tirto.id - Setengah abad lalu, psikoanalisis berperan besar dalam pengajaran dan praktik psikiatri, serta dalam penanganan pasien dengan gangguan jiwa. Namun, hampir tidak ada teori ilmiah atau pengobatan medis yang bertahan lebih dari satu abad tanpa mendapat tantangan, atau paling tidak mengalami perubahan besar.
Demikian juga psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Sigmund Freud pada akhir abad ke-19. Kontroversial sejak awal, gagasan-gagasan Freud mengenai ketidaksadaran dan perkembangan jiwa pada masa kanak-kanak senantiasa dipertanyakan. (Paris, Joel. “Is Psychoanalysis Still Relevant to Psychiatry?” Canadian Journal of Psychiatry. Revue Canadienne de Psychiatrie, Vol. 62,5 (2017): 308-312).
Sigmund Freud pertama kali menggunakan istilah “psikoanalisis” pada 1896 sekaligus memperkenalkan mazhab baru yang ia rintis. Freud adalah ahli neurologi dari Wina yang ketika itu tengah mencari metode pengobatan yang efektif untuk pasien dengan gejala neurotik atau histeria. Menurut Freud, terdapat kondisi mental tidak sadar yang menjadi penyebab gejala-gejala tersebut.
Demi menggali apa yang terpendam dalam ketidaksadaran, seorang pasien biasanya mengikuti beberapa kali sesi dalam sepekan dengan masing-masing sesi berlangsung 50 menit—durasi klasik Freudian. Pasien akan berbaring di sofa dengan seorang analis berada di luar jangkauan pandangan si pasien. Dengan begini, pasien bisa lebih leluasa menyampaikan pikiran, hasrat, mimpi, dan fantasinya.
Setengah abad kemudian, Jacques Lacan mempertanyakan sesi “50-menit” itu. Bagi Lacan, bukan panjang sesinya yang penting. Selama seseorang berhasil menyampaikan apa yang terpendam di dalam dirinya, tiga atau lima menit pun jadi. Juga tidak perlu sofa, bahkan Lacan memperbolehkan tukang cukur ikut bergabung dalam sesinya. Apa pun Lacan lakukan demi menghadirkan suasana yang santai dan menenangkan bagi siapa pun yang mengikuti sesinya, meski terlihat ganjil sekalipun. Lacan juga tidak menyebut yang datang untuk dianalisis sebagai pasien, karena ia tidak ingin seseorang merasa dirinya sakit atau tidak normal. Bagi Lacan, satu-satunya syarat untuk datang ke sesinya adalah menjadi manusia.
Meski demikian, Lacan adalah pengusung sejati gagasan-gagasan Freud. Ia bahkan beroleh julukan “Freud-nya Prancis” lantaran dialah yang memopulerkan teori-teori Freud di Prancis sejak tahun 1930-an. Pada dekade 1950-an terjadi perubahan mendasar dalam pemikiran Lacan, yang menegaskan jihad tunggalnya merawat marwah Freudian ortodoks untuk melawan aliran psikoanalisis yang menurutnya sesat dari kelompok psikoanalisis post-Freudian. Ia melakukannya di bawah semboyan “kembali ke Freud.” Pada 1953, Lacan mulai mengadakan seminar berkala, mengusung apa yang ia sebut sebagai “ranah Freudian”.
Seminar atau LeSéminaire pertama Lacan mengangkat Freud’s Papers on Technique. Inilah awal mula kuliah terbuka legendaris yang berlangsung tanpa putus selama 27 tahun hingga ujung usia Lacan. Pada dasawarsa pertama, leSéminaire hanya diminati oleh para praktisi psikoanalisis. Namun sejak 1964, peserta seminar Lacan kian membludak dengan latar belakang beragam, dari ilmuwan nonklinis, filsuf, hingga seniman. LeSéminaire pun mewujud sebagai simpul intelektual kaum terpelajar Paris yang mempertemukan nama-nama paling cendekia dalam semesta pemikiran Prancis pascaperang.
Pemikir-pemikir seperti Michel Foucault, Gilles Deleuze, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva kerap menghabiskan waktu menyimak kuliah Lacan dalam leSéminaire. Dengan hadirin yang beragam, dengan lincah Lacan menjadikan psikoanalisis dapat menyelinap dalam ruang percakapan sejarah filsafat, fenomenologi, eksistensialisme, strukturalisme, dan feminisme. Intinya, apa pun disiplin ilmunya, psikoanalisis selalu relevan untuk masuk.
Dapat dipastikan tidak ada filsuf besar Prancis generasi 1960-1970an yang tidak mengenal analisis Freud, karena mereka semua—dengan derajat yang berbeda-beda—terpapar dan terpengaruh oleh LeSéminaire Lacan. (Johnston, Adrian, “Jacques Lacan”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), Edward N. Zalta (ed.)
Dekade 1960-an merupakan masa paling produktif Lacan. Kumpulan artikel dan makalahnya, terutama dalam leSéminaire, yang mencakup pemikirannya sejak 1936, dibukukan pada 1966 dalam Écrits. Sebulan setelah terbit, magnum opus 900 halaman ini terjual hingga 10.000 eksemplar di Prancis. Ketebalannya yang intimidatif tidak menghalangi orang untuk berusaha menyelami alam pemikiran Lacan.
Dua tahun sebelumnya pada 1964, Lacan mendirikan L'École Freudienne de Paris (EFP, Sekolah Freudian), namun kemudian ia bubarkan pada 9 Januari 1980. Alasannya, EFP gagal mematuhi ketatnya prinsip-prinsip Freudian. Pembubaran EFP menimbulkan gejolak dan perpecahan selama berbulan-bulan di antara para pengajar serta pengikutnya, Lacanian. Sebagai gantinya, pada 21 Februari 1980, Lacan mengumumkan pendirian La Cause freudienne.
Ketika menghadiri sebuah konferensi internasional di Caracas pada Juli 1980, Lacan mengumumkan, “Saya ke sini sebelum peresmian La Cause freudienne. Terserah Anda jika ingin menjadi Lacanian, saya tetap seorang Freudian.” (Patel, Ankit. “Person of the Month: Jacques Lacan (1901-1981)”, The International Journal of Indian Psychology, Volume 3, Issue 4, September 2016, hlm. 12).
Perdebatan dan Peninggalan
Bergelar sebagai “psikoanalis paling kontroversial sejak Freud”, warisan Lacan tidak melulu kontroversi. Penolakannya melakukan sesi standar 50-menit memang membuatnya dikeluarkan dari keanggotaan International Psychoanalytical Association dengan tuduhan praktik menyimpang, selain tuduhan memperkaya diri karena ongkos sesinya tetap mahal meski singkat.
Bagi Lacan, durasi tidak relevan. Ia yakin bahwa fungsi analisis adalah untuk menafsirkan pesan-pesan ketidaksadaran yang terpendam sejak masa kanak-kanak. Penekanan pada bahasa ini juga yang membuat Lacan memperkenalkan kajian bahasa dalam teori psikoanalisis.
Namun perdebatan di abad ke-21 mengenai psikoanalisis lebih dari sekadar durasi ideal sebuah sesi terapi. Pada tahun 2009, British Journal of Psychiatry menurunkan sebuah laporan atas perdebatan sengit antara Lewis Wolpert, ahli biologi anggota Royal Society Inggris, dengan Peter Fonagy, psikoanalis klinis. Judul laporannya menciutkan hati psikoanalis mana pun, “There is no place for the psychoanalytic case report in the British Journal of Psychiatry”—tak ada tempat untuk laporan kasus psikoanalitik di dalam British Journal of Psychiatry.
Wolpert sangat yakin bahwa psikoanalisis sama sekali tidak memenuhi kaidah ilmiah dan karenanya tidak layak mendapat tempat di dalam jurnal tersebut, Fonagy menerima kritikan Wolpert secara lebih terbuka. Justru Fonagy mendorong bahwa kajian mendalam tentang manusia semestinya dilakukan dengan menggabungkan metode-metode baru dalam neurosains, genetika molekul, dan ilmu sosial. (Wolpert L, Fonagy P. There is no place for the psychoanalytic case report in the British Journal of Psychiatry. Br J Psychiatry. 2009;195(6):483–487).
Dengan segala keterbatasannya, psikoanalisis telah memberi sumbangsih penting dalam psikiatri dan psikologi, bahkan juga pada ilmu sosial dan humaniora, yang akarnya bisa ditelusuri kembali hingga Freud. Dalam setengah abad kontribusinya, keberhasilan terbesar Lacan adalah menafsirkan pemikiran-pemikiran Freud dan menyebarluaskannya hingga akhir hayat.
Kuliah di Caracas di mana ia menegaskan bahwa dirinya seorang Freudian, bukan Lacanian, ternyata merupakan kuliah terakhirnya. Kesehatannya memburuk sekembalinya dari India, dan ia meninggal setahun kemudian pada 9 September 1981, tepat hari ini 40 tahun lalu, dalam iman Freudian.
Editor: Irfan Teguh