tirto.id - Bising kendaraan di jalan raya tak pernah dihiraukan Ade Kalsum. Perempuan 47 tahun itu tengah sibuk mengguratkan huruf demi huruf pada sebuah Kartu Tanda Pengenal Elektronik (e-KTP) menggunakan pena khusus untuk menggambar. Tempat kerjanya cuma berupa meja sederhana dengan payung warna-warni yang berdiri di salah satu jalan utama di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Di batang payung, ditempel sebuah tanda bertuliskan “Service KTP”. Silih berganti orang mampir menyerahkan e-KTP yang rusak untuk diperbaiki. Sudah dua tahun Ade dan suaminya Ruslan (62 tahun) berprofesi sebagai 'mekanik' bagi segala macam kartu yang rusak.
Di pinggir jalan itu, Ade menyediakan layanan perbaikan kartu patah, ganti foto, keterangan data yang memudar, dan KTP yang terkelupas. Alat yang digunakan untuk memperbaiki e-KTP terbilang sederhana, ada pena gambar, gunting, lem, juga plastik laminasi.
Layanan perbaikan ini tak hanya tersedia untuk e-KTP, tapi juga untuk kartu Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan segala macam kartu penting keluaran negara lainnya.
Sehari-harinya, Ade membuka layanan perbaikan selepas salat zuhur sampai sebelum azan magrib berkumandang. Usaha perbaikan kartu itu cukup membantu Ade dan Ruslan bertahan sejak pandemi COVID-19 melumpuhkan perekonomian. Sebelumnya, perempuan asal Makassar itu merupakan penjual makanan takoyaki di sekitar Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Sementara, Ruslan adalah bekas sopir taksi yang memilih beralih pekerjaan, setelah setorannya menurun di masa awal pandemi lalu. Ruslan sendiri sedianya membuka usaha yang sama tak terlalu jauh dari tempat itu.
Di satu sisi, pasangan itu sadar e-KTP merupakan dokumen krusial untuk berbagai keperluan. Mulai dari urusan pernikahan hingga untuk melamar pekerjaan, e-KTP sudah barang tentu menjadi keharusan. Jika hilang atau rusak, sudah pasti repot jadinya.
Namun di sisi lain, mereka sadar bahwa kartu-kartu tersebut mudah rusak, kendati baru dicetak. Dari situ, pasangan suami istri tersebut melihat peluang bisnis yang tak banyak digarap. Berbekal pengetahuan cara memperbaiki dokumen yang diperoleh dari seorang teman, mereka membuka usaha ini.
"Udah mah besok lihat aja tuh kalau ada satu huruf yang ini (terhapus), foto yang sudah mulai kurang (terlihat)," kata Ade. Hal itu menurutnya biasa terjadi saat KTP diletakkan di dompet dalam kondisi tertekan akibat terduduk di kantong belakang.
Tarif yang dipatok mulai dari Rp25.000 sampai tertinggi Rp50.000, tergantung tingkat kerusakan. Untuk kasus seperti KTP yang patah, Ade dan Ruslan mematok tarif tertinggi.
Ade bercerita bagaimana suatu saat ia mendapat pelanggan dari seseorang yang membutuhkan perbaikan e-KTP untuk keperluan melamar kerja. Waktu berlalu, pelanggan itu kembali ke Ade untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai tanda rasa terima kasih, meski sebelumnya sudah membayar sesuai tagihan.
“Orang sangat terbantu dengan adanya jasa ini,” kata Ade.
Pada waktu lain bahkan Ade mendapat borongan perbaikan 30 e-KTP dari satu orang pelanggan. "Uangnya itu Rp800 ribu. Ibu terima dengan satu orang saja," kata Ade.
Sementara Ruslan dalam sehari rata-rata menangani 6-7 KTP. "Saya ngelayanin paling 6 atau 7 saja sudah (dapat) 200 ribuan," kata Ruslan.
Tak hanya masyarakat biasa yang memanfaatkan layanan itu. Mereka yang bekerja untuk pemerintahan pernah juga mempercayakan perbaikan e-KTP kepada Ruslan dan Ade. "Staf kecamatan, staf kelurahan," kata Ruslan.
Melihat antusiasme warga yang datang untuk memperbaiki KTP yang rusak ini, Ruslan berharap layanannya tak sekadar sebagai cara mencari uang namun sebagai cara membantu orang. “Mudah-mudahan aja buka ini kita bisa buat ibadah,” kata Ruslan.
Jasa perbaikan KTP ini juga menjadi mata pencaharian bagi Joko (23) yang biasa mangkal di kawasan Kemang Timur. Joko juga memulai usahanya sejak 2019, beberapa saat sebelum pandemi masuk Indonesia. Ia yang kini menjadi tulang punggung bagi keluarga kecilnya ini merasakan betul penghasilan yang didapat dari membuka usaha ini. “Lumayan lah buat keluarga di rumah,” kata Joko.
Peluang Buruknya Kualitas Kartu
Keberadaan KTP telah menjadi dokumen krusial bagi penduduk Indonesia. KTP-elektronik ini berlaku seumur hidup, berbeda dengan jenis KTP sebelumnya yang perlu dilakukan pembaruan setiap lima tahunnya.
KTP elektronik tersebut menyimpan sebuah cip yang menyimpan mikroprosesor berkapasitas 8 kilobit, yang berisi biometrik seperti sidik jari, pas foto, serta tanda tangan pemilik.
Dengan keberadaan KTP elektronik ini, pemerintah memulai membangun cita-cita Single Identity Number (SIN) di mana data kependudukan yang ada dapat digunakan untuk beragam pelayanan publik.
Vitalnya peran e-KTP semakin menjadi ketika pemerintah resmi menjadikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera sebagai pengganti NPWP.
Problemnya, dengan segala kecanggihan yang ada masih banyak urusan yang memerlukan penggunaan KTP secara fisik, atau setidaknya dalam rupa salinan. Protes warga yang kerap direpotkan dengan urusan fotokopi e-KTP juga terus mengalir. Tak sedikit layanan publik yang masih mewajibkan seseorang untuk membawa fotokopi KTP elektroniknya.
Di sisi lain, kualitas fisik KTP elektronik juga sempat menjadi sorotan lantaran kerap kali rusak. Pada 2018 lalu, Direktur Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrullah pernah menyebut KTP elektronik yang mudah rusak disebabkan proses pencetakan yang tak sesuai prosedur.
Ia menyebut lapisan KTP bisa mudah terkelupas disebabkan suhu alat printer yang terlalu panas saat terjadi proses pencetakan. Sementara itu, untuk kasus foto dan tulisan yang mudah memudar kemungkinan disebabkan suhu printer yang tidak sesuai dengan persyaratan ketika melakukan proses pencetakan.
"Berdasarkan pengamatan selama ini (e-KTP mudah rusak) mungkin lebih kepada proses personalisasi (pencetakan) KTP elektronik yang kadang-kadang tidak sesuai ketentuan," kata Zudan, seperti diberitakan Detikcom.
Pemerintah sendiri sudah membuka layanan resmi untuk perbaikan KTP elektronik yang rusak. Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta contohnya memiliki layanan Akses Langsung Pelayanan Dokumen Kependudukan Cepat dan Akurat (Alpukat Betawi). Layanan ini tersedia di App Store dan Google Play Store.
Meski sudah ada jalur resmi untuk memperbaiki e-KTP, sebagian orang tetap memilih menggunakan jalur perbaikan tak resmi.
Seperti misalnya Iqbal (26), seorang advokat yang menyebut hanya membutuhkan beberapa menit untuk merapikan e-KTP-nya yang baret.
“Kalau ke kelurahan nunggu orang lurahnya dulu. Entar ada alesan stafnya lagi ke mana, ada lagi alasan meeting, jadi gitu, ketunda-tunda waktunya beda jauh, sama yang bikin di jalan,” kata Iqbal.
Begitu juga Sabrina (26) seorang pegawai swasta yang merasakan manfaat layanan perbaikan e-KTP lewat jalur tak resmi. Ia mengatakan hal tersebut ia lakukan demi kepentingan mendesak dinas luar kota.
Karena terburu-buru, Sabrina memilih tak memakai jalur perbaikan resmi untuk memperbaiki e-KTP-nya. “Takutnya pelayanannya enggak (selesai) sesuai dengan waktu yang kita butuhin,” kata Sabrina.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah melihat jasa perbaikan e-KTP tak resmi ini merupakan upaya warga berinovasi dalam mencari nafkah.
Ironinya, menurut Trubus, hal ini menunjukan kebutuhan warga terhadap keberadaan layanan perbaikan tak resmi ini lantaran kepercayaan kepada layanan resmi negara belum tumbuh maksimal.
Ia menyebut setidaknya masih ada sentimen negatif, seperti potensi pungutan liar dan juga molornya pengerjaan dokumen yang mungkin masih dirasakan oleh sebagian orang yang hendak mengurus dokumen seperti KTP elektronik.
“Masyarakat memanfaatkan jenis lain itu menjadi alternatif yang paling menolong. Pokoknya paling praktis lah,” kata Trubus.
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Adi Renaldi