tirto.id - Bojonegoro kini menjadi primadona baru setelah pudarnya pesona Riau sebagai penghasil minyak utama Indonesia. Bojonegoro menjadi incaran setelah ditemukannya lapangan Banyu Urip Blok Cepu yang merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia saat ini. Sebanyak 2/3 Blok Cepu berada di wilayah Bojonegoro.
Potensi potensi minyak mentah diperkirakan lebih besar dari data yang ada. Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi saat mendampingi Menteri ESDM Ignasius Jonan berkunjung di Blok Cepu, 27 Januari 2017 lalu menyatakan, penelitian terbaru cadangan minyak mentah lapangan Banyu Urip sekitar 520 juta barel dan ada kemungkinan cadangannya sekitar 729 juta barel.
Artinya jika puncak produksi 185 ribu barel per hari yang dicapai tahun 2016, maka cadangan minyak itu akan habis sekitar 11 tahun jika benar mencapai 729 juta barel. Ini tentu bukan waktu yang lama untuk menikmati surga sebagai “Kabupaten Petro Dolar”. Jika tidak bisa memanfaatkan sumber dayanya secara optimal, bukan tidak mungkin Bojonegoro akan mengalami kondisi seperti daerah lain yang kaya sumber daya tetapi terbelit kemiskinan dan pengangguran.
Bojonegoro perlu berkaca dengan yang terjadi di Riau. Cadangan minyak menipis, tetapi hasilnya belum mampu menjadikan Riau sebagai daerah yang makmur. Hal ini nampak dari indikator pengangguran terbuka di Riau pada 2015 yang mencapai 7,38 persen atau lebih tinggi dari rata-rata pengangguran terbuka nasional sebesar 6,18 persen. Angka pengangguran di Riau adalah terburuk kedua di Sumatera. Begitu pula pada indikator penduduk miskin yang pada tahun 2015 juga meningkat menjadi 8,82 persen. Angka ini memang lebih baik dari angka kemiskinan nasional yang mencapai 11,13 persen pada 2015.
Terbelit Kemiskinan dan Pengangguran
Bojonegoro sendiri kini kondisinya masih nyaris tak berbeda dengan Riau. Kota yang dikenal dengan sebutan “Laskar Angkling Darmo” ini pada tahun 2016 memiliki APBD sebesar Rp3,6 triliun, yang merupakan terbesar kedua di Jawa Timur setelah Kota Surabaya, mengalahkan Malang, Sidoarjo dan Gresik. Adapun pada tahun 2015, realisasi APBD Bojonegoro mencapai Rp2,8 triliun, dengan rincian dana bagi hasil yang berhubungan terkait migas mencapai Rp842 miliar atau sebesar 30 persen dari total APBD. Jika dihitung berdasarkan dana transfer pemerintah pusat ke Bojonegoro (termasuk DAU dll) totalnya mencapai Rp1,958 triliun atau sebesar 65,3 persen. Nampak ketergantungan APBD Bojonegoro pada transfer dana dari pusat dengan kontribusi PAD hanya sebesar R 337 miliar atau 11,23 persen.
Melimpahnya anggaran daerah tidak berimbas pada perbaikan ekonomi masyarakat. Pada tahun 2015 angka kemiskinan di Bojonegoro justru naik menjadi 15,71 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar 15,48 persen. Angka ini jauh di atas angka kemiskinan nasional. Imbasnya adalah Kabupaten Bojonegoro masuk peringkat 9 Kabupaten paling miskin di Jawa Timur, dari 29 Kabupaten dan 9 Kota.
Bojonegoro perlu terobosan dalam memanfaatkan APBD, selain mengentaskan kemiskinan dalam jangka pendek. Juga bagaimana menciptakan multiplier effect yang berkesinambungan, sehingga pada saat kontribusi minyak habis, sudah mampu menciptakan kemandirian ekonomi di Bojonegoro. Selain mengincar dana bagi hasil minyak, ada baiknya pelaksanaan CSR didorong untuk lebih memberdayakan ekonomi masyarakat Bojonegoro. Sentuhan CSR selama ini masih pada taraf "charity" dan belum dimanfaatkan untuk bisa mendorong ekonomi masyarakat sehingga keluar dari kemiskinan.
Dari sisi dana pendidikan, Bojonegoro sebenarnya mengalokasikan dana yang cukup besar. Pada tahun 2016 total anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro mencapai Rp 907,8 miliar atau sudah mencapai 25% dari total APBD, melebihi amanat konstitusi sebesar 20%.
Sayangnya, porsi anggaran terbesar di dinas pendidikan Bojonegoro untuk belanja gaji yang mencapai Rp 834 miliar atau sekitar 92 persen dari keseluruhan anggaran. Akibatnya alokasi belanja langsung pendidikan hanya sekitar Rp73,8 miliar. Tentu untuk Kabupaten yang memiliki luas wilayah nomor 4 di Jawa Timur dengan jumlah penduduk 1.249.578 dan siswa pendidikan SD sd SMA yang sederajat sebanyak 234.160 orang, maka anggaran langsung sektor pendidikan sangat minim. Akibatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Bojonegoro termasuk rendah dibandingkan rata-rata nasional. IPM Bojonegoro di tahun 2015 sebesar 66,17 persen, sedangkan IPM rata-rata nasional mencapai 69,55 persen.
Selain itu, sebagai daerah penghasil minyak terbesar, mestinya Bojonegoro mampu meningkatkan kualitas pendidikan tidak sebatas tingkat SMA, tetapi juga memiliki perguruan tinggi yang berkualitas, dengan kompetensi di sektor minyak. Tidak ada salahnya belajar pada Kabupaten Banyuwangi yang pada tahun 2014 mampu menggandeng Universitas Airlangga (UNAIR) untuk mendirikan cabang di Banyuwangi dengan membuka jurusan yang terkait dengan potensi kabupaten tersebut yaitu Kedokteran Hewan, Akuntansi, Kesehatan Masyarakat, dan Budidaya Perairan.
Bojonegoro harus mampu menggandeng ITB, ITS maupun Tri Sakti untuk membuka cabang di Bojonegoro dengan fokus pada jurusan yang terkait dengan pertambangan, perminyakan agar seiring dengan hilirisasi produk migas yang direncanakan dibangun Pertamina di Tuban yang akan mendorong tumbuhnya industri petrochemical di Tuban dan Bojonegoro, maka SDM di Kota Ledre tersebut dapat berkiprah lebih baik yang tentunya akan memberikan sumbangan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan IPM di Bojonegoro.
Reformasi birokrasi dan tata kelola Pemerintahan Bojonegoro sudah membaik, dengan diberikannya Bupati Bojonegoro Suyoto sebagai salah satu kepala daerah terbaik versi salah satu media nasional. Namun masih banyak pekerjaan rumah di Bojonegoro untuk yang bersifat layanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Puncak kejayaan sebagai Kabupaten Petro Dollar tidak berlangsung lama, mesti segera melakukan perubahan yang fundamental dalam membangun Bojonegoro.
Penulis: Arief Hermawan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti