Menuju konten utama

Jangan Sampai Stres dan Mengalami "Serangan Jantung"

Kendalikan stresmu. Jika tidak, salah satu risikonya adalah terkena broken heart syndrome.

Jangan Sampai Stres dan Mengalami
Ilustrasi takotsubo. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sepulang dari kantor, pada Rabu malam awal bulan lalu saya menghadapi sesak napas yang begitu dahsyat di dada kiri. Serangan itu sekonyong-konyong datang saat saya mengendarai motor, sampai akhirnya keringat dingin mengucur, dada semakin sesak, dan saya pingsan.

Dokter jaga di Unit Gawat Darurat (UGD) buru-buru memasangkan alat bantu pernapasan. Namun, upaya itu sia-sia. Saya tetap kesulitan bernapas, dada semakin terasa sakit. Pemeriksaan EKG untuk melihat aktivitas jantung dilakukan di tengah-tengah erang kesakitan. Akhirnya, perawat menyuntikkan obat anti-nyeri dan keadaan pun berangsur terkontrol.

“Jantung, lambung, paru-paru, dan tes darahnya bagus semua. Kamu sedang stres, ya?” tanya dokter kali itu, setengah menuduh.

Pada hasil diagnosis, dokter menuliskan saya terkena masalah pencernaan. Namun, saya ingat betul, hari itu saya sudah makan sampai tiga kali. Lagipula, saat itu gejala sakit dada tak disertai mual ataupun sakit perut. Lalu, saya pun merujuk pertanyaan terakhir dari sang dokter sebagai akar masalah: stres.

“Kalau sedang depresi memang bisa lari ke sakit fisik, lazim disebut psikosomatis,” kata dr. Achmad Saisal Sp. BTKV, spesialis bedah toraks dan kardiovaskular.

Beberapa penyakit akibat stres memang dapat menimbulkan gejala serupa serangan jantung. Salah satunya adalah Takotsubo Cardiomyopathy, atau lazim disebut broken heart syndrome. Kondisi saat stres ekstrem dapat menyebabkan kegagalan otot jantung. Tak seperti namanya yang sering diasosiasikan sebagai sakit akibat putus cinta, broken heart syndrome bisa disebabkan oleh beragam faktor yang memicu hormon stres mendadak melonjak tinggi.

Ada dua jenis penyebab stres yang mempengaruhinya. Pertama, stresor emosional seperti rasa sedih, takut, marah yang terlampau ekstrim layaknya kematian, penolakan, perpisahan, perceraian, berbicara di depan umum, atau bahkan kejutan, seperti menang undian. Yang kedua adalah stresor fisik, seperti serangan asma, diagnosis penyakit kronis, atau aktivitas fisik yang melelahkan.

Saya baru ingat, malam sebelumnya harus melepas pasangan pergi ke pulau seberang selama beberapa tahun. Dengan kata lain: saya sedang mengalami "broken heart" karena harus menjalani hubungan jarak jauh dengan suami alias LDR.

Gejala seperti yang saya rasakan juga pernah dialami Ana Rachma (26). Desainer yang bekerja di sebuah rumah mode daerah Kemang ini mengaku merasa jantungnya berdetak cepat, sesak napas, dan hilang keseimbangan saat ayahnya meninggal.

Untuk kasus semacam ini, perempuan memang cenderung lebih berisiko dibanding laki-laki. Gejala paling umum dari broken heart syndrome meliputi nyeri dada tiba-tiba, seperti tertusuk, dan sesak napas. Lazimnya gejala ini muncul dalam hitungan menit atau jam pasca stres. Lantaran sindrom tersebut berkaitan dengan melemahnya otot jantung, beberapa orang juga mengalami gejala tambahan seperti pingsan, aritmia (gangguan detak jantung), syok kardiogenik (kondisi jantung tidak cukup memompa darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh), tekanan darah rendah, dan gagal jantung.

Terapi Psikis atau Kardiovaskular?

Asal mula broken heart syndrome dilaporkan terjadi pada populasi Asia pada tahun 1990. Saat itu, gejalanya disebut Takotsubo Cardiomyopathy. Takotsubo dalam bahasa Jepang memiliki arti “pot/panci gurita”. Kondisi ini menyebabkan ventrikel kiri jantung membengkak di bagian bawah tapi tetap sempit di bagian atas, sehingga terlihat mirip dengan perangkap/pot gurita.

Setelahnya, kasus-kasus serupa mulai dilaporkan dari seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat pada 1998. Meski memiliki gejala serupa serangan jantung, keduanya punya perbedaan. Serangan jantung diakibatkan oleh penyumbatan arteri koroner, sehingga memotong suplai darah ke jantung. Individu dengan broken heart syndrome arteri koronernya cukup normal, tanpa penyumbatan atau gumpalan parah.

Infografik takotsubo

Peneliti beranggapan pelepasan hormon stres yang signifikan membuat sengatan ke jantung mempengaruhi kemampuannya memompa darah ke tubuh. Hal itu menghasilkan gejala yang mirip dengan serangan jantung.

Kondisi ini memicu perubahan pada sel otot jantung, pembuluh darah koroner, atau keduanya. Jantung menjadi sangat lemah sehingga ventrikel kiri (ruang yang memompa darah dari jantung ke tubuh) mengembang. Sementara itu, bagian jantung yang lain bekerja secara normal atau malah berkontraksi lebih kuat. Akibatnya, jantung tidak bisa memompa dengan benar.

“Jika tahapannya sudah sampai gangguan kelainan jantung dan terbukti secara klinis, maka akan kita terapi sesuai penyakit saat itu,” jelas dr. Achmad.

Untuk membedakan broken heart syndrome dengan serangan jantung, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan seperti EKG, tes darah, dan sinar-X. Hasil tes pada individu dengan broken heart syndrome tidak akan menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti pada serangan jantung.

Untuk mencegah terjadinya sindrom ini, ada beberapa cara pencegahan yang dapat ditempuh: belajar cara mengelola stres dengan bersantai, meningkatkan kesehatan emosional dan fisik, berbagi teman curhat, dan terapi relaksasi. Selain memberikan terapi medis gangguan jantung, individu dengan sindrom ini juga dianjurkan berkonsultasi kepada psikiater.

“Kita tetap mengobati secara holistik, jika memang [penyebabnya] lebih ke depresi ya kita rujuk ke psikiater.”

Baca juga artikel terkait JANTUNG atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani