tirto.id - Letak Jalan Kalipah Apo tak jauh dari Alun-alun Kota Bandung. Ruas jalan ini terkenal sebagai sentra niaga peralatan rumah tangga. Selain itu, ada juga sebuah tempat kuliner populer, yakni Lotek Kalipah Apo yang berdiri sejak 1953.
Nama asli Kalipah Apo adalah Muhammad Su’eb. Ia merupakan penghulu Bandung yang popularitasnya hanya sedikit di bawah Penghulu Haji Hasan Mustapa, yang juga menjadi nama jalan yang memanjang dari ujung jembatan Pasupati sampai terminal Cicaheum.
Makam Muhammad Su’eb terletak di Jalan Karanganyar, Kota Bandung, tepatnya di kompleks permakaman para bupati Bandung, yang juga sekompleks dengan makam pahlawan nasional, Raden Dewi Sartika.
Ibnu Qoyim Isma’il dalam Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial (1997) menerangkan, jabatan pemuka agama Islam pada masa kolonial ada beberapa jenjang, di antaranya guru ngaji, imam, khalifah, penghulu, dan penghulu kepala. Sebutan “kalipah” muncul saat Muhammad Su’eb menjabat sebagai “khalifah”.
Selain sebagai pemuka agama yang bekerja pada pemerintah kolonial, Kalipah Apo juga terkenal sebagai penulis guguritan atau puisi yang terikat oleh aturan pupuh—bentuk puisi tradisional Jawa yang memiliki jumlah suku kata dan rima tertentu pada setiap barisnya.
Menurut Yus Rusyana dan Ami Raksanagara dalam Puisi Guguritan Sunda (1980), guguritan sudah ditulis sejak abad ke-19. Guguritan karya Kalipah Apo berjudul “Guguritan Laut Kidul” yang berkisah tentang keindahan alam dan kerinduan terhadap kejayaan Sunda di masa lalu.
Guguritan ini seperti diterangkan dalam Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya (2000) dimuat pertama kali dalam Volksalmanak Sunda 1921 dengan sebuah catatan bertuliskan “kintunan Kalipah Apo” yang artinya “kiriman Kalipah Apo”, sehingga dianggap sebagai buah tangannya.
A. Suryana Sudrajat dalam Tapak-tapak Pejuang: Dari Reformis ke Revisionis (2006) bahkan menyebut Kalipah Apo sebagai juru tembang Sunda terbaik di masanya.
Korelasi antara seorang pemuka agama dengan tembang Sunda kiranya tak mengherankan. Meski guguritan yang dibuatnya tak tersurat nasihat seperti misalnya pada guguritan karya Haji Hasan Mustapa dan Muhammad Musa, tapi tembang Sunda memang kerap dijadikan sebagai media dakwah.
Pada sebuah karya Mang Koko sebagai seniman generasi setelah para penghulu tersebut, puji-pujian terhadap Allah dan Nabi Muhammad bahkan menjadi tema utama lirik tembang Sunda. Artinya, nilai-nilai Islam hidup dalam kesenian tersebut.
Penasihat Urusan Pribumi Menikahi Putrinya
Nama Snouk Hurgronje sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda, tepatnya penasihat urusan pribumi, amat populer dalam sejarah “penjinakan” Islam di Nusantara. Demi menjalankan misinya, ia sempat mengganti nama menjadi Haji Abdul Ghaffar.
Ia menjadi kunci sukses pemerintah kolonial Belanda dalam menaklukkan Aceh. Di Tatar Pasundan, Snouk Hurgronje sempat menikah dua kali. Pertama dengan Sangkana, putri penghulu besar Ciamis, Raden Haji Muhammad Ta’ib. Kedua dengan Siti Sadijah, putri Kalipah Apo.
Dari pernikahannya dengan Sangkana, ia memiliki empat orang anak. Istrinya itu meninggal saat melahirkan anaknya yang kelima pada 1896. Ia menikahi putri Kalipah Apo pada 1898 di Bandung saat Siti Sadijah berusia 13 tahun. Dari pernikahannya itu ia mempunyai seorang anak bernama Raden Joesoef.
Menurut A Suryana Sudrajat dalam Tapak-tapak Pejuang: Dari Reformis ke Revisionis (2006), pernikahannya dengan Siti Sadijah diatur oleh Haji Hasan Mustapa sebagai atasan Kalipah Apo.
Ketika van Koningsveld, penulis buku Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (1989) menyatakan bahwa Hurgronje pura-pura masuk Islam, pernikahannya dengan dua putri penghulu banyak dipertanyakan.
Koningsveld menyebut kedua pernikahan tersebut sebagai upaya Hurgronje “memperoleh kedudukan sebagai orang dalam dalam elite feodal dan keagamaan Jawa Barat”.
Sampai kepulangannya ke negeri Belanda, bahkan sampai kematiannya, seperti dikutip A Suryana Sudrajat dari Koningsveld, Hurgronje tidak mengakui kedua istri dan anak-anaknya di depan hukum perdata Nederland. Bahkan pada 1910, ia menikah lagi dengan perempuan Belanda, Ida Maria, putri Dr. A.J. Oort, pensiunan pendeta liberal di Zutphen.
“Akhirnya dia berbuat sesuai dengan etika pergundikan kolonial, antara seorang Eropa dan pengurus rumah tangga atau nyai-nya,” kata Koningsveld seperti dikutip A Suryana Sudrajat dalam Tapak-tapak Pejuang: Dari Reformis ke Revisionis (2006).
Menurut Hamid Algadri dalam C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab (1984), meski Hurgronje oleh Koningsveld dianggap sebagai “pura-pura Islam”, tapi keabsahan pernikahannya dengan putri para penghulu di Jawa Barat tidak dapat diganggu gugat.
“Di Parahiangan misalnya sudah lazim, bahwa pernikahan dimulai dengan mengucapkan kalimah syahadat oleh pengantin pria, syarat utama untuk seorang dapat diakui sebagai Muslim dan mungkin juga untuk menyelapkan segala keraguan tentang agama sang pengantin pria,” tulisnya.
Algadri menambahkan, tak mungkin seorang penghulu menikahkan putrinya dengan seorang lelaki yang tak diyakini keislamannya, baik secara lahiriah maupun rohaniah.
Raden Joesoef, putra Hurgronje dari Siti Sadijah, mengatakan kepada Koningsveld bahwa ibunya sangat yakin bahwa suaminya adalah seorang beragama Islam.
“Ibunya mengatakan [kepada Raden Joesoef] bahwa Snouck [Hurgronje] seorang muslimin yang taat, yang rajin sembahyang, berpuasa, dan juga telah disunat,” imbuhnya.
Di titik ini, Kalipah Apo nyatanya tak hanya nama sebuah ruas jalan di Kota Bandung. Ia juga menjadi salah satu sosok pemuka agama yang terlibat langsung dalam sejarah “hubungan mesra” antara Belanda dengan Islam di Nusantara.
Tentu kontroversi yang belakangan mengiringi dalam pernikahan putrinya dengan Snouck Hurgronje tak dapat dihindarkan. Atau meminjam kata-kata Asahan Alham—eksil yang menetap di Belanda: “Sejarah sudah tidak bisa dibetulkan dari belakang”.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti