Menuju konten utama

Isu Radikalisme dan Konflik SARA Perberat Beban Perekonomian

Isu radikalisme dan konflik SARA menambah beban risiko perekonomian Indonesia

Isu Radikalisme dan Konflik SARA Perberat Beban Perekonomian
Wakil Presiden Jusuf Kalla (ketiga kanan) didampingi Menkeu Sri Mulyani (ketiga kiri), Gubernur BI Agus Martowardojo (kedua kiri), Dirut Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio (kanan), Ketua Dewan Komisaris OJK Muliaman D Hadad (kedua kanan), dan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida membuka perdagangan saham hari pertama 2017 di BEI, Jakarta, Selasa (3/1/2017). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bobby Hamzar Rafinus mengatakan isu radikalisme dan ancaman konflik berbasis SARA (Suku, Ras, Agama dan Antargolongan) di Indonesia, yang merebak akhir-akhir ini, bisa membebani performa ekonomi nasional di tahun 2017.

Sebagai contoh, menurut dia, mencuatnya isu radikalisme dan konflik SARA pada tahun lalu ternyata mudah mendorong kemunculan sentimen negatif dari para investor di pasar modal dan keuangan Indonesia. Akibatnya, nilai rupiah mudah tertekan begitu isu-isu tersebut mengemuka.

"Kami melihat masalah SARA dan radikalisme memang masih (memengaruhi) pada tingkat sentimen, (meskipun) belum mempengaruhi ke performa ekonomi secara umum," kata Rafinus, dalam diskusi "SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017" di Graha CIMB Niaga, Jakarta, pada Senin (23/1/2017) seperti dikutip Antara.

Gangguan yang dimunculkan oleh isu radikalisme dan konflik Sara tersebut, menurut Rafinus, akan semakin menambah beban ekonomi nasional yang sedang menghadapi risiko ketidakpastian global.

Apalagi, apabila pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump benar-benar mempraktikkan kebijakan perdagangan yang proteksionis dan berakibat pada merosotnya ekspor nasional.

"Kami melihat aspek global lebih mengancam. Kemungkinan volatilitas nilai rupiah akan lebih tinggi di 2017," ucap dia.

Harga Komoditas Janjikan Pertumbuhan

Meskipun demikian, perekonomian Indonesia masih menyisakan peluang harapan untuk tumbuh lebih baik ketimbang tahun lalu.

Di tempat lain, Ekonom senior Standard Chartered, Aldian Taloputra berpendapat kenaikan harga komoditas global berpeluang besar akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017. Dia optimistis pertumbuhan nasional bisa mencapai 5,3 persen.

"Harga komoditas tidak hanya membantu ekspor, namun juga menolong daya beli masyarakat dan belanja pemerintah," kata Aldian.

Aldian mengatakan kenaikan harga komoditas seperti minyak bumi, gas, kelapa sawit dan batu bara bisa meningkatkan nilai ekspor migas yang sempat merosot di beberapa tahun belakangan. Selain itu, kenaikan harga komoditas juga akan memicu peningkatan daya beli masyarakat dan mengerek nilai konsumsi rumah tangga, terutama di daerah-daerah penghasil tambang.

"Harga komoditas kelihatannya masih akan terus meningkat dan ini menolong daya beli masyarakat di daerah atau provinsi yang menghasilkan komoditas (tambang) itu," ujar Aldian.

Dia juga optimistis pertumbuhan ekonomi bisa dikerek oleh massifnya pembangunan infrastruktur serta keberhasilan pemerintah memaksimalkan target penerimaan dari pajak.

Sayangnya, Aldian memperkirakan investasi swasta, terutama dari asing, belum bisa tumbuh maksimal di tahun 2017. Karena itu, dia menyarankan pemerintah segera bergiat melakukan reformasi struktural dan berbagai upaya lain untuk menciptakan iklim bisnis yang bersahabat.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hard news
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom