tirto.id - Februari 2014, pemilihan rektor digelar di Universitas Glasgow, Skotlandia. Selain Edward Snowden—warga Amerika Serikat yang kini menjadi eksil di Rusia—ada nama Graeme Obree, Alan Bissett, dan Kelvin Holdsworth dalam daftar calon rektor. Graemen dikenal sebagai pesepeda, Alan Bissett adalah penulis, dan Holdsworth merupakan pendeta episkopal Skotlandia.
Rektor di Universitas Glasgow tak dipilih oleh senat dan menteri seperti di Indonesia. Ia dipilih oleh seluruh mahasiswa. Pada pemilihan rektor dua tahun lalu, Edward Snowden mendapatkan suara mayoritas, yakni 3.347 dari total 6.560 pemilih. Lebih dari 50 persen.
Snowden tak punya hubungan apa-apa dengan Universitas Glasgow (UoG) dan Skotlandia. Ia tak pernah mengajar, bukan pula alumni. Ia bahkan dilarang memasuki negara tempat kampus itu berdiri. Snowden juga tak pernah mencalonkan diri. Ia dicalonkan dan dipilih para mahasiswa Glasgow itu sendiri.
Secara keilmuwan, Snowden adalah ahli komputer. Ia sebelumnya bekerja untuk National Security Agency (NSA) Amerika Serikat. Snowden lalu membocorkan rahasia kotor NSA kepada publik. Pembocoran rahasia ini membuat ia dianggap sebagai penghianat oleh pemerintah AS meskipun sebagian warga AS menganggapnya pahlawan. Ia pun mencari suaka ke Rusia.
Kini, sudah lebih dari dua tahun Snowden menjabat sebagai rektor. Secara fisik, ia tak pernah hadir di kampus. Segala bentuk komunikasi dengan manajemen kampus dan para perwakilan mahasiswa dilakukan lewat video call.
Pada penyambutan mahasiswa baru September lalu misalnya, Snowden memberikan kata sambutan hanya lewat video call. Meski begitu, mahasiswa tampak antusias menantikan. Begitu wajah Snowden muncul dilayar, sorak-sorai bergemuruh di ruangan.
Zahra Amalia, pelajar asal Indonesia yang tengah menempuh pendidikan S1 di Universitas Glasgow menjelaskan, secara konstitusional, rektor itu salah satu pemangku jabatan tertinggi. Di Glasgow, fungsinya sebagai representasi mahasiswa di Senat.
“Tetapi kami enggak selalu punya 'working rector,' ada beberapa yang terpilih karena merupakan representasi pandangan politik kami sebagai mahasiswa. Misalnya Winnie Mandela yang anti-apartheid, dan sekarang Snowden sebagai whistleblower,” ujar Zahra kepada Tirto, Senin (14/11).
Zahra mengakui bahwa Snowden memang tak pernah hadir secara fisik di kampus. Sebagai mahasiswa, dia menilai posisi UoG memang lebih 'kiri' dibandingkan kampus-kampus di Inggris. Selain itu, kegiatan mahasiswanya juga super aktif.
UoG tidak hanya memiliki satu badan semacam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Kampus itu melainkan memiliki tiga “BEM” yang terdiri dari dua serikat mahasiswa dan satu lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan di UoG memiliki kedudukan dan suara di Senat. Posisinya juga sejajar dengan dewan pengambil keputusan kampus.
Snowden memang bukan satu-satunya rektor yang secara fisik tak pernah hadir di kampus. Seperti yang disebutkan Zahra, sebelumnya ada Winnie Madikizela-Mandela, istri dari Nelson Mandela. Ia menjabat sebagai rektor pada periode 1987-1990.
Jauh sebelum Winnie, ada Albert Lutuli yang juga warga Afrika Selatan dan tak pernah hadir di kampus. Albert adalah penerima nobel perdamaian, dia terpilih menjadi rektor UoG pada periode 1962-1965.
UoG juga pernah dipimpin oleh seorang teknisi nuklir dan whistleblower Israel bernama Mordechai Vanunu. Selama tiga tahun kepemimpinannya di tahun 2005-2008, Mordechai juga tak pernah hadir secara fisik di kampus.
Sampai abad ke-17, UoG selalu dipimpin para menteri. Sepanjang abad ke-18 hingga 19, para tuan tanah, tokoh hukum dan politik berganti mengisi posisi tertinggi itu. Dua rektor UoG yang cukup terkenal adalah Adam Smith dan Edmund Burke. Sampai tahun 1974, tradisi di Glasgow adalah memilih rektor dari politisi.
Memasuki abad ke 20, latar belakang rektor semakin beragam. Para jurnalis, selebriti, penulis, musisi hingga ahli gizi mendapat tempat. Di Glasgow, suara rektor seyogyanya mewakili mahasiswa. Dia diharapkan menghadiri pertemuan-pertemuan dengan pihak manajemen kampus. Ia juga bekerja cukup dekat dengan lembaga perwakilan mahasiswa untuk mendengarkan aspirasi mahasiswa.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Zen RS & Maulida Sri Handayani