Menuju konten utama

Indonesia Masih Sama: Masih Ada Larangan Ucapan dan Merayakan Natal

Negara melepaskan tanggung jawab dengan membiarkan persoalan umat Kristen di dua kabupaten di Sumbar sebagai "kesepakatan bersama."

Indonesia Masih Sama: Masih Ada Larangan Ucapan dan Merayakan Natal
Warga melihat pohon natal di salah satu pusat penjualan pernak pernik natal di kawasan Pasar Baru Bekasi, Jawa Barat, Senin (16/12/2019). ANTARA FOTO/Risky Andrianto/19

tirto.id - Dari melarang ibadah Natal bersama di dua kabupaten di Sumatera Barat dengan dalih "kesepakatan bersama" hingga imbauan melarang mengucapkan selamat Natal oleh MUI Jawa Timur, kecuali untuk Wakil Presiden Ma'ruf Amin, hal itu menggambarkan betapa rapuh bangunan "keluarga besar Indonesia," menurut Aan Anshori, Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi.

Aan, yang bergiat dalam advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Timur, menyebut imbauan Majelis Ulama Indonesia Jatim itu "tidak ada manfaat sama sekali dan malah menimbulkan keburukan."

Sekretaris MUI Jatim Mochammad Yunus berkata muslim yang mengucapkan Natal bisa merusak akidah; meskipun imbauan itu tidak berlaku buat pemimpin negara termasuk Ma'ruf Amin yang masih menjabat Ketua MUI, dikutip dari suara.com.

Aan berkata imbauan itu tidak perlu diikuti. "Kami menyerukan kepada setiap muslim agar tidak perlu takut mengucapkan 'Selamat Natal' dan menghadiri undangan perayaan Natal sebagaimana yang pernah dicontohkan almarhum Gus Dur," katanya menyebut teladan Abdurrahman Wahid, presiden keempat Indonesia dari Nahdlatul Ulama, negawaran yang dihormati rakyat Indonesia.

Sementara larangan beribadah dan merayakan Natal bersama di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, lahir dengan dalih "kesepakatan bersama" antara pemerintah setempat, pemerintah Nagari Sibakau (semacam desa), ninik mamak (tetua adat), tokoh masyarakat, pemuda Sikabau, dan pihak lain.

Umat kristen di Dharmasraya ingin merayakan Natal bersama di satu rumah singgah, yang dijadikan tempat ibadah bersama. Namun, sejak 2017 hingga 2019, mereka tidak bisa merayakan Natal bersama, menurut Sudarto dari Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, organisasi yang mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatera Barat.

Mereka diizinkan merayakan Natal bersama asalkan pergi ke gereja di Kota Sawahlunto, sekitar 120 kilometer. Akibatnya, mereka hanya bisa beribadah dan merayakan Natal sendiri-sendiri di rumah masing-masing.

Hambatan yang sama dialami oleh warga Kristen di Nagari Sungai Tambang, Sijunjung. Di kabupaten ini ada jemaat dari Katolik, Huria Kristen Batak Protestan, dan Gereja Bethel Indonesia (GBI).

Menurut Sudarto, umat Kristen di Sijunjung dilarang merayakan ibadah kebaktian maupun Natal bersama oleh pemda setempat, hanya diizinkan menjalani ibadah di rumah masing-masing.

Problem mereka sama: warga Kristen tak punya gereja sendiri, hanya punya rumah pribadi yang dipakai sebagai tempat ibadah.

Negara Berlindung di Balik 'Kesepakatan Bersama'

Masalahnya, pemerintah kabupaten di Sumatera Barat menolak disebut berperan melarang perayaan Natal, berlindung di balik "kesepakatan bersama."

Kepala Humas Pemkab Dharmasraya Budi Waluyo berkata pemerintah tidak pernah melarang warga beribadah sesuai agama dan keyakinan masing masing. Ia menyebut hal itu kesepakatan antara tokoh masyarakat Nagari Sikabau dan umat Kristen dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Asep Adi Saputra mengklaim tidak ada larangan merayakan Natal di dua kabupaten Sumbar itu.

Asep berkata telah ada “konsensus” antara pemerintah setempat dan umat Kristen untuk membatasi kegiatan keagamaan. Isi “konsensus” itu mengizinkan umat Kristen beribadah dan merayakan Natal seperti biasa, tapi hanya dilakukan di rumah masing-masing.

Sementara Menteri Agama Fachrul Razi menyerahkan problem itu sebagai "kesepakatan" sudah lama. "Karena di dua kabupaten itu enggak ada gereja, disepakati [bagi yang ingin merayakan] Natal bersama di Sawahlunto," kata Razi, yang setelah dilantik sebagai menteri agama mengklaim sebagai menteri semua agama, bukan hanya Islam.

'Bertentangan dengan Konstitusi'

Andreas Harsono dari Human Rights Watch Indonesia, organisasi nirlaba berfokus pada pelindungan hak asasi manusia, menyebut tak ada gereja di dua kabupaten di Sumbar itu adalah salah satu contoh dari problem Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 yang memuat aturan pendirian rumah ibadah (SKB Dua Menteri 20106).

"Ini sekali lagi membuktikan peraturan kerukunan beragama 2006 adalah peraturan yang diskriminatif. Ia memberikan hak veto kepada mayoritas terhadap minoritas. Ia adalah mayoritaisme yang bertentangan dengan UUD 1945 di mana semua warga setara," menurut Andreas.

Peraturan Bersama Dua Menteri itu menyebut rumah peribadatan sebagai "bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga."

Pendirian rumah ibadah juga harus mendapatkan izin warga sekitar, paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Syarat lain: minimal harus menyertakan 90 daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah, yang harus disahkan pejabat setempat.

Ia juga harus mendapatkan rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten atau kota. Setelah semua perizinan selesai, panitia pembangunan rumah ibadah masih harus mengajukan permohonan kepada bupati atau wali kota untuk memperoleh izin mendirikan bangunan.

Andreas menilai "tak heran" atas respons kepolisian dan menteri agama menormalkan larangan beribadah di rumah selain gereja karena mereka "terikat dengan aturan bersama dua menteri 2006 itu."

Andreas menilai pemerintah harus merevisi SKB Dua Menteri 2006 sesegera mungkin.

"Presiden Jokowi seharusnya meminta Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap aturan 2006. Sudah sekitar 2.000 gereja ditutup atas dasar diskriminasi itu," ujarnya.

Aan Anshori dari Jaringan Islam Antidiskriminasi di Jawa Timur berkata larangan merayakan Natal bersama di dua kabupaten Sumbar itu "tidak bisa diterima, baik secara nalar maupun konstitusi."

"Negara dan aparatusnya perlu belajar lagi tentang Pancasila dan Konstitusi," ujar Aan. "Apa pun perjanjian atau kesepakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi, tidaklah bisa dibenarkan."

"Kuncinya ada di aparat negara. Negara perlu segera turun tangan ikut memastikan umat Kristiani di dua kabupaten itu terpenuhi hak-haknya."

"Biarlah Natal tahun ini menjadi Natal tragis terakhir kali yang tidak boleh terulang lagi ke depannya," ujar Aan.

Baca juga artikel terkait PERAYAAN NATAL 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Irwan Syambudi