tirto.id - Kongres PSSI yang berlangsung di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11/2019) pekan lalu semakin menandai kentalnya nuansa aparat dalam tubuh federasi sepakbola Indonesia ini. Jika pada kongres tiga tahun lalu Edy Rahmayadi jadi satu-satunya, di kongres kali ini tak tanggung-tanggung: tiga orang dari latar belakang kepolisian dan militer merapat ke forum eksekutif.
Komjen Pol Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, yang sejak awal digadang-gadang bakal memenangkan kongres dengan mudah, keluar sebagai Ketua Umum PSSI yang baru. Jumlah dukungannya, 82 suara dari total 85 pemilih, membuat Iwan tak tertandingi.
Langkah Sestama Lemhannas itu diikuti dua orang berpangkat Mayor Jenderal dari TNI, Cucu Soemantri dan Sonhadji. Cucu yang sejak awal mendaftar sepaket bersama Iwan terpilih sebagai Wakil Ketua Umum, sementara nama terakhir secara mengejutkan masuk dalam deretan anggota komite eksekutif (exco) yang baru.
Namun, PSSI bukan satu-satunya organisasi yang hingga saat ini dipimpin orang dengan latar belakang aparat. Dari keseluruhan induk olahraga aktif yang dipayungi oleh KONI, hari ini tercatat 16 di antaranya dipimpin oleh ketua umum dengan latar belakang kepolisian atau militer—baik aktif maupun nonaktif.
Organisasi-organisasi tersebut adalah: Asosiasi Bola Tangan Indonesia (ABTI), Federasi Hockey Indonesia (FHI), Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI), Persatuan Drum Band Indonesia (PBDI), Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI), Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (Porlasi), Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Indonesia (Perbakin), Indonesia Woodball Association (IWBA), Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI), Taekwondo Indonesia (PBTI), sampai Federasi Olahraga Kabbadi Seluruh Indonesia (FOKSI).
Ada pula sejumlah organisasi cabor populer yang tidak luput dari pengaruh orang-orang kepolisian dan tentara. Misalnya Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang dipimpin pensiunan jenderal Wiranto, Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) pimpinan Komjen Pol (purn) Imam Sudjarwo, serta Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) yang dinakhodai Brigjen Pol Johni Asadoma.
Berikut daftar lengkap nama-nama tersebut:
- PB FASI: Marsekal TNI Yuyu Sutrisna (TNI)
- PP Pertina: Brigjen Pol Drs Johni Asadoma (Polisi)
- PB Forki: Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (TNI)
- PP PBVSI: Komjen Pol Purn Imam Sudjarwo (Polisi)
- PBSI: Wiranto (TNI)
- PB PBDI: Kombes Pol Djoko Sarwoko (Polisi)
- PB PJSI: Purn Jenderal TNI Mulyono (TNI)
- PB Porlasi: Laksamana Muda TNI Darwanto (TNI)
- Perbakin: Letjen TNI Joni Supriyanto (TNI)
- PB ABTI: Mayjen TNI Dody Usodo Hargo (TNI)
- IWBA: Mayjen TNI Purwadi Mukson (TNI)
- PP FHI: Brigjen TNI Yus Adi Kamrullah (TNI)
- POSSI: Majyen TNI Purn Buyung Lalana (TNI)
- PSSI: Komjen Pol Mochamad Iriawan (Polisi)
- PB TI: Letjen TNI Purn Thamrin Marzuki (TNI)
- PP FOKSI: Brigjen TNI (Purn) I Gusti Bagus Alit (TNI)
Tak Ada Aturan yang Membatasi
Maraknya orang kepolisian dan militer berkecimpung di induk olahraga tidak lepas dari minimnya regulasi dari pusat yang melarang praktik rangkap jabatan.
Pemerintah sebenarnya punya aturan Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), yang melarang pengurus olahraga rangkap jabatan. Namun sayang, pasal ini cuma berlaku untuk pengurus KONI pusat dan daerah. Artinya, aturan tersebut sama sekali tidak mengikat 64 induk cabor yang berada di bawah naungan KONI.
Sebenarnya menteri pemuda dan olahraga sebelum Zainudin Amalai, Imam Nahrawi, sempat dua kali mewacanakan penerbitan Peraturan Menteri untuk menanggulangi kekosongan hukum tersebut. Wacana paling besar muncul ketika PSSI hendak menghelat kongres yang banyak diikuti pejabat dan militer—baik yang aktif maupun nonaktif—pada 2016 lalu.
“Memang ada rencana pengaturan seperti itu, pembentukan Permen,” kata Sesmenpora Gatot S Dewabroto kala itu, seperti dilansir Republika.
Tapi sayang, wacana matang itu berhenti di tengah jalan.
Saat dikonfirmasi lagi, menurut Gatot tidak terealisasinya wacana tersebut disebabkan faktor waktu dan kekhawatiran apabila hasilnya justru rancu dengan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
“Maka untuk sementara, kami hanya mengandalkan kepatutan calon-calon yang dari pemerintah, pejabat [polisi] maupun militer, agar janganlah merangkap jabatan,” ujar Gatot.
Selain kepatutan alias kesadaran para calon agar tak rangkap jabatan, Kemenpora juga bergantung pada komitmen masing-masing induk cabor untuk merapikan diri masing-masing.
“Kami tidak ingin ikut campur dalam urusan domestik setiap Cabor. Silakan mengatur diri masing-masing, kalau ada masalah lapor ke KONI, kalau tidak tuntas baru ke Kemenpora,” kata Menpora baru Zainudin Amali dalam pidatonya di Kongres PSSI, Sabtu (2/11/2019) lalu.
Sayangnya, harapan agar komitmen itu muncul tak berbalas. Jangankan membatasi agar orang-orang yang sudah punya jabatan struktural tidak merangkap, beberapa induk olahraga justru merasa senang bukan main ketika pejabat, polisi, atau orang militer berbondong-bondong ingin bergabung.
Saat mengumumkan daftar calon ketua umum, Oktober lalu misal, Ketua Komite Pemilihan (KP) PSSI, Syarif Bastaman berujar, “saya senang, antusiasme masyarakat tinggi. Banyak dari politikus, polri, dan TNI mendaftar.”
Pandangan Lawas & Cari Mudah
Selain faktor tidak adanya regulasi yang membatasi, pengamat hukum olahraga, Eko Noer Kristiyanto menilai fenomena maraknya polisi dan militer mengurus induk cabor juga tidak lepas dari pandangan lama: pemimpin yang tegas adalah mereka yang berpengalaman pegang senjata.
“Contoh di PSSI, kita yang anak muda ingin perubahan tapi enggak punya suara. Voters, barangkali masih menilai sosok tegas dan disiplin adalah mereka yang dari militer. Saya yakin jika kemarin ada [caketum PSSI] dari militer pasti akan menang, tapi karena adanya pak Iwan, beliau jadi sosok berseragam penggantinya,” tutur Eko kepada reporter Tirto lewat sambungan telepon, Rabu (6/11/2019).
“Hal seperti itu tentu berlaku di tempat lain. Di KONI pun ketuanya juga orang dari militer, dan ini sudah tradisi lama,” imbuh pria yang biasa dikenal dengan sebutan Eko Maung tersebut.
Stigma lawas itu semakin tak terbendung lantaran kini, pada jabatan pemerintah non-olahraga pun kian marak fenomena polisi dan militer menduduki tampuk kepemimpinan. Padahal, dengan lembaga-lembaga non-olahraga ini pula induk-induk cabor harus berurusan.
Dalam kasus sepakbola misal, Inpres Jokowi tentang percepatan pembangunan sepakbola nasional mengatur agar PSSI bersinergi dengan total 15 kementerian dan Pemda. Banyak di antara 15 pihak tersebut yang kini dipimpin orang berlatar kepolisian dan militer.
Sebut saja Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Tito Karnavian, Kementerian Agama yang dipimpin Fachrul Razi, atau Kementerian Kesehatan pimpinan Terawan Agus Putranto. Itu belum termasuk para gubernur dan wali kota di seluruh Indonesia—juga diatur dalam Inpres—yang beberapa di antaranya juga bekas polisi atau TNI.
“Pada akhirnya kita enggak bisa salahkan juga. Voters PSSI atau pemilih di cabor lain mungkin berpikir dengan pemimpin dari militer atau kepolisian, mereka akan mudah koordinasi dengan lembaga pemerintahan terkait,” pungkas Eko.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz