tirto.id - Hari yang ditunggu-tunggu Lisa Simpson akhirnya tiba: ulang tahunnya.
Namun kebahagiaan Lisa harus pupus karena kedua orang tuanya, Homer dan Marge, terlupa akan hari istimewa anak tengah mereka.
Alih-alih mencoba untuk menanyakan atau mengingatnya, Homer bergegas berangkat kerja, sementara Marge sibuk menyiapkan keperluan si bungsu Maggie.
Selama ini, sudah menjadi anggapan lazim bahwa anak tengah berada di posisi 'terburuk' karena urutan kelahirannya 'terjebak' di antara kakak dan adiknya. Akibatnya, anak tengah kerap merasa terabaikan dan kurang perhatian.
Hal ini pernah dijelaskan oleh pakar pengasuhan anak dan terapis anak dan keluarga Meri Wallace, LCSW di Psychology Today.
Wallace menulis, anak nomor satu atau anak tertua selalu terlibat dalam hal-hal baru, dalam hal ini meliputi momen-momen pertama, yang menyita banyak waktu dan perhatian orang tua.
Misalnya, saat anak pertama tampil di pementasan perdana di sekolahnya, orang tua akan mempersiapkan betul agar semua rencana berjalan lancar.
Begitu pula saat anak bungsu lahir, anak tengah kehilangan peran sebagai ‘si kecil’ atau ‘bayi’.
Anak bungsu cenderung mendapatkan perhatian ekstra karena tindakannya dianggap lebih menggemaskan. Dia juga akan lebih banyak menerima bantuan dari orang-orang di sekitarnya karena secara fisik lebih kecil dan muda.
Situasi yang dialami anak tengah kemudian dikenal dengan istilah sindrom anak tengah atau middle child syndrome.
Sindrom ini, melansir Healthline, dipercaya terjadi pada anak-anak tengah yang merasa dirinya dikecualikan, diabaikan, dan kurang mendapat perhatian di keluarga. Akibatnya, anak tengah diyakini memiliki kepribadian dan karakteristik tertentu.
Teori tentang sindrom anak tengah diperkenalkan oleh Alfred Adler pada 1964.
Contohnya, anak tertua memiliki kecenderungan lebih otoriter dan merasa sangat berkuasa karena harapan tinggi dari orang tuanya.
Anak bungsu, yang diperlakukan seperti bayi, memiliki sifat manja sehingga dianggap kesulitan menjadi pribadi yang mandiri seperti saudara-saudaranya yang lain.
Sementara itu, anak tengah disebut memiliki sifat yang tenang atau kalem. Namun mereka cenderung sulit menyesuaikan diri karena eksistensinya diapit oleh si sulung dan si bungsu.
Pandangan lain menyebut anak tengah memiliki karakteristik rasa rendah diri terhadap saudara lain dalam keluarga, mudah terasing dalam keluarga, dan lebih mandiri sehingga mereka sering memilih untuk merantau pada usia muda.
Kekuatan si Anak Tengah
Kembali melansir tulisan Wallace, sederet manfaat berpotensi diperoleh oleh mereka di posisi anak tengah.
Meniru langkah-langkah yang diambil anak lebih tua, jika memang terbukti membuahkan hasil positif, bisa membantu anak tengah untuk sukses dan tumbuh lebih cepat.
Anak tengah juga mendapat manfaat dari memiliki adik. Dengan membantu mengasuh atau mengawasi adiknya, anak tengah belajar bertanggung jawab dan menjadi pemimpin.
Posisi ini akhirnya secara tidak langsung juga membuat anak tengah memiliki kemampuan sosial lebih baik.
Ilustrasinya begini. Anak tengah sudah banyak belajar mengenali dan menghadapi sikap kakak dan adiknya, yang masing-masing memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Hal ini pun dapat menjadi peluang bagi anak tengah untuk mengasah keterampilan sebagai negosiator.
Menurut psikolog yang berbasis di Frisco, Texas, Dr. Brittany McGeehan, anak tengah acap kali cocok untuk mengembangkan karier dalam bisnis karena kecakapan mereka dalam seni berkomunikasi—aset esensial di dunia bisnis.
Warren Buffett, Bill Gates, Mark Zuckerberg adalah segelintir anak tengah yang membuktikan kesuksesannya dalam bisnis.
"Anak tengah biasanya pembawa damai. Jadi mereka memiliki keterampilan negosiasi yang sangat hebat, dan mereka mampu membaca situasi serta melihat apa yang dibutuhkan untuk menenangkan mereka,” kata McGeehan.
Meskipun anak tengah diyakini memiliki sederet kelebihan karena urutan kelahirannya, apakah gagasan tentang sindrom anak tengah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah?
Masih terjadi perdebatan soal ini. American Psychological Association (APA) menyebut sindrom anak tengah sebagai "kondisi hipotetis".
Terlebih dari itu, tidak semua penelitian mendukung hubungan antara urutan kelahiran dengan karakter seseorang.
"Banyak peneliti tidak setuju dengan teori sindrom anak tengah karena sebagian besar tidak memperhitungkan faktor-faktor penting, termasuk ras, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi," ungkap psikiater anak Monika Roots, MD dikutip dari Well and Good.
Dampak pada Anak yang Terabaikan
Andhita Dyorita Kh., S.Psi, M.Psi, Psikolog menyampaikan bahwa kepribadian kita memang dapat dipengaruhi oleh banyak hal, mulai dari gaya pengasuhan orang tua, dinamika keluarga, kepribadian individu, sampai lingkungan sosial.
Namun, psikolog yang biasa disapa Dhita ini mengingatkan, terlepas dari urutan kelahiran, semua anak dapat merasa tersisihkan dan dikecualikan oleh keluarga mereka.
Kondisi tersebut berpotensi memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan si anak, bahkan terbawa sampai usia dewasa.
Sebagai contoh, dalam hubungan interpersonal, anak akan kesulitan menyampaikan kebutuhan atau mengekspresikan perasaan, menjadi people pleaser, dan sulit membangun hubungan dekat.
Di dunia kerja, Ketua Program Studi Psikologi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta ini menuturkan, pengabaian demikian bakal membuat orang cenderung menjadi kompetitif atau berlebihan dalam bekerja, kurang percaya diri atau meragukan kemampuan diri sendiri, bisa juga malah terlalu mandiri sehingga sulit bekerja sama dalam tim.
Itulah mengapa orang tua perlu menerapkan pendekatan yang adil dan penuh perhatian dalam pengasuhan supaya tidak terjadi pengabaian pada anak.
Menurut Dhita, ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh orang tua.
Yang utama, tentu saja, memberikan perhatian setara pada setiap anak dan tidak membandingkan dengan anak lain. Sebab, setiap anak memiliki bakat, minat, serta kepribadian masing-masing.
Selanjutnya, mengembangkan rasa kebersamaan dalam keluarga sehingga bisa mempererat hubungan dan membuat semua anak merasa terhubung dan dihargai.
"Pastikan bahwa semua anak mendapatkan kesempatan yang adil untuk bersinar dalam kegiatan bersama ini. Bisa dengan masak bersama-sama, jalan-jalan, membersihkan rumah," terang Dhita.
Terakhir, orang tua perlu mengevaluasi pola asuh secara berkala. Pertanyakan lagi, bagaimana diri kita sebagai orang tua memperlakukan anak-anak selama ini? Bicarakan dengan pasangan atau anggota keluarga lainnya untuk memastikan bahwa setiap anak merasa diperhatikan dan dihargai.
Bagaimana dengan diri kita yang merasa terabaikan sebagai anak? Menurut Dhita, tahap penting untuk berdamai dengan kondisi tersebut adalah dengan mengakui perasaan itu.
Journaling dapat menjadi teknik yang pas untuk merefleksikan pengalamanmu. Menulis itu sendiri adalah metode efektif untuk mengeksplorasi apa yang memicu perasaan di dalam diri dan bagaimana hal itu bisa memberikan pengaruh pada dirimu sampai saat ini.
Jika kamu sudah siap dan merasa nyaman, kamu juga bisa mencoba mengomunikasikan perasaanmu ke keluarga. Cari juga support system lain seperti teman terdekat yang bisa dipercaya atau lakukan konseling sebagai ruang mengekspresikan perasaan.
“Selain itu, cari hal positif dalam diri yang bisa dikembangkan, temukan hobi dan minat yang membuat bahagia atau bangga, kejar pencapaian yang dimulai dari pencapaian-pencapaian kecil. Dengan begitu, kamu bisa semakin menghargai diri sendiri,” pungkas Dhita.
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih