Menuju konten utama
Advertorial

Jakarta Bebas Macet, Apa Bisa?

DKI Jakarta perlu melakukan percepatan integrasi sistem angkutan umum massal (tiket, jadwal, tarif, serta sarana dan prasarana).

Jakarta Bebas Macet, Apa Bisa?
ilustrasi suasana kemacetan di sepanjang jalan Gatot Subroto, Jakarta. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Coba bayangkan, perjalanan dari Sudirman menuju Pejaten yang hanya 12 kilometer bisa memakan waktu kurang-lebih 60 menit saat jam pulang kerja.

Kalau ada yang bertanya siapa orang paling sabar di dunia, jawabannya mungkin para penghuni Ibu Kota. Mereka yang rela separuh kehidupannya disita oleh perjalanan panjang dan diisi dengan ruwetnya jalanan. Secara sosiologis, kemacetan mempengaruhi produktivitas dan tingkat kebahagiaan masyarakat.

Setelah sekian lama tak melihat Jakarta penuh sesak oleh kendaraan, kini kehidupan berangsur normal. Walau kegiatan masyarakat belum sepenuhnya dilakukan tatap muka, volume kendaraan sudah naik drastis pasca-pelonggaran PPKM. Kemacetan sudah terjadi di beberapa ruas jalan Ibu Kota.

Dalam kondisi normal, jumlah kendaraan yang melintasi beberapa ruas jalan di Jakarta bisa mencapai 170.000 per hari. “Posisi sekarang ini dari kemarin waktu masih PPKM Level 3, itu di 138.000 lebih. Kemudian di PPKM Level 2 kemarin sudah naik menjadi 146.000, jadi tren terus naik,” jelas Kabid Pengendalian Operasional Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dishub DKI Jakarta Massdes Aroufy, seperti dilansir Kompas.com.

“Volume arus lalu lintas memang sudah mendekati normal. Kenaikan dibanding minggu-minggu kemarin itu sekitar 40 persen bahkan di beberapa titik sudah 80 persen kenaikan sehingga memang Jakarta sudah mulai macet di mana-mana,” terang Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo (23/11).

"Bahkan kalau hitung dari jumlah volume arus lalin yang masuk ke Jakarta dari tiga gerbang tol utama Halim dari arah Bekasi, Cililitan dari Arah Bogor, sana yang dari arah Tomang yang dari arah Tangerang. Itu semua sudah meningkat semua.”

Reduksi Waktu Tempuh Perjalanan di Ibu Kota

Pertanyaannya, bisakah masyarakat kembali aktif menjalani hari-hari seperti sebelum pandemi tanpa harus melewati kemacetan Jakarta?

Walau kapasitas moda angkutan umum sudah 100 persen dan jam operasionalnya pun seperti biasa, persoalan kemacetan rupanya belum menemukan titik terang. Ini karena salah satu akar permasalahan kemacetan adalah pemusatan kegiatan masyarakat di Jakarta yang memicu urbanisasi tak terkendali dan menyebabkan urban sprawl.

Urban sprawl merupakan fenomena ketika perkembangan kota meluas ke daerah-daerah pinggiran. Pembangunan yang tak terstruktur ini “berbuah” kepadatan, kemacetan, hingga pengambilan air tanah berlebihan. Akibatnya, makin lama kota makin penuh hingga mempengaruhi perencanaan dan pemanfaatan ruang yang tak bersinergi.

Kondisi struktur ruang di Jabodetabek-Punjur sendiri justru memicu orang untuk menggunakan kendaraan pribadi karena mengutamakan pembangunan jalan bebas hambatan.

Jika diselisik, masih banyak isu strategis terkait transportasi di Jabodetabek-Punjur yang patut menjadi perhatian, salah satunya adalah layanan jasa angkutan massal perkotaan Buy the Service (BTS) yang belum merata. Sayangnya dua strategi yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam menerapkan BTS, yaitu push and pull strategy, belum diterapkan.

Pull strategy dilakukan oleh pemerintah pusat dengan memberikan kebutuhan bus dan lisensi kepada operator, sementara push strategy menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.

Isu strategis lainnya adalah masalah seputar perpanjangan jalur MRT Lebak Bulus dengan Pemda Kota Tangerang Selatan, kemudian tumpang tindih trayek transportasi, way finding dan lokasi pemberhentian feeder belum memadai, juga minimnya akses menuju angkutan umum seperti dalam kasus LRT Harjamukti, serta tumpang tindih kewenangan pengelolaan jalan.

Kemudahan akses menuju angkutan umum adalah kunci untuk menarik minat masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga harus diprioritaskan, tetapi justru kerap mengalami kendala, salah satunya, terganjal perijinan. Dalam kasus Stasiun Harjamukti (LRT Jabodetabek), misal, program BTS yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) ditolak oleh Pemerintah Kabupaten Bogor sehingga sampai sekarang belum tersedia transportasi umum yang menghubungkan stasiun dengan Terminal Baranangsiang.

Ada pula konflik kepentingan pembangunan park and ride antara Jakarta dan Bekasi, kurangnya ketersediaan angkutan umum—di sekitar Cijambe, misalnya—dan kapasitasnya, serta minimnya jalan lebar dan tingginya arus lalu lintas (Jalan Puncak-Cianjur). Aturan terkait angkutan umum yang dapat beroperasi juga kurang tegas, terbukti dari konflik yang terjadi antara sopir angkutan umum dan travel gelap yang mengambil penumpang secara ilegal di Cianjur.

Menurut Kepala Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo, Jakarta telah menjelma jadi wilayah yang teraglomerasi dengan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (termasuk Puncak dan Cianjur) sebagai daerah penyangganya sehingga bergantung satu sama lain. Jakarta tidak mungkin menyelesaikan permasalahannya sendiri, begitu juga dengan kota lain.

“Oleh karena itu mewujudkan sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi se-Jabodetabek merupakan jawaban untuk menyelesaikan permasalahan transportasi di Jakarta sekaligus di Bodetabek sebagai wilayah penyangganya,” kata Budi (2/2/2020).

Mengamini apa kata Budi, Project Management Office (PMO) Jabodetabek-Punjur juga merekomendasikan penerapan disinsentif yang terintegrasi dengan kebijakan daerah penyangga Jakarta untuk menekan penggunaan angkutan pribadi, serta integrasi kelembagaan guna memudahkan proses kebijakan.

PMO Jabodetabek-Punjur sendiri adalah tim kerja di bawah Ketua Tim Koordinasi dan Tim Pelaksana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur. Tugas dan kewenangannya adalah menyinkronkan program dan anggaran, inovasi, dan debottlenecking isu permasalahan perkotaan seperti banjir, sampah dan sanitasi, ketersediaan air bersih, kemacetan, kawasan kumuh dan bangunan ilegal, serta kebutuhan lahan pantai utara.

DKI Jakarta juga perlu melakukan percepatan integrasi sistem angkutan umum massal (tiket, jadwal, tarif, serta sarana dan prasarana).

Dan karena semua daerah, selain DKI Jakarta, tidak memiliki kemampuan fiskal dalam pembiayaan pembangunan sistem angkutan umum massal, daerah penyangga perlu mendapatkan bantuan pendanaan dari DKI Jakarta untuk mengembangkan sistem transportasi umum massal guna mengatasi permasalahan yang dialami kedua belah pihak. Dalam hal ini, DKI Jakarta dapat berperan sebagai ”big brother”.

Terakhir, masih rekomendasi dari PMO, untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi diperlukan manajemen perparkiran off street maupun on street, penerapan Sistem Jalan Berbayar (Electronic Road Pricing), dan pembangunan fasilitas Park and Ride atau lahan parkir di lokasi strategis di ujung simpul transportasi sehingga pengendara bisa memarkirkan kendaraan dan melanjurkan perjalanan dengan menggunakan transportasi umum maupun berjalan kaki.

Regulasi dan sistem transportasi yang terintegrasi dengan baik, paling tidak, ikut andil mereduksi waktu tempuh perjalanan dan perlahan juga mengurangi permasalahan kemacetan sehingga kita bisa menyusuri jalanan Ibu Kota dengan hati gembira.

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Advertorial

tirto.id - Mild report
Penulis: Advertorial
Editor: Advertorial