidaritas dengan cara berterimakasih kepada para pekerja yang tetap berada di garda depan meski kematian mengancam. Bagi mereka, working from home adalah kemewahan.
“Terima kasih penjaga toko sayur; Terima kasih tenaga medis; Terima kasih pekerja restoran; Terima kasih supir truk; Terima kasih para tetangga yang baik; Terima kasih buruh gudang; Terima kasih pekerja kebersihan; Terima kasih petani”, kata TovarischBritney beberapa hari silam.
Editor: Eddward S Kennedy