tirto.id - Inggris datang ke turnamen Piala Dunia 1950 dengan kepala tegak. Sebagai moyangnya sepakbola, tim berjuluk The Three Lion ini memang memiliki derajat tinggi di mata tim-tim dunia.
Namun, bukan karena itu saja Inggris dipandang tinggi. Banyak yang percaya Inggris adalah kesebelasan terkuat. Karena itu tak sedikit yang menilai ketidakhadiran Inggris di tiga gelaran Piala Dunia pertama membuat turnamen akbar bikinan FIFA tersebut terasa kurang afdol. Kemenangan 3-2 Inggris atas juara dunia Italia dalam pertandingan yang kemudian disebut “Battle of Highbury” pada November 1934 semakin menegaskan itu.
Maka tak heran jika kemunculan perdana Inggris di Piala Dunia 1950 yang digelar di Brazil ini membuat banyak orang antusias. Apalagi Inggris datang dengan rekor luar biasa. Dari tiga puluh tiga pertandingan yang sudah dijalani semenjak berakhirnya Perang Dunia II, dua puluh tiga laga di antaranya dimenangkan Inggris. Sebagai tambahan, Inggris diperkuat pula oleh Stanley Matthews, yang saat itu dianggap sebagai salah satu pemain terbaik dunia.
“Berkat catatan impresif-nya tersebut Inggris dijuluki Raja Eropa,” tulis Clemente Angelo Lisi dalam A History of the World Cup: 1930-2014 (2015:52).
Mimpi Buruk Inggris
Namun, Piala Dunia 1950 rupanya tak ditakdirkan menjadi ajang unjuk superioritas Inggris, melainkan menjadi awal menyusutnya reputasi Inggris sebagai kesebelasan terkuat dan kiblat sepakbola dunia. Reputasi itu akan hancur dua tahun kemudian saat Inggris dikalahkan “Golden Team” Hongaria 3-6 di Wembley. Tapi semuanya bermula di sini.
Bersama Amerika Serikat (AS), Chile, dan Spanyol, Inggris menghuni Grup 2 dan sudah sejak di pertandingan pertama melawan Chile, Inggris tak bermain meyakinkan. Kendati Inggris akhirnya menang 2-0, hasil itu didapat dengan susah payah.
Mimpi buruk bagi The Three Lion baru datang di pertandingan kedua dalam diri seorang Joe Gaetjens saat melawan AS. Tentu saja, awalnya tak ada yang menyangka Inggris bisa terjungkal oleh tim sekelas AS.
“Semua pemain Inggris berstatus profesional,” catat BBC, “sementara Amerika dihuni pesepakbola paruh-waktu—satu orang berprofesi sebagai guru, yang satu lagi sopir mobil jenazah, dan Gaetjens mahasiswa akuntansi.”
Dalam pertandingan itu Inggris menguasai jalannya laga. Di dua belas menit awal saja Inggris sudah membubuhkan lima tembakan ke gawang. Beberapa kali tembakan itu membentur mistar gawang. Kemenangan Inggris seperti tinggal menunggu waktu.
Akan tetapi, delapan menit menjelang turun minum sesuatu yang tak terduga terjadi. Walter Bahr, yang ikut memperkuat skuat Olimpiade AS pada 1948, melakukan tembakan ke gawang dari jarak 23 meter. Tembakan setinggi bahu itu sebenarnya tak berbahaya dan Bert William, kiper asal Wolverhamptom, tampak bersiap hendak menangkap bola tersebut. Namun, di detik akhir, Joe Gaetjens melakukan sundulan sambil menjatuhkan diri. Gol itu menjadi satu-satunya yang tercipta dalam laga tersebut.
Kendati Inggris menuai kekalahan lagi di laga terakhir babak grup melawan Spanyol, namun kekalahan dari AS lah yang paling diingat publik Inggris.
“Berita yang sampai ke London awalnya tidak dipercaya. Beberapa editor surat kabar [Inggris] mulanya mengira bahwa Inggris menang 10-1 sewaktu skor pertandingan dikirim lewat kawat.” (hlm. 53).
Sebaliknya, kemenangan bersejarah AS hampir tak meninggalkan jejak apapun dalam ingatan publik negerinya. Maklum, olahraga sepakbola memang tak begitu populer di negeri Paman Sam itu. Bahkan yang pergi meliput kiprah tim AS di Piala Dunia Brazil hanya satu wartawan, Dent McSkimming dari St. Louis Post-Dispatch. Itu pun, merujuk Alexander Wolff dalam artikelnya berjudul “The Hero Who Vanished” di Sports Ilustrated, dilakukan McSkimming dengan merogoh koceknya sendiri.
Kondisi ini berpengaruh pula pada Joe Gaetjens, pencetak gol sekaligus penentu kemenangan AS, yang hampir dilupakan sejarah.
Menjadi Korban Politik
Pemain bernama lengkap Joseph Nicolas Gaetjens ini lahir pada 19 Maret 1924 di Port-au-Prince, Haiti. Ia merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Kakek buyutnya, Thomas Gaetjens, adalah seorang wakil dagang asal Jerman yang ditugaskan di sana pada abad ke 19.
Gaetjens yang tumbuh di lingkungan keluarga berada ini pada usia 14 tahun masuk klub LA Haitienne. Di klubnya tersebut ia mempersembahkan 2 gelar juara saat usianya baru menginjak 20 tahun. Sebagaimana gol yang dicetaknya di Piala Dunia 1950, di Haiti Gaetjens memiliki reputasi sebagai penyerang tengah yang sering mencetak gol dari sundulan.
Namun, pada 1947 orangtua Gaetjens mengirimnya pergi ke Amerika untuk belajar akuntansi di Universitas Columbia, New York. Mereka merasa ragu akan masa depan anaknya jika hanya menggantungkan diri pada sepakbola.
Di Amerika Gaetjens rupanya tak bisa melupakan sepakbola seutuhnya. Mulanya untuk menambah pemasukan, Gaetjens bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran. Namun, alasan utama ia bekerja di sana karena pemilik restoran tersebut sekaligus juga pemilik klub sepakbola Brookhattan, salah satu tim peserta Liga Soccer Amerika (ASL).
Bermain sebagai striker, menurut Wolff Gaetjens mencetak hatrick di musim perdananya dan membubuhkan total 14 gol. Dua musim kemudian ia menjadi pencetak gol terbanyak di ASL dengan raihan 18 gol. Penampilan gemilang ini membuat Gaetjens lantas dilirik pelatih nasional AS. Meski awalnya terkendala status kewarganegaraan, Gaetjens akhirnya bisa masuk timnas AS cukup dengan mengajukan permohonan menjadi warga negara negeri itu tanpa perlu menunggu proses selesai.
Setelah Piala Dunia 1950 usai Gaetjens memutuskan tidak mengambil kewarganegaraan AS dan lebih memilih melanjutkan karier sepakbolanya di Perancis. Namun, sayang ia mengalami cedera lutut di awal musim yang memengaruhi penampilannya selama dua tahun di sana.
Pada 1954 Gaetjens pulang ke Haiti. Di kampung halamannya ia membuka bisnis dry-cleaning, menikah, dan membangun keluarga. Beberapa kali ia pun sempat melatih bekas klubnya, LA Hetienne, dan timnas Haiti.
Kehidupan Gaetjens mungkin akan berjalan normal sampai usia senja. Namun, pada 1957 Francois "Papa Doc" Duvalier menjadi presiden Haiti. Duvalier tak hanya akan menjadi mimpi buruk Haiti melainkan juga bagi Gaetjens.
“Diperkirakan 30.000 orang meninggal selama 14 tahun ia berkuasa saat membasmi lawan-lawan politiknya secara brutal,” tulis BBC.
Tragisnya Gaetjens termasuk ke dalam 30.000 orang itu. Meski tidak aktif secara politik, menurut Wolff, kedua saudaranya, Jean dan Freddie terlibat dalam kelompok yang ingin menggulingkan Duvalier saat keduanya menjadi eksil di Republik Dominika.
Pada 8 Juli 1964 Gaetjens ditangkap kelompok milisi Tontons Macoute bentukan Duvalier saat ia berada di salah satu toko miliknya. Tak ada kabar tentang nasib Gaetjens selama bertahun-tahun.
Kabar tentang Gaetjens baru diketahui pada 1972, saat pemerintah Haiti mengkonfirmasi kematian Gaetjens kepada Kedutaan Besar AS di Port-au-Prince, setelah sebelumnya di desak oleh lembaga-lembaga hak asasi manusia. Namun, kapan dan bagaimana Gaetjens meninggal sampai sekarang masih menjadi tanda tanya.
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS