tirto.id - Besarnya alih fungsi lahan pertanian untuk konsesi tambang batu bara menyimpan ancaman besar bagi kedaulatan pangan di Indonesia. Hal itu disampaikan dalam laporan penelitian berjudul "Hungry Coal" yang dibuat oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Waterkeeper Aliance.
Dalam laporan tersebut, tercatat ada sekitar 1,7 juta ton beras per tahun yang hilang akibat penambangan batu bara. Merah Johansyah, Koordinator Jatam, menjelaskan hal itu terjadi lantaran air yang digunakan untuk irigasi pertanian di area sekitar tambang berasal dari lubang bekas tambang.
Bahkan, kata Merah, Indonesia juga diperkirakan akan kehilangan 7,7 juta ton beras per tahun akibat eksplorasi tambang yang dilakukan di atas lahan dengan total luas mencapai 6,5 juta hektar itu.
"Kita akan kehilangan 7,7 juta ton padi. Dan angka itu enam kali lipat dari jumlah impor beras kita, kalau dikatakan impor beras kita 1,2 sampai 1,6 (juta ton) per tahun," ungkap Merah dalam peluncuran laporan "Hungry Coal" di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (7/5/2017).
Menurut Merah, hal itu berawal dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 7 tahun 2014 yang merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2010 tentang Reklamasi Pasca Pertambangan dan UU Minerba No. 4 tahun 2009. Permen tersebut dinilai memberi peluang agar lubang-lubang bekas tambang batu bara dapat digunakan untuk konsumsi rumah tangga, irigasi pertanian, budidaya perikanan, serta tempat wisata.
Padahal, lubang bekas tambang tersebut mengandung logam berat seperti aluminium, besi dan mangan yang berbahaya bagi produktivitas lahan pertanian. "Semenjak UU ini disahkan,yang paling fatal saya katakan di sini adalah bahwa bekas tambang itu digunakan untuk irigasi pertanian."
Apalagi, kata Merah, pemerintah tidak mengatur sanksi pidana untuk perusahaan yang tidak menutup lubang bekas tambang. Ia mencontohkan, di Kalimantan Timur misalnya, terdapat 2800 lubang bekas tambang dari sekitar 1.400 izin konsesi yang tak ditutup.
"Dari beberapa lubang yang tidak aktif itu, luasnya sekitar 1.300 hektar. Itu luasnya sebesar bandara Soekarno-Hatta," ungkapnya.
Selain tak adanya sanksi, penutupan lubang juga sering tak dilakukan lantaran ongkos yang dikeluarkan cukup besar. Lantaran itu, kata Merah, marak terjadi korupsi dalam kasus reklamasi pasca tambang tersebut. Reklamasi dialihkan menjadi pembangunan saranan-prasarana warga di lokasi dekat pertambangan dengan bekerjasama dengan pejabat desa atau kecamatan setempat.
"Bayangkan, kalau dicairkan uang untuk reklamasi itu bisa sampai enam miliar. Tapi kalau untuk bikin wc di desa-desa, itu enggak sampai satu miliar," ungkapnya. Sementara itu, peneliti Waterkeeper Alliance, Paul Wynn mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi dan mencegah kejadian tersebut tidak terulang.
Pertama, kata dia, pemerintah musti membuat regulasi tentang standar-standar kualitas air pasca tambang yang dapat digunakan bagi sistem irigasi. Kedua, memberikan sanksi hukum yang berat bagi perusahaan yang tidak menutup lubang bekas tambang, serta mengharuskan para pengusaha melakukan rehabilitasi lingkungan agar bisa menopang produksi pangan. Terakhir, pemerintah harus bertindak tegas dengan mencabut izin konsesi eksplorasi batubara bagi perusahaan yang mengancam produktivitas pangan di Indonesia.
Meski begitu, Paul yakin bahwa perusahaan tambang batu bara di Indonesia tidak bertahan lama. Secara keseluruhan, kata dia, sektor batu bara di dunia sedang menurun dan napasnya tidak akan panjang lagi. Banyak sumberdaya penghasil listrik yang menurutnya jauh lebih murah ketimbang dan menyebabkan batu bara tidak menarik lagi bagi negara-negara maju.
"Rusia, Cina mereka sudah tinggalkan, Jepang agak aneh karena mungkin karena kegagalan industri nuklir setelah tsunami, mereka kembali ke batu bara."
Seperti diketahui sebelumnya, pada 2014 pertumbuhan konsumsi batu bara mencapai angka paling rendah dalam kurun lima tahun sebelumnya. Angka itu hanya naik 0,1 persen dari penggunaan tahun sebelumnya. Pada 2015, impor batu bara pun turun hingga sepertiga dari angka sebelumnya. Hal itu seiring dengan melemahnya aktivitas industri dan dipilihnya sumber energi lain.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yandri Daniel Damaledo