Menuju konten utama
Advertorial

Jadilah Berguna, seperti Pohon

Kehidupan manusia tak pernah lepas dari berkah pepohonan. Dari hari ke hari kita menerima manfaat dari kerangka rumah, perkakas, furnitur, kertas, dan seterusnya

Jadilah Berguna, seperti Pohon
Ilustrasi Pohon dan Danau di Musim Gugur. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Hiduplah secara berguna, seperti pohon lontar.” Petuah itu disampaikan turun-menurun di Rote dan Sabu, dua pulau di selatan Indonesia. Menurut Matheos Viktor Messakh dalam “Pohon Lontar, Pohon Kehidupan bagi Orang Rote”, pohon tersebut dianggap istimewa karena seluruh bagiannya bermanfaat.

“Saat seorang bayi lahir, tali pusarnya dipotong dengan daun lontar muda. Daun lontar muda sangat tajam. Bayi yang baru lahir juga diberi minum air gula,” tulis Messakh. Ketika meninggal, tambah Messakh, orang Rote dibaringkan dalam kopak, peti yang terbuat dari batang lontar.

Orang-orang Rote meminum makanan mereka,” tulis Jamex J. Fox dalam Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia (1977). Pelbagai makanan dan minuman orang Rote dan Sabu memang berasal dari nira lontar, sebab di tanah mereka lontar merupakan bahan baku gula yang lebih andal ketimbang tebu. Mereka juga mengolah lontar jadi pakaian dan tempat bernaung. Bahkan sasando, alat musik paling terkenal dari Rote, memiliki wadah getar yang terbuat dari daun lontar.

Tentu tak hanya pohon lontar yang punya kegunaan menyeluruh. Sejak dulu, kehidupan manusia tak pernah lepas dari berkah pepohonan. Dari hari ke hari kita menerima manfaat dari kerangka rumah, perkakas, furnitur, kertas, dan seterusnya.

Selain karena potensi materialnya yang berlimpah, ada alasan lain yang tak kalah penting bagi dunia masa kini untuk terus mengolah kayu: keberlanjutan. Berbeda dari logam, yang bijihnya tak terbarukan, pohon-pohon senantiasa dapat ditanam dan tumbuh kembali.

Apabila berlangsung secara tertib, mulai dari memastikan “kebersihan” rantai suplai hingga menjalankan proses manufaktur yang bertanggungjawab terhadap lingkungan, pemanfaatan kayu oleh pelbagai industri menjanjikan harapan. Di Eropa, misalnya, menurut data Badan Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO), ada penambahan luas hutan 44 ribu kilometer persegi setiap hari karena, salah satunya, keberadaan industri pengolah kayu.

Ketertiban seyogyanya merujuk aturan. Di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 4 Tahun 2016, hutan tanaman industri harus dikelola dengan mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian hutan itu sendiri, kelestarian lingkungan, kelestarian produksi, dan fungsi sosial-budaya.

Infografik Pohon pohon bisa jadi apa

Infografik Pohon pohon bisa jadi apa?. tirto.id/Mojo

Tak Hanya Kertas

Kembali ke soal produk-produk olahan kayu, kebanyakan dari kita tentu tak asing dengan industri pulp dan kertas, yang menyediakan bahan pokok bagi produk-produk cetak seperti buku dan koran serta barang-barang keseharian seperti tisu, popok, dan karton kemasan minuman. Dan yang menakjubkan, berkat inovasi yang ajek, ragam produk olahan kayu terus bertambah banyak.

Kuncinya ialah selulosa, substansi kimiawi yang kurang-lebih merupakan setengah dari semua material padat berbasis tanaman. Ia berlimpah dan terbarukan, sehingga dapat jadi bahan baku yang tak terbatas. Dengan kata lain, wajar bila kini selulosa pada pulp—bubur serat yang disarikan dari kepingan-kepingan kayu—dipandang sebagai calon pengganti bahan-bahan mentah tak terbarukan yang kita gunakan hari ini.

Dengan proses kimiawi yang berbeda dari pembuatan kertas, selulosa dapat diolah menjadi campuran untuk pembuatan ban, kacamata, hingga serat rayon viskose, yang kini banyak digunakan sebagai bahan baku produk-produk busana. Apabila Anda berkunjung ke toko pakaian seperti H&M atau Pull and Bear, cobalah tengok label pada barang-barang yang dijual. Banyak di antaranya mencantumkan viskose sebagai bagian dari komposisi.

Penggunaan selulosa kayu untuk busana memang bukan hal baru (riwayatnya bisa dilacak hingga “sutra chardonnay” yang diciptakan pada akhir abad ke-19), tetapi ia semakin terlihat sebagai jalan keluar yang masuk akal di tengah peningkatan permintaan pasar atas produk-produk tekstil sementara kultivasi kapas, yang selama ini jadi andalan industri tekstil, dinilai membahayakan ekosistem.

Laporan Bisnis.commenunjukkan: industri tekstil dan produk tekstil, yang mencakup olahan serat selulosa, menyumbang USD2,4 miliar terhadap penerimaan Indonesia pada 2017. Laporan yang sama mengemukakan bahwa kapasitas produksi serat rayon dalam negeri terus meningkat, dari 8,7% total produksi dunia pada 2004 menjadi 11% dari total produksi dunia pada 2017.

Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), ada sejumlah alasan mengapa rayon viskose penting dan layak digunakan untuk hasil akhir yang berbeda-beda. Rayon viskose yang dicampur poliester sebagai bahan pakaian pria, misalnya, unggul karena berdaya serap tinggi, lembut di tangan, memiliki warna cerah, dan tahan terhadap pengolahan resin.

Contoh lain penggunaan rayon viskose adalah pada produk pakaian tipis dan pakaian dalam. Dari aspek produksi, penggunaan rayon viskose sebagai bahan baku pakaian tipis unggul karena hasilnya mudah dipintal dan dicelup. Sebagai bahan baku pakaian dalam, campuran rayon viskose dan kapas menghasilkan kualitas benang yang lebih baik dengan daya serap tinggi sekaligus mengurangi biaya penggunaan kapas.

Untuk produksi barang-barang medis, masih menurut API, penggunaan rayon viskose, baik secara murni maupun dicampur kapas, unggul karena hasilnya berdaya serap tinggi, tidak mudah kotor, memiliki benang yang lebih beraturan, dan menyerap cahaya lebih sedikit dibandingkan serat alami.

Sejumlah penghasil viskose penting dunia bekerja di Indonesia, seperti South Pacific Viscose, Rayon Utama Makmur, dan Asia Pacific Rayon (APR). Pabrik APR, misalnya, dengan kapasitas produksi hingga 240.000 ton per tahun, secara strategis sanggup mendukung tumbuh-kembang industri tekstil nasional serta mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Untuk memproduksi tekstil berbahan dasar kapas, Indonesia harus mengimpor semua bahan bakunya. Padahal, di sisi lain, industri nasional dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan bahan baku poliester hingga 80% dan serat rayon hingga 85%.

Seturut rencana “Making Indonesia 4.0", Indonesia ditargetkan masuk jajaran lima besar produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) di dunia pada tahun 2030.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meyakini industri TPT dalam negeri mampu bersaing di pasar internasional sebab struktur industrinya sudah terintegrasi, juga karena produknya dikenal bermutu baik. Tahun ini, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia ditargetkan tumbuh sebesar 13%, dengan nilai USD15 miliar.

Demi meningkatkan produksi serat sintetis, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan memacu pertumbuhan sektor hulu dalam tiga hingga lima tahun ke depan—meski tentu tak melupakan sektor-sektor lainnya.

Pemerintah bahkan, kata Airlangga, “telah menyiapkan langkah-langkah strategis agar industri TPT nasional siap memasuki era digital.”

Di atas segalanya, pemanfaatan viskose dalam industri tekstil membukakan berbagai peluang, baik dari segi pemenuhan kebutuhan konsumen maupun secara ekonomis, sembari memperkecil dampak terhadap lingkungan.

Selain menginspirasi untuk jadi bermanfaat seutuhnya, kisah-kisah pengolahan pohon semestinya jadi pengingat: kebutuhan memang terus bertambah, tetapi kita bisa memenuhi semuanya secara berkelanjutan, jika mengerti ke mana harus mencari dan luwes menghadapi perubahan.

Baca juga artikel terkait POHON atau tulisan lainnya dari Advertorial

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Advertorial
Editor: Advertorial