tirto.id - Di salah satu sudut meja kerja Jan Koum ada kertas catatan yang diteken Brian Acton. Catatan itu berisi tiga perintah; “No ads! No games! No gimmicks!”
Jan Koum dan Brian Acton bertemu kali pertama di suatu hari pada 1997. Acton, yang merupakan karyawan ke-44 Yahoo, mewawancara Koum yang hendak bergabung menjadi tim system security Yahoo. Selepas jenuh bekerja di Yahoo, keduanya lalu mengundurkan diri bersama-sama dan sepakat menciptakan aplikasi pesan instan, yang kini didaulat sebagai yang paling populer bernama WhatsApp.
WhatsApp adalah sebuah fenomena. Fenomena yang dibangun atas dasar kesederhanaan. Sebuah aplikasi pesan instan yang tak mengandung iklan, gim, ataupun gimmick-gimmick tak penting yang hanya membebani sistem. Hasilnya, hingga April 2018 ini, WhatsApp memiliki 1,5 miliar pengguna aktif bulanan. Paling banyak di antara aplikasi sejenis manapun di seluruh dunia.
Namun, posisi WhatsApp di singgasana aplikasi pesan instan bukan tanpa cobaan. Selain coba digoyang oleh pemain-pemain Cina, seperti WeChat dan QQ, atau pemain Korea Selatan, seperti Line dan KakaoTalk. WhatsApp, yang dimiliki Facebook mendapat perlawanan dari Google.
Google dan Aplikasi Pesan Instan
Dalam laporan yang diturunkan The Verge, Google kini sedang mengembangkan sistem pesan instan bernama “Chat.” Berbeda dibandingkan WhatsApp, Chat lebih merupakan pengembangan SMS, atau, dalam bahasa lain, Chat merupakan SMS 2.0.
Saat WhatsApp memanfaatkan jaringan internet sebagai penghubung, Chat dibangun menggunakan teknologi bernama Rich Communication Services (RCS). RCS merupakan teknologi yang memungkinkan SMS biasa distandardisasi hingga membuatnya bisa tampil lintas perangkat dan lintas jaringan. Ia merupakan carrier-based service bukan over-the-top service yang berlaku pada WhatsApp. Sebagai carrier-based service, Chat buatan Google bisa hidup bekerjasama dengan operator.
“Kami tidak dapat membangun Chat tanpa mereka para operator. Kami tidak hendak melakukan sebagaimana Apple lakukan dengan iMessages. Kami secara fundamental merupakan sistem yang terbuka. Kami percaya untuk bekerja bersama operator,” kata Anil Sabharwal, pimpinan proyek Chat Google.
Dalam klaim Google, ada 50 operator di seluruh dunia yang kini sedang bekerjasama menggarap Chat. Nantinya, melalui Chat, selain hadir melalui aplikasi buatan Google, masing-masing operator pun dapat membuat aplikasi pesan instannya sendiri-sendiri, dengan menggunakan basis Chat.
Jika proyek ini sukses, Chat nantinya akan memiliki fitur selayaknya WhatsApp atau aplikasi pesan instan sejenis; read receipt, typing indicator, grup, emoticon, bahkan mampu mengirimkan pesan multimedia seperti sticker maupun foto dan video.
Chat yang merupakan pengembangan SMS, Chat bisa digunakan berkirim pesan ke perangkat manapun, entah perangkat tersebut merupakan feature phone atau smartphone. Nantinya, bila seseorang pengguna Chat mengirim pesan ke lawan percakapan yang tidak memiliki data internet, pesan akan terkirim dalam bentuk SMS konvensional. Sayangnya, karena Chat merupakan kelanjutan SMS, tidak ada fitur end-to-end encryption untuk keamanan.
Masih dalam laporan The Verge, bila proyek Chat terealisasi, ia akan menjadi aplikasi standar SMS bagi perangkat bersistem operasi Android, yang diharapkan akan mampu menggusur keberadaan WhatsApp.
“Suatu saat, aplikasi standar SMS adalah tempat setiap orang berada, nantinya mereka tidak akan beranjak ke aplikasi lain (seperti WhatsApp, Line, dan sebagainya) untuk menggunakan pesan,” kata Sabharwal.
Kegagalan Demi Kegagalan
Hasrat Google mengembangkan Chat, telah memakan korban bernama Allo. Allo serupa dengan WhatsApp atau Line. Ia adalah aplikasi pesan instan. Namun, Allo diklaim didukung dengan kemampuan machine learning. Sebuah teknologi yang bisa mempelajari tingkah laku penggunanya dan kemudian bisa memberikan usulan tertentu, seperti memberi usulan emoji yang digunakan dalam percakapan hingga dapat digunakan untuk memahami konteks pengguna yang ditanyakan pada Google Assistant.
Sayangnya, merujuk pemberitaan Techcrunch, Allo tidak pernah sukses mencapai 50 juta pengguna di seluruh dunia. Ini membuat aplikasi tersebut terlempar jauh dari persaingan dunia pesan instan. Selepas WhatsApp, merujuk Statista, Facebook Messenger berada di posisi runner-up dengan 1,3 miliar pengguna aktif bulanan per April 2018. Setelahnya, ada WeChat di posisi ke-3 dengan 1 miliar pengguna. Berturut-turut ada QQ (783 juta pengguna), Skype (300 juta pengguna), Viber (260 juta pengguna), Line (203 juta pengguna), dan Telegram (200 juta pengguna).
Torehan buruk Allo membuat aplikasi ini diberi tanda “pause development” dan “pause investment” oleh Google. Tim yang mengembangkan Allo dikerahkan untuk mendukung terciptanya Chat.
“Allo tidak mencapai level yang kita kehendaki,” kata Anil tentang status “pause investment” Allo.
Sebelum Chat dan Allo, Google telah mencoba membangun aplikasi pesan instan. Pertaruhan mereka pertama kali terjadi pada 9 Februari 2010 lampau. Saat itu, perusahaan yang didirikan Larry Page dan Sergey Brin tersebut merilis Buzz, sebuah platform media sosial, microblogging, dan pesan instan.
Buzz dapat digunakan multi sistem operasi, mulai dari Android, iOS, hingga Windows Phone. Sayangnya, proyek Buzz disuntik mati oleh Google. Selepas Buzz, Google lalu meluncurkan Google Talk, Google+ Messenger, hingga Hangout. Namun, nama-nama tersebut belum sukses membuat Google berjaya di ranah bisnis pesan instan.
Ambisi Google menguasai dunia pesan instan tak mengherankan. Pada 2017, diperkirakan ada 28,2 triliun pesan dikirim via aplikasi pesan instan di seluruh dunia. Tentu saja ini bisnis menggiurkan, apalagi Google merupakan pemilik salah satu sistem operasi paling berkuasa saat ini, Android.
Saat aplikasi pesan instan kini ramai dengan hadirnya konsep smartphone. Mengutip Mashable, secara konsep, pesan instan lahir di pertengahan dekade 1960 saat tim dari Massachusetts Institute of Technology Computation Center merilis sistem bernama Compatible Time-Sharing System. Sistem tersebut memungkinkan 30 pengguna berkirim pesan antar sesama.
Aplikasi pesan instan yang mendekati wujud seperti hari ini terjadi sejak 1981. Commodore International meluncurkan komputer bernama Commodore 64, yang tertanam aplikasi bernama Quantum Link (yang lalu disebut America Online atau AOL).
Melalui aplikasi tersebut, pengguna dapat berkirim pesan teks pada pengguna lainnya dengan biaya bulanan. Pada 1996, startup asal Israel bernama Mirabilis meluncurkan ICQ. Guna memperkuat kerja layanan yang dimiliki AOL, AOL lalu membeli aplikasi tersebut.
Selepasnya ada cukup banyak aplikasi pesan instan yang dirilis ke publik. Ada nama Yahoo Messenger hingga ChatOn. Kini, dunia aplikasi pesan instan dikuasai WhatsApp. Namun, tak ada yang berani memastikan sampai kapan akan berkuasa. Chat dari Google perlu membuktikannya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra