tirto.id - Kementerian Perindustrian menilai persoalan upah minimum regional (UMR) merupakan tantangan industri manufaktur saat ini. Seperti diungkapkan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, masalah ketetapan upah minimum masih menjadi penyebab investor tak mau menanamkan modalnya di Indonesia.
“Investor jadi takut karena investasi karena ada UMR sekian, di daerah ini sekian. Daripada investasi di Indonesia, akhirnya investor lebih memilih Malaysia dengan UMR yang lebih stabil. Perihal UMR ini bisa dijadikan politik, bahaya bagi daya saing kita,” ujar Putu di acara seminar internasional bertajuk “Continued Sustainable Development” di Balai Kartini, Jakarta, hari ini (8/3).
Menurut Putu, kondisi UMR di tiap kabupaten dan kota saat ini berbeda-beda, sesuai dengan kebijakan pemerintah daerahnya. “Karena kepala daerah punya kebebasan mengelola kebijakan, mereka menegosiasi UMR. Hal semacam ini tentu membuat investor berpikir ulang untuk melakukan investasi,” kata dia.
“Jangan sampai kita sudah capek-capek cari investor, di daerah jadi permainan, dan akhirnya investor hengkang serta takut berinvestasi,” tambah Putu.
Di samping persoalan UMR yang tidak stabil, faktor sumber daya manusia yang kurang terampil juga menjadi permasalahan lainnya. Putu mengungkapkan produktivitas tenaga kerja di Indonesia yang rendah, tidak sebanding dengan upah yang harus dibayarkan oleh pihak investor. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan vokasional dinilai penting untuk dilakukan.
Pemerintah sendiri melalui Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan saat ini tengah mengkaji fasilitas berupa tax allowance.
“Karena ini bentuknya insentif yang bisa diberikan kepada industri-industri. Saya belum tahu kapan bisa diberikan. Masalah pajak kan yang bisa memutuskan dari Kementerian Keuangan, jadi kita belum bisa mengatakan kapan akan dilaksanakan. Perlu adanya pembicaraan lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan,” ucap Putu kepada awak media.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sendiri telah menyampaikan rencana peningkatan kualitas tenaga kerja lewat pendidikan sekolah vokasi sejak tahun lalu. Airlangga pada (27/7/2016) mengatakan pendidikan vokasi dapat berpotensi meningkatkan kemampuan profesional anak-anak muda, sehingga memiliki kemampuan bekerja yang mumpuni.
Airlangga juga mengaitkan peningkatan kemampuan bekerja ini dengan kompetisi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi dinilainya dapat meningkatkan kepercayaan investor.
“Harapan Presiden, suatu negara akan maju apabila mampu menghadapi tantangan. Kami berharap program Nawacita yang dicanangkan beliau [Presiden Jokowi] bisa dikejar melalui pemerataan yang tengah kita kejar bersama-sama,” kata Airlangga kala itu.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyambut baik rencana pengembangan pendidikan vokasional. Seperti diungkapkannya pada 23 Februari 2017 lalu di acara peluncuran laporan ketimpangan oleh Oxfam di Jakarta, Sri Mulyani telah berniat mengalokasikan dana pendidikan yang tinggi untuk rencana tersebut. Akan tetapi Menkeu meminta masyarakat tetap mengkritisi kinerja pemerintah dalam mewujudkan rencana tersebut.
“Tapi Anda jangan senang dulu, nanti bilangnya vokasional tapi malah jadi kursus yang enggak jelas. Jadi kalau Anda lihat pemerintah sudah melakukan, Anda jangan hanya senang, tapi juga harus mengawasi. Perlu adanya pemikiran kritis akan jadi apa ini nantinya,” ujar Sri Mulyani.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Alexander Haryanto