tirto.id - Petisi tolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen di Change.org per-Jumat (20/12/2024) sudah ditandatangani lebih dari 147 ribu kali hingga pukul 09.45 WIB. Petisi tersebut berisi penolakan PPN 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
Pemerintah meresmikan kenaikan PPN menjadi 12 persen, pada Senin (16/12/2024) lalu dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Jakarta. Dengan demikian, pemerintah tetap mengesahkan aturan dalam Undang-Undang (UU) 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Disebutkan dalam BAB IV Pasal 7 Ayat 2, kenaikan PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Sebelum itu, pemerintah sudah menaikan PPN dari 10 persen ke 11 persen pada 2022 silam. Artinya, dalam kurun kurang dari 5 tahun, terjadi kenaikan PPN 2 persen.
“Sesuai dengan amanah Undang-Undang tentang Harmoni Peraturan Perpajakan, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari (2025),” kata Menteri Koordinator (Menko) RI bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (16/12/2024).
Kenaikan PPN ditanggapi beragam oleh sejumlah pihak. Tak sedikit yang menolak kebijakan pemerintah tersebut. Salah satunya melalui petisi di Change.org yang pertama kali pada Kamis (19/12/2024) lalu. Apa isi petisi penolakan PPN 12 persen tersebut?
Isi Petisi Tolak PPN Naik jadi 12% dan Link untuk Tanda Tangan
Penolakan terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, berujung pada pembuatan petisi ‘Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!’ yang mulai diluncurkan pertama kali sejak Kamis (19/12/2024).
PPN naik 2 persen kurang dari 5 tahun terakhir. Terbaru, PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang akan berlaku untuk PPN atas Bahan Makanan Premium, PPN atas jasa pendidikan premium, PPN atas jasa pelayanan kesehatan media premium, Pengenaan PPN untuk listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA.
Meski kenaikan PPN tidak berimbas langsung ke kebutuhan barang-jasa strategis, namun petisi tersebut mengkhawatirkan PPN 12 persen akan tetap memiliki dampak pada kenaikan harga sejumlah barang-jasa lain. Akibat selanjutnya, disebut juga bisa berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
“Naiknya PPN yang juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli. Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas,” isi petisi ‘Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!’
Kekhawatiran lain ialah soal pengangguran yang bisa saja meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, jumlah pengangguran berada di angka 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.
Sementara, petisi itu juga menyayangkan masih rendahnya Upah Minimum Provinsi (UMP), yang sejauh ini didasarkan pada rumus Peraturan Pemerintah (PP) 51/2023 tentang Perubahan PP 36/2021. Sebab, sebagian UMP masih dianggap di bawah standar pemenuhan kebutuhan hidup layak.
Petisi itu mengacu pada data BPS tahun 2022, yang menunjukan kebutuhan di kota seperti Jakarta dapat dipenuhi dengan uang sekitar Rp14 juta setiap bulannya. Sedangkan UMP Jakarta di tahun 2024 hanya di angka Rp5,06 juta rupiah. Di sisi lain, tak sedikit pekerja yang mendapatkan gaji di bawah UMP itu.
“Urusan pendapatan atau upah kita juga masih terdapat masalah. Masih dari data BPS per Bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Trennya sempat naik di tahun 2022, namun kembali menurun di tahun 2023. Tahun ini selisihnya hanya 154 ribu rupiah,” tulis petisi itu.
“Atas dasar itu, rasa-rasanya Pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP. Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana,” tutup petisi penolakan PPN 12 persen.
Berikut ini tautan petisi tolak PPN 12 persen di Change.org:
LINK PETISI PENOLAKAN KENAIKAN PPN MENJADI 12 PERSEN
Pro-Kontra PPN 12 Persen per-1 Januari 2025
Pro kontra mewarnai pengesahan kebijakan pemerintah dalam menaikan PPN 1 persen menjadi 12 persen per-1 Januari 2025. Dalam mengurangi dampak tersebut, pemerintah telah menyiapkan sejumlah stimulus yang terdiri dari paket stimulus ekonomi untuk rumah tangga, pekerja, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hybrid, serta sektor perumahan.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, mengingatkan bahwa sejumlah bantuan yang diberikan pemerintah masih belum cukup.
Salah satu yang menjadi sorotannya ialah pemberian stimulus rumah tangga, seperti diskon tarif Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar 50 persen yang berlaku di 2 bulan pertama 2025.
“Itu sebetulnya bagus, karena (kebijakan) itu sudah menyasar kelas (menengah), tapi sayangnya (hanya) dua bulan gitu,” ucapnya dikutip dari Antara, Rabu (18/12/2024).
Faisal turut menyoroti stimulus yang diberikan ke industri padat karya, di antaranya ialah pembiayaan revitalisasi mesin produktivitas dengan subsidi bunga 5 persen. Lalu juga insentif Pajak Pajak penghasilan (Pph) yang Ditanggung Pemerintah serta bantuan 50 persen untuk jaminan kecelakaan kerja pada sektor padat karya selama 6 bulan.
Faisal menuturkan, hal itu masih belum cukup. Sebab, daya beli masyarakat sendiri masih lemah. Akibatnya, daya beli masyarakat yang dinilai masih lemah itu belum cukup untuk menjaga industri dalam negeri, yang akibatnya bisa berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan.
Selain itu, ia mengatakan pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat melindungi produk-produk dalam negeri agar permintaannya tidak semakin menurun. Faisal mengingatkan, bahwa produk-produk dalam negeri harus mampu bersaing dengan gempuran impor terutama dari China.
“Karena di sana (China) sendiri kan ada subsidi, ada dumping bahkan begitu ya. Belum lagi yang masuk lewat cara tidak benar, nah masalahnya kan masuknya itu bukan hanya legal, tapi juga ilegal,” imbuh Faisal.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani mengatakan bahwa kebijakan pemerintah kali ini sudah sesuai azas keadilan, keberpihakan kepada masyarakat serta gotong royong.
"Setiap tindakan untuk memungut (pajak) harus dilakukan berdasarkan undang-undang. Dan bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi atau bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir. Ini azas keadilan yang akan kita coba terus. Tidak mungkin sempurna tapi kita coba mendekati untuk terus menyempurnakan dan memperbaiki," ucap Sri Mulyani.
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Dipna Videlia Putsanra