tirto.id - Mendung begitu berat membayangi langit Kota Bogor pagi itu. Jalanan basah ketika saya menyusuri Jalan Juanda hendak ke Jalan Suryakencana, habis hujan agaknya. Saya bergegas karena rasa lapar. Ingin makan sesuatu, tapi belum ingin kenyang segera.
Makanan hangat yang ringan agaknya cocok untuk memulai. Ketika memikirkan itu lapak seupan talas terlihat di depan. Saya melongok apa yang ada di sana—potongan kecil umbi talas kukus dengan parutan kelapa dan gula merah. Ini dia. Saya pesan seporsi kecil saja.
Saya nikmati seupan talas itu di emperan toko yang masih tutup. Saat itu pukul 10.00 pagi dan toko-toko baru saja buka, tapi suasana Jalan Suryakencana sudah ramai.
Saya baru makan beberapa potong seupan talas ketika seorang lelaki tua menyapa.
“Boleh duduk, Nak?”
Saya tersenyum dan lalu bergeser memberi ruang. Si bapak membentangkan kantong plastik sebagai alas. Ia menghela napas sejenak.
“Sarapan, Pak,” maksud saya beramah tamah. Si Bapak lalu memperkenalkan diri sebagai Rohim.
“Sekarang kalau parkir harus bayar pakai alat itu ya?” katanya sambil menunjuk mesin parkir elektronik.
Saya baru sadar di depan saya adalah mesin parkir elektronik. Karena sama tak tahunya—lagi pula saya bukan orang Bogor, saya sarankan ia bertanya langsung kepada petugas parkir saja.
Rohim bilang Jalan Suryakencana ini sedang dibenahi. Karenanya perubahan terjadi di sana-sini, terutama fisiknya. Wali Kota Bogor Bima Arya memprioritaskan Jalan Suryakencana sebagai jalur pedestrian. Satu sisi trotoarnya kini telah diperlebar.
Perubahan, itulah yang dirasakan Rohim sedang terjadi di sepotong jalan ini. Ia menyukainya, berharap jalan ini lebih tertib. Tapi, ia mengaku tak siap dengan adanya piranti elektronik semacam mesin parkir itu. Ia mengeluh gaptek. Untuk orang tua seperti dia, alat-alat elektronik semacam itu merepotkan.
Cerita Rohim membuat saya penasaran. Jalan Suryakencana adalah sepotong jalan tua. Ia adalah bagian dari De Grote Postweg yang dibangun sekira 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Daendels. De Grote Postweg memasuki Buitenzorg—nama lama Bogor—dari jalan yang kini jadi Jalan Ahmad Yani, berlanjut hingga Jalan Jenderal Sudirman, membelok ke Jalan Juanda, bersambung ke Suryakencana hingga ke Ciawi.
Dari zaman itu hingga kini tentu saja Suryakencana melalui banyak sekali perubahan. Tapi, bagaimana itu terjadi? Apa saja yang berubah?
Sebermula Suryakencana terkenal sebagai pecinannya Buitenzorg. Karena itu untuk merunut sejarahnya tempat bertanya paling tepat adalah kepada komunitas Cina di Suryakencana.
Bukan Lagi Pecinan
Maka segera saya tandaskan seupan talas yang tersisa lalu mengarahkan langkah ke utara. Pemukiman Cina pasti punya “kepala naga” dan di Suryakencana kepala naga itu adalah Vihara Dhanagun.
Di Vihara Dhanagun saya menemui Babah Ayung, pengelola harian dan tetua komunitas Cina di Suryakencana. Hari itu vihara sedang ramai orang sembahyang. Babah Ayung juga sangat sibuk menerima sedekah untuk keperluan Imlek dan Cap Go Meh yang sudah dekat. Di sela-sela keriuhan itu kami ngobrol.
Ia bercerita banyak kepada saya tentang masa lalu Jalan Suryakencana dan komunitas Cina yang mendiaminya. Babah Ayung sebenarnya lahir dan tumbuh besar di kampung Bantar Petei—kini masuk daerah Tajur. Ia akrab dengan Vihara Dhanagun karena sering diajak orang tuanya sembahyang. Sejak pensiun pada 2004, ia mendedikasikan waktunya untuk mengurus vihara.
“Kalo orang dulu nyebutnya kelenteng, nama aslinya Hok Tek Bio. Sekitaran pasar sini dulu tempat saya sama kawan-kawan main layangan,” kisahnya.
Seturut kisah-kisah yang ia dengar dari para orang tua dan pemerhati sejarah Bogor yang sering berkunjung, Vihara Dhanagun bisa dibilang adalah titik mula komunitas Cina di Suryakencana. Namun, ia tak tahu persis kapan vihara ini dibangun.
Banyak yang bilang Vihara Dhanagun sudah ada sejak 1672. Tapi Babah Ayung menyangsikannya. Ia tak pernah menemukan akta atau dokumen yang menyebut tahun itu sebagai tarikh pembangunan vihara.
Kemungkinan Kelenteng Hok Tek Bio dibangun pada masa yang lebih muda, karena Suryakencana berkembang sebagai daerah pecinan juga lebih belakangan.
“Kampung pertama orang Cina Bogor itu di Pulo Geulis, di belakang pasar sekarang. Di tengah Kali Ciliwung ada pulau kecil, di situlah mereka pertama kali bangun kampung. Orang Sunda nyebutnya pulo, dinamailah Pulo Geulis,” ujar Babah Ayung.
Di Pulo Geulis berdiri Klenteng Phan Ko Bio, yang disebut-sebut sebagai kelenteng tertua di Bogor. Orang-orang Cina mulai menyebar ke daerah yang kini di sebut Suryakencana pada abad ke-19, kala De Grote Postweg buka. Bermula dari utara, orang-orang Cina membangun rumah dan toko di sepanjang jalan itu. Maka itulah pemerintah kolonial menyematkan nama Handelstraat pada seruas jalan itu.
Babah Ayung menyebut di abad ke-19 itu ada kebijakan lokalisasi orang-orang Cina di sekitar Handelstraat dan Pulo Geulis. Kisah Babah Ayung mengingatkan saya pada kebijakan wijkenstelsel yang mulai diterapkan pada 1835 dan berakhir pada 1915. Mereka dilarang mukim di luar kampung yang sudah ditetapkan. Kalau mau bepergian pun harus atas izin pemerintah.
Saat kebijakan itu dihapus, Handelstraat kian berkembang. Etnis lain mulai mukim dan berbaur di sana. Karenanya, Babah Ayung tak sepakat jika ada orang yang masih menyebut daerah Suryakencana sebagai pecinan.
“Dulu iya, karena sama Belanda orang-orang Cina dikotakin di sini. Kalau sekarang semua orang bebas kumpul di sini. Mau Sunda, Jawa, Arab bebas. Jadi enggak ada lagi itu pecinan,” katanya.
Dari Jalan Niaga ke Jalan Kuliner
Dari Vihara Dhanagun saya mengitar ke selatan mencari asinan jagung bakar yang konon adalah satu-satunya di Suryakencana. Selain lekat dengan kata pecinan dan pusat niaga, Suryakencana dewasa ini juga jadi jujugan orang untuk wisata kuliner. Itu sebab ada baiknya jika bertandang ke Suryakencana dengan perut kosong.
Mendung tetap menggelayut siang itu, tapi tak sepekat beberapa jam lalu. Syukurlah kalau tak hujan. Mendung pula yang membuat jalan kaki di Suryakencana lebih enak karena sejuk.
Selain karena sejuk, jalur pedestrian Suryakencana yang lebih lebar juga bikin nyaman. Tak macam dulu yang sesak karena sempit dan dijejali lapak kaki lima. Hanya saja sulit sekali menemukan tempat sampah, membuat saya kebingungan membuang botol air meneral yang habis.
Agak jauh saya berjalan belum tampak juga ada lapak asinan jagung bakar. Saya bertanya kepada seorang penjual sate babi di mana saya bisa menemukan asinan jagung bakar. Ia menunjuk ke selatan, ternyata masih jauh.
“Kalau mau kulineran ke selatan saja, Bang. Ramainya di sana,” ujarnya.
Suryakencana seakan terbelah dua. Daerah utara, di sekitar Vihara Dhanagun dan Plaza Bogor, dihuni serbaneka toko kebutuhan rumah tangga. Kian ke selatan toko mulai jarang, berganti restoran, warung, atau kafe. Daerah kuliner paling ramai adalah di sekitaran persilangan Jalan Suryakencana dan Jalan Roda. Beberapa warung makan legendaris bertengger di sana.
Penjaja asinan jagung bakar yang saya cari ternyata berjualan tepat di persilangan itu. Penjualnya adalah seorang paruh baya bernama Sabur. Ia sedang menyiapkan lima piring asinan ketika saya memesan.
“Lagi ramai ya, Pak?” tanya saya.
“Lumayan, Dik. Biasalah kalau hari libur begini,” jawabnya.
Sabur berkisah, asinan jagung bakar itu adalah ide marhum ayahnya. Ia ingin berjualan sesuatu yang lain dari biasa agar cepat laris. Dari itulah, sang ayang mulai menjajakan asinan jagung bakar pada 1968.
“Awalnya, saya ikut-ikutan saja jualan keliling bersama ayah. Lalu ayah wafat saya sendiri yang melanjutkan jualan,” tutur Sabur sambil meramu kuah asinan pesanan saya.
Ia baru mangkal di Suryakencana delapan tahun lalu. Itu ketika Suryakencana baru moncer sebagai destinasi wisata kuliner. Sepengetahuannya, sebelum kurun 2000-an Suryakencana adalah pusat pertokoan biasa. Jika pun ada kuliner, itu adalah warung makan peranakan, belum seberagam sekarang.
“Sekarang pun kalau dibilang ramai ya pas hari liburan doang,” ujar Sabur.
Jam sudah menunjuk pukul 13.00 ketika saya menandaskan sepiring asinan jagung bakar Pak Sabur. Luhur sekali rasanya jika mencari minuman dingin. Maka beranjaklah saya mencari bir kocok, salah satu minuman dingin kaki lima yang banyak disukai di Suryakencana.
Kebetulan, ada penjaja bir kocok tak jauh dari lapak asinan jagung bakar Pak Sabur. Si penjual menyebut nama Enin ketika saya berkenalan dan berbagi rokok dengannya. Sama dengan Sabur, Enin adalah pedagang kaki lima kawakan di Suryakencana. Ia sudah berjualan sejak 1962, juga bermula dari mengikuti jejak ayahnya.
“Tapi, dulu abah keliling pakai mobil, setelah meninggal saya ganti jualan gerobak saja dan mangkal di sini,” tutur kakek 71 tahun ini.
Sejak dulu hingga kini ia tak pernah pindah tempat, selalu di depan sebuah rumah antik bergaya indis bernomor 210. Bangunannya cukup mencolok di antara deretan toko di kanan-kirinya. Enin bilang rumah itu sudah ditinggali tiga generasi saudagar Cina.
Saya agak kaget mengetahui ternyata rumah itu masih ditinggali. Di lihat dari luar, fasad depan rumah itu tampak tak terawat. Cat dindingnya dibiarkan kusam dan mengelupas. Pot-pot dengan tanaman mati tergeletak begitu saja, kaca jendela berdaki, dan sarang laba-laba di sudut-sudutnya.
“Yang punya sekarang pedagang emas. Coba kalau dirawat terus dicat putih gitu, kan, jadi kaya istana lagi,” katanya.
Rumah nomor 210 itu termasuk sedikit rumah tua yang bentuknya masih asli. Banyak sekali rumah khas Tionghoa yang kini telah dibongkar dan dibangun lagi jadi toko yang lebih modern. Sepanjang saya amati ketika menyusuri Suryakencana, masih ada juga beberapa rumah-toko bergaya Tionghoa yang mempertahankan bentuk aslinya. Penandanya yang paling kentara adalah bentuk hiasan atapnya. Namun, mereka pun harus berimpit dengan bangunan-bangunan baru yang lebih menjulang.
Itu persis benar dengan ujaran Babah Ayung sebelumnya. Salah satu hal yang menjadikan identitas Suryakencana sebagai pecinan luntur adalah perubahan fisiknya yang masif. Orang-orang sekarang membangun toko secara fungsional daripada mengikut budaya lama.
Enin mengiyakan ketika saya menyebut cerita Babah Ayung itu padanya. Komposisi masyarakat di sekitar Suryakencana memang berubah. Etnis Cina memang masih mendominasi, tetapi banyak juga toko-toko yang kini beralih dimiliki pendatang.
“Sekitar sini saja ada yang dibeli orang Madura, Padang, dan Bangka. Toko depan ini dulunya milik Cina terus sama penerusnya dijual ke orang Bangka,” katanya seraya menunjuk sebuah toko di selatan rumah nomor 210.
Enin menyaksikan perubahan itu dari balik gerobak bir kocoknya bertahun-tahun. Identitas Suryakencana sebagai daerah niaga kini mulai berganti jadi daerah kuliner. Sepengetahuan Enin, dulu hampir semua toko di Suryakencana adalah toko barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Ia tak bisa mengingat sejak kapan tepatnya warung dan restoran menjamur di Suryakencana. Tapi, di bagian selatan Suryakencana memang telah ada beberapa warung lawas yang berdiri jauh sebelum kawasan ini terkenal. Misalnya saja Warung Soto Kuning Pak Yusup.
“Nama warungnya Yusup, ya, pakai ‘p’. Itu yang asli enak. Ada juga tuh salah masuk ke warung Yusuf yang pakai ‘f’,” ujar Enin.
Saya memutuskan mengakhiri perjalanan dan pulang saat mendung kembali memberat sejak pukul 14.30. Dan benar, hujan turun tak lama setelah itu. Saya lalu berteduh di warung Pak Raisan, tentunya sambil makan taoge goreng buatannya yang sudah terkenal enak sejak 1982.
Editor: Ivan Aulia Ahsan
