tirto.id - Corporate Finance Group Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk Eka Setya Adrianto menilai bisnis jalan tol merupakan instrumen investasi yang menarik untuk jangka panjang.
Dia mengakui, secara jangka pendek, BUMN penggarap proyek tol memang 'berdarah-darah', apalagi bila yang diperhatikan adalah aspek arus kasnya.
"Tol ini memang long term bisnis. Dia butuh waktu untuk untung. Karena 70 persen pendananya perbankan, 30 persen equity. Karenanya kita butuh waktu," ujar Eka di Menara BCA, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019).
Dia mencontohkan pendapatan Jasa Marga dari jalan tol sempat merosot ketika krisis ekonomi 1998. Namun, masa krisis itu relatif singkat. Sebab, ketika ekonomi kembali normal masyarakat kembali menggunakan kendaraan dengan melintasi jalan tol.
"Selama itu terjadi, dari sisi investor, [bisnis tol] itu masih well protected [aman]," kata Eka.
Contoh lainnya, Eka menambahkan, pada kuartal ketiga 2018 laba Jasa Marga sempat turun. Namun sejak awal hal tersebut telah diprediksi Jasa Marga karena ada aksi korporasi yang dilakukan sehingga laba menjadi menurun.
"Karena kami menaikkan aset yang memang sebagian besar tentunya menggunakan dana pihak ketiga. Baik itu debt maupun ekuitas. Tapi kami bahkan mampu menjaganya tidak terlalu drop," ujar Eka.
"Kalau teman-teman lihat tumbuhnya beban bunganya tinggi sekali, tapi EBITDA tumbuhnya tinggi sekali. Itulah yang terjadi di sektor infrastruktur," dia menambahkan.
Kepala BPTJ Herry Trisaputra Zuna sebelumnya juga menyampaikan, bahwa bisnis jalan tol adalah investasi jangka panjang yang keuntungannya baru balik sekitar lima tahun setelah proyek jadi.
Apalagi, sistem 'bangun-jual' bukan sesuatu yang baru bagi BUMN untuk mencari pendanaan dan meminimalisir penggunaan APBN. Pada 2012 lalu, misalnya, PT Jasa Marga Tbk menjual 1,6 juta unit saham PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk karena hendak mengakuisisi beberapa tol lain.
Konsep pendekatan pembangunan infrastruktur dengan sistem "bangun-jual" juga biasa diterapkan di Cina. Negeri Tirai Bambu ini sukses membangun 131.000 km jalan tol. Hal ini kemudian diadopsi pada proyek Tol Trans Sumatera melalui konsorsium Hutama Karya pada era Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Divestasi atau melepas aset perseroan atas tol juga dapat mengurangi rasio pinjaman terhadap modal yang dimiliki BUMN sehingga keuangan perusahaan bisa tetap sehat meski menggarap banyak proyek.
“Kalau dari sisi BPJT melihatnya ini, kan, badan usahanya sudah ada. Nah, misalkan Waskita Tol Road Semarang-Batang dijual, kami melihatnya bukan dalam konteks jual-beli. Kami melihatnya dalam konteks pemegang saham,” kata Herry.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom