Menuju konten utama

Ironi Kicauan Fahri

"Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela." Kata Fahri Hamzah. Dari para "babu" inilah negeri tempat Fahri Hamzah tinggal menangguk devisa hingga Rp97 triliun.

Ironi Kicauan Fahri
Tenaga kerja Indonesia (TKI) tiba di Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta. FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Insiyah tertunduk lesu. Laporannya ke Polsek Kebayoran Lama dan Polres Jakarta Selatan ditolak 29 November 2016 silam. Pekerja Rumah Tangga (PRT) ini mengadu karena majikannya tidak membayar upahnya selama lebih dari satu tahun.

PRT berusia 56 tahun yang bekerja di kawasan Pondok Indah ini harus hidup dalam kegelapan secara harfiah. Listrik kediaman majikannya sudah diputus karena tagihan listrik tidak pernah dibayar. Majikan Insiyah yang merupakan pasangan Australia-Indonesia memang hanya menetap di rumah setidaknya tiga kali dalam seminggu. Sekalipun begitu, Insiyah tidak pernah luput mengerjakan kewajibannya sebagai PRT.

Sayang, setiap meminta hak upahnya, Insiyah hanya diberi janji sampai 13 bulan lamanya. Dan selama itu pula Insiyah hidup hanya dari sumbangan sembako tetangga-tetangganya.

Laporan dugaan tindak pidana penggelapan upah dalam hubungan kerja Insiyah kemudian ditolak begitu saja. Ketiadaan dokumen-dokumen resmi atau bukti hitam di atas putih yang menyatakan bahwa ada hak Insiyah yang dilanggar juga tidak ada. Ketiadaan legalitas inilah yang kemudian membuat nasib Insiyah begitu rentan terhadap ketidakadilan.

Bahkan tidak perlu sampai tahap terjadinya kekerasan, mekanisme dan regulasi yang melindungi PRT kurang mendapatkan porsi yang cukup karena kontrak kerjanya yang terkesan informal.

Kontrak kerja yang terkesan informal ini yang barangkali membuat Fahri Hamzah menganggap bahwa pekerjaan ini tidak ada bedanya dengan “mengemis”. Di akun twitternya @fahrihamzah, Wakil Ketua DPR RI ini menulis: “Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela…”. Cuitan langsung banyak direspons nitizen.

Istilah “babu” memang bukan istilah yang salah dalam ciutan Fahri Hamzah. Sekalipun kebenaran memang tidak selalu berbanding lurus dengan kebaikan, babu memang diksi yang benar menurut KBBI untuk menyebut pembantu (pelayan) di rumah tangga.

Jika ada yang membuat ciutan tertanggal 24 Januari 2017 ini begitu ramai dikomentari karena Fahri Hamzah menggunakan diksi “mengemis”. Penggunaan istilah inilah yang kemudian banyak disayangkan.

Pekerjaan yang dikatakan Fahri Hamzah sebagai “pengemis” itu pada kenyataanya termasuk memiliki kontribusi besar dalam remitansi negara dengan nilai mencapai 7,48 miliar dolar AS atau senilai Rp97 triliun pada tahun lalu (data sampai Oktober 2016). Bahkan nilai sebesar itu terhitung lebih rendah dari tahun 2015 yang mencapai angka 9,42 miliar dolar AS atau sekitar Rp144,95 triliun.

Duit kiriman para "pengemis" itu bisa mendanai 82.203 orang calon anggota legislatif seperti Fahri Hamzah, yang ingin duduk di kursi DPR RI. Paling tidak, menurut hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, rata-rata caleg DPR mengeluarkan dana sebesar Rp1,18 miliar untuk Pemilu 2014 lalu.

Tidak berselang lama, ciutan itu pun dihapus oleh anggota DPR yang dipecat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada April tahun lalu.

Infografik Pekerjaan Migran Selalu Dikecilkan

Fahri Hamzah seperti tidak belajar dari Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, yang sempat bermuka masam saat salah ucap mengomentari TKI. Adalah Anggota Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka yang menegur keras ucapan Lembong yang menyebut TKI bisa diekspor pada Rapat Kerja Komisi VI DPR RI, 1 Juni 2016 lalu.

Situasi panas ini tak pelak membuat Rieke geram karena penggunaan istilah “ekspor” menyamakan TKI dengan barang. “Berarti sama saja dengan human trafficking dan ini melukai hati seluruh TKI kita,” sergah Rieke waktu itu.

Lembong pun dengan segera meminta maaf dan mencabut omongannya. Pada kesempatan berikutnya, Lembong malah memuji TKI yang merupakan pahlawan devisa negara.

Di sisi lain, jika ingin membaca kicauan ini secara positif, pertama, barangkali ciutan Fahri Hamzah ini merupakan kritik terhadap isu serbuan Tenaga Kerja Asing (TKA)—khususnya dari Tiongkok—yang di berbagai informasi “hoax” mencapai angka jutaan. Sayangnya, data dari Kementerian Ketenagakerjaan, pekerja dari Tiongkok ini hanya ada di angka 21.271 orang.

Apalagi menurut Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah pekerja Tiongkok yang ada di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah TKI yang bekerja di Tiongkok. Ada sekitar 169 ribu pekerja dari Indonesia yang menyerbu Tiongkok (termasuk Hongkok dan Macau). Ini sepuluh kali lipat dari pekerja Tiongkok yang di Indonesia.

“Indonesia-lah yang sebenarnya menyerang Tiongkok dari sisi tenaga kerja, bukan sebaliknya,” katanya.

Kedua, dengan banyaknya TKI yang lebih memilih bekerja di luar negeri itu bisa ditafsirkan bahwa jumlah lapangan pekerjaan di dalam negeri begitu minim. Dan bisa jadi Fahri Hamzah memang mengritik sempitnya kesempatan mendapatkan kerja dan semakin banyaknya pengangguran di Indonesia.

Lagi-lagi, data dari Sakernas membantah hal itu. Sejak 2014 (artinya sejak Pemilu) jumlah pengangguran di Indonesia menurun pada 2016 dari angka 5,94% menjadi 5,61%. Persentase yang terlihat kecil ini cukup signifikan dengan bertambahnya lapangan pekerjaan sampai di angka 210.000 di dalam negeri sendiri hanya dalam rentang satu tahun.

Ketiga, Fahri Hamzah tentunya tak perlu khawatir jika menilai bahwa “pengemis” Indonesia yang dikirim ke luar negeri cukup banyak. Sebab dari tahun ke tahun tren ini mengalami penurunan. Jumlah TKI di Indonesia sejak 2011 relatif mengalami penurunan sampai di kisaran 35%. Belum lagi rencana pemerintah untuk menutup akses pengiriman TKI sebagai PRT yang akan dihentikan pada 2018 untuk beberapa negara Timur Tengah.

Masalahnya, kicauan ini justru menjadi boomerang karena Fahri Hamzah adalah bagian dari pembuat kebijakan dan tidak segera menyelesaikan Revisi UU TKI yang menurut Direktur Migrant Care, Anis Hidaya lewat kicauannya masih jalan di tempat sejak 2010.

Belum lagi dengan RUU Perlindungan PRT yang sampai saat ini belum juga disahkan oleh DPR. Jika sudah disahkan, kasus seperti Inayah—seperti di awal tulisan—yang tidak mendapatkan payung hukum memadai, semestinya bisa dihindari. Hubungan antara majikan dengan PRT akan lebih profesional tanpa menghilangkan kedekatan hubungan kekeluargaannya.

Dengan adanya perjanjian kerja yang resmi, PRT juga akan lebih terikat dengan tanggung jawab dalam bekerja. Sehingga jika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, persoalan hukum akan lebih terang untuk kedua belah pihak.

Undang-undang ini tidak hanya akan berguna untuk PRT seperti Insiyah di dalam negeri, namun juga memiliki fungsi untuk melindungi PRT yang bekerja di luar negeri. Selama ini, Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang kuat dengan negara tujuan pengiriman PRT karena di dalam negeri sendiri tidak ada undang-undang yang melindungi PRT secara jelas.

Kondisi yang berbeda dengan PRT dari Filipina, India, atau Tiongkok yang diperlakukan lebih baik di negara tujuan karena UU tentang Perlindungan PRT sudah ada di negara asal, sehingga posisi tawar negara-negara ini juga tinggi ketika terjadi kasus-kasus hukum yang dialami oleh tenaga kerja dari negaranya masing-masing.

Ironisnya, Fahri Hamzah sendiri yang berada di posisi pengambil kebijakan untuk mengesahkan RUU perlindungan “pengemis” tersebut.

Baca juga artikel terkait TKI atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti